Carnival
Apa aku sudah terlambat? Apa kamu menunggu terlalu lama?
Sunghoon hampir menangis melihat sosok di depannya. Tangannya yang keriput menggenggam tongkatnya dengan erat, hampir kehilangan keseimbangan.
“Soeun, kaukah itu?” tanyanya dengan suara tertahan, hampir menangis. Senyumnya merekah seirama dengan euforia yang ia rasakan.
Sementara sosok di depannya ikut tersenyum lebar. Berbeda dengan Sunghoon yang keriput tampak nyata diwajahnya serta badan yang jelas kelihatan ringkih, gadis itu masih sama. Senyumnya, rambut panjangnya, kulit putihnya yang bersinar, semua persis seperti di ingatan Sunghoon.
“Maaf karena membuatmu menunggu terlalu lama,” ucap gadis itu.
Air mata Sunghoon tumpah. Ia bisa mendengar suara gadis itu, kini ia sadar apa yang tampak di depannya bukanlah mimpi semata.
...
“Setelah malam ini, kau tak perlu menunggu lagi, Sunghoon-a”
***
Di kota ini, tak ada yang tidak mengenal Sunghoon Park. Parasnya yang menawan serta sikapnya yang cukup dingin menarik perhatian banyak orang sejak dulu saat ia masih terhitung muda.
Tentu saja paras dan sikapnya bukan satu-satunya daya tarik yang dimilikinya. Ia adalah seorang pelukis yang bakatnya diakui oleh semua orang.
Dibalik sikapnya yang dingin dan cenderung tertutup, lukisan Sunghoon selalu penuh warna-warni yang ceria. Seperti mengisahkan seorang anak kecil yang hidup dengan bahagia.
Karenanya banyak sekali yang memujinya. Pameran tunggal pertamanya langsung menarik perhatian banyak orang. Tak ada yang menyangka sosok seperti Sunghoon mampu melukis dengan warna yang begitu cerianya.
Bahkan sekarang saat umurnya sudah memasuki 63, atensi yang didapatkannya tak pernah berkurang. Seorang Sunghoon Park selalu menjadi topik hangat. Meski begitu, kehidupan pribadinya tetap tertutup rapat dari publik.
“Jungwon-a, besok karnival kan?” tanya Sunghoon sambil menyeruput teh chamomile yang uapnya sudah mulai hilang.
“Iya, anda akan pergi?” tanya pemuda berumur 25 tahun itu. Ia Jungwon, seseorang yang sejak dulu menemani Sunghoon. Ia ditemukan oleh Sunghoon saat umurnya masih 5 tahun, lapar dan tak terawat.
Ia dibesarkan dan disekolahkan oleh Sunghoon, makanya sebagai bentuk balas budi ia selalu menemani Sunghoon kemanapaun lelaki itu pergi. Walaupun sebenarnya, ia menganggap Sunghoon sebagai malaikatnya.
“Apa aku pernah sekalipun tak pergi ke karnival?” tanya pria paruh baya itu, pandangannya menerawang jauh.
Jungwon menggeleng, “Tapi dokter bilang, dengan kondisi tubuh anda yang sekarang itu bisa bahaya,” larang Jungwon.
Sunghoon terkekeh kecil, “Aku tak peduli Jungwon-a, bahkan jika kaki-kakiku tak mampu lagi berjalan, aku akan memintamu menggendongku agar aku bisa tetap ke karnival,” ucapnya, rautnya menjadi sendu.
Jungwon paham akan hal itu. Sejak dulu, Sunghoon tak pernah sekalipun absen ke karnival yang diadakan di puncak bukit setahun sekali.
Sesekali Sunghoon menggumam kalau dia berjanji akan datang di karnival itu. Jungwon tidak tahu dia siapa yang Sunghoon maksud. Karena 20 tahun menemani lelaki itu ke karnival, ia hanya selalu menyendiri di jembatan panjang sambil menyaksikan lentera dan kembang api yang dilepas ke langit.
Pernah sekali Jungwon mencoba bertanya, siapa yang ingin Sunghoon jumpai di karnival. Sunghoon malah terdiam lalu menangis sampai tertidur. Begitu terbangun, ia bergumam tak jelas. Yang bisa Jungwon tangkap hanyalah kalau dia yang membuat Sunghoon seperti sekarang. Sejak itu ia tak pernah bertanya lagi.
Dugaan Jungwon, dia yang dimaksud adalah mantan kekasih Sunghoon. Bukan tanpa alasan, ia tau diantara lukisan abstrak Sunghoon ada beberapa lukisan yang menggambarkan seorang perempuan berambut biru yang cantik.
Ia tahu lukisan itu tak pernah dipamerkan, hanya tersimpan di ruang kerjanya. Diantara banyak lukisan warna-warni yang cantik. Ia juga tahu ada satu lukisan itu dikamar Sunghoon. Ia tak sengaja melihatnya saat merawat Sunghoon yang sakit beberapa waktu lalu.
Namun Jungwon tak berani bertanya. Ia takut Sunghoon menjadi sedih lagi. Membuat Sunghoon sedih bukan pilihan yang baik saat kondisinya seperti sekarang, apalagi Sunghoon sudah tak sekuat dulu.
“Dia perempuan yang cantik, Jungwon-a,” Jungwon terkejut, menoleh pada Sunghoon yang kini tersenyum teduh.
“Aku yakin akan bertemu dengannya besok. Dia sudah janji Jungwon-a, dia datang ke mimpiku beberapa hari terakhir,” lanjut Sunghoon lagi.
Jungwon tidak menjawab, ia tak tahu harus merespon seperti apa. Ia tak menyangka Sunghoon akan menceritakannya seperti ini.
***
“Sunghoon-a!” Sunghoon kecil menoleh antusias, ia mengenal suara itu.
“Kak Soeun! Kakak kenapa baru datang, Sunghoon padahal ingin main sejak tadi,” tanyanya dengan bibir mengerucut.
Perempuan berambut biru itu tertawa, ia mengusak rambut Sunghoon lalu duduk di depannya. Ia mengeluarkan beberapa makanan sambil mengisyaratkan supaya Sunghoon jangan ribut.
“Kak Soeun kenapa selalu menyuruh Sunghoon jangan ribut, sih? Memangnya kenapa kalau ada yang melihat Kak Soeun? Kan Sunghoon ingin pamer punya teman kakak cantik seperti Kak Soeun,” tanya Sunghoon protes.
Sementara Soeun tersenyum sendu, “Karena yang bisa lihat Kakak cuma Sunghoon, jadi cukup Sunghoon saja yang tau kalau Kakak datang, ya.”
Sunghoon kecil tak mengerti, jadi dia hanya mengangguk lalu memakan coklat dan strawberry yang dibawa Soeun.
Tumbuh besar, Sunghoon jadi mengerti maksud ucapan Soeun kala itu. Ia akhirnya sadar kalau ia satu-satunya orang yang melihat Soeun. Beberapa kali mencoba memperlihatkan Soeun pada beberapa temannya mereka selalu bilang Sunghoon berhalusinasi. Padahal ia yakin perempuan berambut biru itu ada disana.
“Kak Soeun itu hantu, ya?” tanya Sunghoon suatu hari. Ia betulan penasaran dan tak bisa menemukan alasan masuk akal selain itu.
Soeun tersedak, “Memangnya aku sejelek itu ya sampai Sunghoon kira aku hantu?” tanyanya kembali.
“Eh, bukan seperti itu. Tapi cuma aku yang bisa lihat Kak Soeun, apalagi kalau bukan hantu? Lagipula Kak Soeun juga tak terlihat bertambah tua. Hanya aku saja yang semakin besar, Kak Soeun tetap sama. Tinggi kita saja sekarang sudah hampir sama.” jawab Sunghoon.
Soeun tersadar, kalau anak kecil yang dijaganya sejak bertahun lalu kini sudah remaja. Tentu saja Sunghoon sadar akan keanehan dirinya.
“Aku bukan hantu,” jawab Soeun pelan.
“Lalu apa?” desak Sunghoon tak sabar.
Soeun menikmati angin yang bertiup disela-sela rambutnya. Membiarkan angin tersebut membuat rambutnya berantakan. Ia tak tahu harus menjawab bagaimana pertanyaan Sunghoon. Karena kalau Sunghoon tahu, ia tak tahu apakah ia masih bisa bersama Sunghoon atau tidak.
“Begini saja, anggap aku Kakak Sunghoon yang paling cantik. Jadi karena aku Kakaknya Sunghoon, jadi aku harus menjaga Sunghoon supaya Sunghoon gak sakit, gak sedih, gak menyendiri lagi seperti orang yang gak punya teman,” jawab Soeun sambil tertawa mengganggu diujung kalimatnya.
“Ih, kan aku sekarang sudah punya banyak teman,” kata Sunghoon cemberut.
Soeun sekali lagi tertawa melihat pemuda itu. Tawanya menjadi lebih lepas, karena ia akhirnya menjadi tenang. Melupakan ketakutannya beberapa saat lalu.
Sementara sore itu Sunghoon sadar, tawa lebar Soeun adalah satu-satunya hal yang ingin terus ia saksikan di sisa hidupnya.
___
“Sunghoon-a, besok ayo ke karnival!”
Sunghoon menaikkan sebelah alisnya heran. “Kak Soeun kan tahu aku gak suka keramaian,” ucapnya. Ia masih tetap memanggil Soeun Kakak meski sekarang tubuhnya lebih tinggi dan perawakan Soeun menjadi terlihat lebih muda sedikit darinya.
“Ih makanya sekali ini aja ayo ke karnival. Cuma sekali setahun, Sunghoon,” bujuk Soeun.
“Males kak,” tanggap Sunghoon. Ia masih tak mengerti kenapa orang-orang suka ke karnival seperti itu. Bukannya menikmati Sunghoon malah pusing karena banyaknya manusia yang datang.
“Di sana ada coklat sama strawberry kesukaan kamu padahal,” bujuk Soeun lagi.
“Aku bukan anak kecil umur lima tahun yang bisa dibujuk pakai strawberry sama coklat. Aku udah 16 tahun, ingat kan?” ucap Sunghoon lagi.
“Yaudah kalau besok kamu gak mau pergi aku gak mau ketemu Sunghoon lagi,” ucap Soeun sambil melangkah keluar dari kamar Sunghoon.
“Eh, mana ada? Gak boleh!” Ucap Sunghoon lalu menarik tangan Soeun cepat.
Sementara Soeun tersenyum lebar. “Yes, besok ke karnival sama Sunghoon.”
Sunghoon menanggapinya dengan tawa. Sekarang kenapa Kak Soeun yang seperti anak kecil, lucu sekali.
___
Sejak meninggalkan rumah tadi, senyum Sunghoon tak pernah lepas. Dipikir-pikir, ke karnival seperti ini bukan ide buruk juga. Apalagi disampingnya ada Soeun yang ceria menarik-narik tangannya kesana kemari.
Setelah lelah, mereka menuju ke jembatan yang menghubungkan dua bukit. Memanjakan mata dengan kembang api yang sejak tadi dilepas menuju puncak acara, menerbangkan lentera harapan ke langit.
“Kak Soeun,” panggil Sunghoon.
Soeun menoleh, mendapati sepasang netra teduh milik Sunghoon yang menatapnya lekat.
“Kak Soeun itu, malaikat penjaga Sunghoon ya?” ucap Sunghoon pelan.
Sementara Soeun tersentak, rasanya ia ingin menangis. Sesuatu seperti tertahan di tenggorokannya sekarang. Kata-kata yang ia takut Sunghoon ucapkan akhirnya keluar. Kini Sunghoon sudah tau.
“Ba-bagaimana Sunghoon tahu?” tanya Soeun dengan suara yang bergetar.
“Aku selama ini mencari tahu, Kak. Akhirnya kemarin aku ketemu jawabannya. Kak Soeun malaikat penjaga Sunghoon kan?” kata Sunghoon memastikan.
Dari kilauan matanya, Soeun tahu kalau Sunghoon sangat senang sekarang. Karenanya ia mencoba tersenyum, lalu mengangguk.
Segera saja ia dapat merasakan rengkuhan Sunghoon melingkupi tubuhnya. Hangat, Soeun suka. Ini mengingatkannya pada Sunghoon kecil yang waktu itu takut akan apapun. Dulu ia suka memeluk Sunghoon seperti ini.
Sekarang anak kecil yang dijaganya sudah menjadi remaja tanggung yang gagah. Sunghoon bukan lagi anak kecil yang gampang menangis dan tak punya teman. Kini ia sudah tumbuh menjadi Sunghoon yang tampan, cerdas, dan berani. Tanpa sadar air mata Soeun menitik.
“Terima kasih, terima kasih Kak Soeun. Terima kasih karena sudah menemani Sunghoon waktu Ayah dan Ibu meninggal. Terima kasih karena selalu menjaga Sunghoon sampai Sunghoon sebesar sekarang,” Sunghoon terisak ditengah ungkapan terimakasihnya.
Sementara Soeun mendekap Sunghoon erat, “Jangan menangis. Sunghoon sekarang sudah besar kan, sudah tampan dan gagah, bukan lagi anak kecil yang suka menangis. Jangan menangis, ya.”
“Aku akan berhenti menangis kalau Kak Soeun juga berhenti menangis,” kata Sunghoon tanpa melepaskan peluknya.
___
Sunghoon menatap lentera yang ia lepaskan bersama Kak Soeun-nya yang kini sudah terbang tinggi.
“Kak Soeun, tahun depan mau ke karnival bersama Sunghoon lagi?” tanya Sunghoon dengan perasaan berbunga.
Soeun meragu, ia tahu kalau anak yang dijaganya sudah mengetahui kalau ia adalah malaikat penjaganya itu berarti ia tak bisa bertemu dengannya lagi. Namun ia tak tega kalau harus menolak, itu berarti menghilangkan senyum bahagia Sunghoon. Ia tak bisa.
“Mmm, aku akan datang ke karnival..., lalu menjadi yang paling cantik diantara semua orang yang datang.” Kata Soeun akhirnya dengan senyumnya. Sunghoon membalasnya dengan senyum yang tak kalah lebar. Puas dengan jawaban itu.
Malam itu Sunghoon tidak sadar, Soeun tidak berjanji akan datang tahun depan. Ia hanya berjanji akan datang. Entah kapan.
***
“Kak—”
“Tuan Sunghoon! Anda sudah bangun?! Dokter cepat kesini Tuan Sunghoon sudah bangun!” teriak Jungwon.
Dokter yang merawat Sunghoon tergopoh-gopoh masuk ke dalam kamar. Memeriksa Sunghoon yang sejak kemarin tak sadarkan diri.
“Jungwon-a apa yang terjadi?” tanya Sunghoon lemah.
“Anda kemarin jatuh pingsan begitu selesai bercerita—”
“Kemarin? Sekarang tanggal berapa?” potong Sunghoon cepat.
“Tanggal 26 Oktober pukul 10 malam,” ucap Jungwon takut-takut. Ia tau kalau Sunghoon akan memaksa ke karnival. Jungwon mengerti, tapi ia takut. Keadaan Sunghoon tambah parah sejak kemarin.
“Jungwon kau tau kan aku harus ke karnival malam ini? Ini sudah hampir tengah malam, Ia pasti menungguku!” Bentak Sunghoon.
“Tapi keadaan anda memburuk!” Kata Jungwon, ia sama kalutnya. Ia hanya takut kalau Sunghoon kenapa-napa nantinya.
“Aku tidak perduli, Jungwon-a. Aku sudah bilang kan, bahkan jika kakiku sudah tak kuat, aku ingin kau menggendongku kesana,” ucap Sunghoon, suaranya melemah.
Jungwon kalut, ia menatap dokter disampingnya meminta persetujuan. Sementara sang Dokter menimbang, jujur saja keadaan Sunghoon sangat ini sangat buruk, namun bisa saja tambah buruk jika keinginannya tak dipenuhi. Akhirnya ia mengangguk
Begitu diizinkan, Jungwon segera menyiapkan kursi roda untuk membawa Sunghoon ke mobil. Entah kenapa firasatnya buruk, ia hanya berharap Sunghoon betulan tak kenapa-napa nantinya.
Perjalanan selama 30 menit itu terasa lama sekali bagi Sunghoon. Ia takut akan melewatkan tengah malam yang mana adalah puncak karnival, lentera harapan.
Begitu sampai di tempat karnival diadakan, Jungwon betulan menggendong Sunghoon dipunggungnya ke jembatan yang dimaksud. Sepanjang jalan Jungwon menangis, entah kenapa ia merasa ini akan menjadi bakti terakhirnya kepada Sunghoon.
“Kenapa kau menangis Jungwon-a?” tanya Sunghoon pelan begitu mereka sudah sampai diatas.
“Aku takut sakitmu makin parah,” jawab Jungwon pelan. Ia takut sekali, sejak dibawa pulang oleh Sunghoon 20 tahun lalu, ia sudah berjanji akan membaktikan hidupnya pada Sunghoon. Situasi dimana ia tak bersama Sunghoon terasa menakutkan meski hanya bayangan.
“Tenang Jungwon-a, aku akan baik-baik saja,” kata Sunghoon lalu menghapus air mata Jungwon, “Kau sudah berjanji padaku akan menjadi anak yang kuat. Lagipula bukannya selama ini kau memang tak pernah menangis?” lanjut Sunghoon lagi, terkekeh. Tangis Jungwon semakin deras.
Lentera sebentar lagi akan dilepaskan ke langit bersama harapan-harapan manusia bersamanya. Salah satunya ada harapan Jungwon yang berharap Sunghoon akan terus bahagia.
“Tuan Sunghoon, liat lentera itu! Cantik sekali, warnanya biru!” Tunjuk Jungwon.
Sunghoon menyetujui ucapan Jungwon. Lentera itu memang terlihat cantik sekali. berbeda dengan lentera lain yang memilika cahaya kekuningan, lentera itu berpendar biru.
Biru yang familiar. Biru yang sama seperti milik Soeun.
Tanpa sadar mata Sunghoon berkaca-kaca. Ia sungguh berharap karnival kali ini ia dapat bertemu Soeun, karena setelah ini ia tak yakin masih bisa datang ke karnival atau tidak.
Sunghoon menengadahkan kepalanya sambil mengerjap-ngerjap, mencoba menahan air matanya agar tidak jatuh.
Begitu menghadap kedepan, ia hampir tak memercayai apa yang ada di depannya.
Ia berdiri sambil menggenggam tongkatnya dengan erat. Rasanya ia hampir menangis melihat sosok yang dirindukannya itu. Tangannya begitu gemetar sampai ia harus menggenggam tongkatnya erat.
“Soeun, kau kah itu?” tanya Sunghoon dengan suara bergetar, hampir menangis. Senyumnya merekah seirama dengan euforia yang ia rasakan.
Sementara sosok di depannya ikut tersenyum lebar. Berbeda dengan Sunghoon yang keriput tampak nyata diwajahnya serta badan yang jelas kelihatan ringkih, gadis itu masih sama. Senyumnya, rambut panjangnya, kulit putihnya yang bersinar, semua persis seperti di ingatan Sunghoon.
“Maaf karena membuatmu menunggu terlalu lama,” ucap gadis itu.
Air mata Sunghoon tumpah. Ia bisa mendengar suara gadis itu, kini ia sadar apa yang tampak di depannya bukanlah mimpi semata.
“Akhirnya kau datang,” ucap Sunghoon pelan. Hanya itu yang mampu dia ucapkan. Tiga kata yang melambangkan harapan serta keteguhan Sunghoon selama 47 tahun terakhir.
Soeun cantik sekali malam ini, seprti janjinya dulu. Ia mengenakan gaun biru gelap. Seirama dengan rambut dan sayapnya yang berwarna biru terang. Kulit Soeun yang berpendar kebiruan membuat perempuan terlihat semakin cantik.
“Harusnya kau tak menungguku, Sunghoon-a. Harusnya setelah acara lentera harapan hari itu, kau langsung melupakanku, bukannya datang ke karnival setiap tahun untuk menungguku. Bukankah kau membenci keramaian?” ucap Soeun dengan suara bergetar.
“Bagaimana aku bisa melupakanmu kalau kau berjanji untuk datang? Lagipula aku tak masalah kalau harus menunggu bahkan seribu tahun di tempat yang lebih ramai sekalipun. Aku tak masalah. Karena aku tau kau akhirnya pasti akan datang,” jawab Sunghoon. Kini senyum penuh menghiasi wajahnya.
Soeun tak dapat menahan air matanya. Yang dilihatnya sekarang adalah Sunghoon 16 tahun yang begitu tulus.
Sunghoon maju selangkah untuk mengusap air mata Soeun, “Kau selalu menghapus air mataku tiap aku menangis. Katamu, aku tak perlu menangis kan kalau aku bersamamu? Jadi jangan menangis karena aku ada bersamamu,” ucap Sunghoon.
“Maaf, karena saat itu aku tak tahu. Harusnya aku tak terlalu penasaran, kalau aku tak penasaran mungkin kau tak pergi meninggalkanku,” kata Sunghoon lagi.
“Jangan seperti itu Sunghoon-a, tidak ada yang boleh kau sesali. Lagipula buktinya sekarang aku ada di depanmu, kan?” kata Soeun sambil mencoba memperlihatkan senyumnya.
“Bukankah seharusnya aku tak boleh bertemu denganmu lagi...,” ucap Sunghoon patah-patah.
Soeun tersenyum, menoleh pada Jungwon yang terpaku. Ia memberikan hormat dalam pada pemuda itu lalu kembali menghadap Sunghoon.
Ia lalu mengecup dahi Sunghoon dalam, cukup lama sampai akhirnya ia memandang Sunghoon dengan mata yang berkaca-kaca.
“Karena setelah malam ini, kau tak perlu menunggu lagi Sunghoon-a.” Ucap Soeun sambil tersenyum, pendarnya memudar.
***
. .
BREAKING NEWS: Pelukis terkenal, Sunghoon Park, dikabarkan meninggal dunia malam tadi, 27 Oktober 20xx, pukul 2 pagi di rumahnya
***