Cica menyeka peluhnya. Hari ini mereka sudah mulai mengikuti ekstrakurikuler. Dia memilih untuk bergabung dengan cheers team. Rekomendasi ayahnya, sih. Katanya, proporsi badan Cica cocok untuk bergabung. Cica sih setuju saja. Rencananya juga akan mengambil ekskul itu.
Saat ini dia berada di depan sekolah bersama dua teman kelasnya. Mereka sedang menunggu angkutan umum untuk pulang. Cica bersyukur sih, teman-temannya semuanya baik. Masa SMA yang ada dipikirannya sebelumnya sangat menyeramkan. Ternyata tidak seburuk itu.
“Risa!” Cica menoleh, mendapati Ikal dengan seragam olahraga yang basah.
“Kenapa Kal?” Tanya Cica, seingatnya dia tidak berutang apapun pada pemuda di depannya.
“Gue cariin dari tadi, taunya disini. Gue udah keliling lapangan, kelas, kantin, buat nyariin Lo. Eh ada disini,” kata pemuda itu bersungut-sungut.
“Ya kenapa Ikal? Gue gatau lagian Lo nyariin gue,” jawab Cica.
“Ih kan mau pulang bareng gimana sih Sa?” ucap Ikal.
Kening Cica mengerut, “Hah?”
“Emangnya ga mau pulang bareng gue?” tanya Ikal heran.
Cica terdiam sebentar, menimbang, Ayahnya tak menjemput, kalau naik angkutan umum harus naik ojek lagi. Kalau sama Ikal kan dia bisa hemat ongkos.
“Oke! Ayo pulang bareng,” jawab Cica akhirnya. Ikal tersenyum lega, dia tadi takut malu kalau Cica berkata tidak. Mana sekarang ada 2 orang yang sedang memperhatikan mereka.
“Ra, Nda, maaf ya gue duluan kalau gitu,” ucap Cica pada kedua orang temannya tadi, Aira dan Nanda, mereka berdua mengangguk tanda mengerti.
Setelahnya Cica mengekor Ikal menuju ke parkiran. Tempat sepeda motor Ikal berada.
Ikal menyodorkan sebuah helm kearah Cica, “Nih pake. Gue sengaja bawa dua helm, siapa tau lo mau balik bareng gue lagi,” katanya.
Cica menerima helm itu, mengenakannya. “Bilang aja Lo emang mau pulang bareng gue,” ucap gadis itu blak-blakan.
Ikal tertawa, “tuh tau. Eh ca btw Lo mau ga kalau singgah dulu di tempat street boba? Gue tiba-tiba bm boba dah”
“Boleh banget. Kebetulan gue kemarin minta ke Ayah tapi katanya besok aja,” jawab Cica. Ikal tersenyum mendengarnya.
***
“Enak kan?” Tanya Ikal, melihat gadis di depannya dengan semangat menyeruput minuman bubble tea. Cica hanya mengangguk menyetujui. “Ini langganan gue,” lanjut Ikal.
“Keren juga Lo tau tempat ginian,” ujar Cica.
Ikal tersenyum, “gue gitu loh. Btw, mau langsung pulang aja Sa?” tanyanya.
“Iya. Takutnya Ayah udah pulang terus nyariin,” jawab Cica, Ikal mengangguk. Duluan berdiri menuju tempat motornya di parkirkan.
Perjalanan itu dilalui dengan keheningan, hanya ada suara deru motor Ikal. Mereka sama-sama diam menikmati suasana sore itu.
“Makasih ya Ikal,” kata Cica begitu turun dari motor Ikal. Ikal mengangguk. “Sama-sama Cica,”
“Cica! Eh, dianterin siapa itu kamu?” Keduanya menoleh. Mendapati sesosok pria berdiri di depan rumah Cica.
“Ayaaahh!” Cica berlari memeluk orang itu, yang ternyata Ayahnya.
“Ayah kok tumben pulang cepet?” Tanyanya.
“Iya, kebetulan kerjaan hari ini ga se-hectic kemarin-kemarin,” jawab ayahnya. “Eh itu temen kamu panggil ke sini coba. Masa dibiarin berdiri disitu, sih Ca?” lanjutnya.
Cica menoleh, baru sadar kalau tadi Ikal ikut turun dari motor. Sepertinya ingin menyapa ayahnya.
“Selamat sore Om, saya Ikal, teman kelasnya Risa,” sapa Ikal ramah.
“Oh yang kemarin nganterin Cica pulang ya? Makasih ya nak Ikal. Kata Cica kemarin dia hampir nangis, untung ada kamu,” ucap ayah Cica. Ikal melirik pada Cica, tertawa kecil.
“Gapapa om, orang kita searah gini kok,” kata Ikal.
“Kalau kamu nganterin Cica pulang tiap hari bisa ga?” Cica memberikan tatapan mengancam kepada Ayahnya. Apa-apaan?!
“Boleh kok Om. Saya juga senang nganterin Cica,” jawabnya. Cica melotot, ini juga Ikal. Kenapa malah nambah-nambahin sih?
“Nah bagus kalau gitu. Cica ini sebenarnya ga biasa naik angkutan umum. Saya juga sekarang ga bisa antar jemput dia terus. Kalau ada temannya kan saya ga perlu khawatir. Kamu bisa jaga dia kan?” Ucap Ayah Cica panjang lebar.
“Bisa kok Om. Om bisa percayain Risa ke saya,” ucap cowok itu, senyum tak lepas dari wajahnya.
Ayah Cica mengangguk, “mau masuk dulu ga?” tanyanya.
Ikal menggeleng, “enggak dulu deh, Om. Udah sore banget, takutnya saya dicariin. Saya pamit ya Om!” Ucap Ikal lalu menyalim tangan Ayah Cica.
“Ca, anterin temen kamu ke depan tuh,” Cica mengangguk. Memang berencana seperti itu.
“Kal kalau Lo keberatan nganterin gue tiap hari gapapa kok. Lo bisa tolak aja permintaan ayah gue,” kata Cica. Sedikit merasa tidak enak dengan permintaan ayahnya tadi.
“Gapapa Sa, siapa bilang gue keberatan. Gue seneng kok nganterin Lo pulang,” ucap Ikal. “Eh, btw nama rumah lo lucu juga, gue panggil Lo Cica juga ya,” lanjutnya.
Cica memutar matanya. “Terserah,” Ikal tersenyum melihatnya.
“Yaudah gue pergi dulu ya Ca! Bye bye!”
..
.