I Never Say I Want to Wait.
“Hari Minggu nanti, kamu datang ya,” ucap Arin pelan. Tak berani menatap mata orang di depannya.
“Kita emang gaada harapan lagi ya kak?” ujar lelaki itu pelan. Masih tidak berani menerima kenyataan yang baru saja menghantamnya.
“Kita..., ga pernah ada kita Nan. Sejak dulu cuma ada aku dan kamu, gapernah ada kita,” ucap perempuan itu tertahan. Rasanya ia hampir menangis.
“Kak I know you lie. Ga mungkin setelah semua yang kita lewati tujuh tahun ini, kamu ga nganggep aku apa-apa,” kata Hannan frustasi.
“Emang enggak Nan, selama ini aku cuma anggap kamu adik, teman dekat. Ga pernah lebih,” kata yang lebih tua. Ia masih tertunduk, tidak berani mengangkat wajahnya.
“Kak, kamu tau persis aku ga nembak kamu karena aku tau kamu ga suka terikat di satu hubungan. And everything I do is trying my best so I can keep you company. You never refuse it, so this is my fault?” ucap lelaki itu, hampir mengangkat suaranya.
“I'm sorry Nan, I'm sorry,” air mata satu satu mulai keluar, suaranya bergetar.
“I don't need your sorry, kak. Kamu tau betapa kagetnya aku pulang dari Bandung kemarin Mama kamu bilang kamu mau nikah? Aku kaget banget kak, aku— aku berharap itu cuma mimpi buruk. Tapi hari ini, kamu ngajak aku ketemuan dan nyodorin langsung undangan pernikahan kamu begitu aja. Am I a joke to you?” lanjut lelaki itu, kecewa, emosi, marah, semua sudah bersatu sekarang.
“I never consider you as a joke Nan,” ucap gadis itu disela isakannya.
“Kak, aku tau aku punya banyak kurang. Papaku bangkrut 3 tahun lalu, I'm not the rich Hannan you met. Status keluarga kita jadi beda. But I keep trying kak. Aku ga pernah nyerah karena aku pengen buktiin ke kakak, kalau aku, Hannan Hardinata, bisa bangkit. And, I thought you were willing to wait..” ucap Hannan pelan. Kecewanya sudah sampai ubun-ubun.
“I never say I want to wait Nan,” kata Arin pelan.
Hannan tertawa keras. “Terus kalau kakak ga mau nunggu, kenapa kakak tetap tinggal. Kenapa kakak ga pergi dari aku saat itu. Saat aku sedang jatuh-jatuhnya. Kenapa?” Kata Hannan kasar.
Isakan Arin tambah keras.
“Kalaupun aku mau nunggu, orangtuaku enggak Nan. Keluarga aku enggak. Aku juga udah capek Nan didesak sana-sini,” ucapnya terputus-putus.
Hannan merogoh saku celananya. Mengeluarkan kotak beludru warna biru dan meletakkannya diatas meja di antara mereka.
“Waktu pulang dari Bandung kemarin, aku beli ini. Aku berencana ngasih kamu ini besok. Because I thought we were okay. But, i can't i guess,” kata pemuda itu kembali memelan. Mencoba menelan semua emosi dan kecewanya.
Arin mengangkat kepalanya, menatap Hannan didepannya dengan sendu. “Maaf Nan,” kata maaf tak berhenti diucapkannya.
HP Arin tiba-tiba berbunyi. Ada telepon masuk dengan caller id Mark. Hannan mengangguk, mempersilahkan Arin untuk mengangkatnya.
Begitu teleponnya selesai, Arin menoleh sebentar pada Hannan didepannya, “Aku udah harus pulang, Mark udah didepan,” ucapnya hati-hati.
“Mark itu cowok yang mau nikah sama kakak?” tanya Hannan. Arin mengangguk mengiyakan.
Hannan menutup matanya frustasi. Ia tak tau harus menamakan apa perasaannya saat ini. Ia, sudah terlampau kecewa.
“Kak, can I hug you? Buat yang terakhir kalinya. Habis ini aku janji ga bakal muncul di hidup kamu lagi,” pinta Hannan pelan.
Arin mengangguk.
Setelahnya Hannan bangkit untuk memeluk Arin erat. Satu dua air mata menetes membasahi pipinya. Ia, terlalu cinta pada perempuan dipelukannya ini.
Sementara Arin kembali terisak didekapan lelaki itu. Menyesali semua yang bisa ia sesali.
. . . . . —fin