Triangle.
Soeun menghela napasnya entah untuk yang keberapa kali, gugup rasanya menginjakkan kakinya di sekolah setelah sepuluh tahun.
“Masih deg degan?” Soeun menoleh, mendapati eksistensi Sunghoon disampingnya.
“Iyalah gila. Emang Lo gak deg-degan?” tanya perempuan itu.
“B aja sih. Lagipula kita kayak mau ketemu siapa aja deh. Mau ketemu SMA doang Eun, nothing to be nervous,” jawab lelaki itu santai.
“Yeee, itu sih karena elo udah berapa kali ikut reuni. Gue baru ikut reuni tahun ini. Lagipula siapa sih yang ngide reuni di sekolah?” Ucapnya menggerutu.
“Makanya diajakin reunian tuh mau. Elo diajakin ada aja alasannya. Cupu banget reunian doang takut,” Soeun memutar bola matanya mendengar jawaban Sunghoon.
“Soeun! Akhirnya Lo datang juga. Gue rindu banget tauu!” Soeun mengalihkan pandangannya. Mendapati Isa, sahabatnya semasa SMA dulu.
“Isaaaaaa, gue juga rindu banget sama Lo!” Ucap Soeun lantang, hampir berteriak. Menuju kearah gadis itu lalu memeluknya erat.
“Lo kemana aja sih, Eun. Lulus SMA pindah kota, gaada kabar, gapernah datang reuni, sosmed enggak aktif. Terakhir gue dapet kabar Lo 4 tahun lalu pas wisuda,” ucap Isa.
“Ih jangan gitu dong Saaa, gue ngerasa bersalah nih. Lagipula kan 2 tahun terakhir gue kontakan lagi sama Lo,” jawab Soeun.
“Ck iyadeh terserah,” kata Isa, mengecek HP-nya yang berbunyi sebentar lalu kembali menoleh pada Soeun, “eh gue masuk duluan ya, Jay udah manggil. Lo juga buruan masuk deh sama Sunghoon. Udah ditungguin,” lanjut perempuan itu lagi.
Soeun mengangguk. Isa tersenyum lalu berjalan meninggalkan Soeun dan Sunghoon dibelakangnya.
“Eun jujur deh sama gue,” ucap Sunghoon. Soeun mengalihkan atensinya pada lelaki itu, “Lo deg-degan karena balik ke sekolah, atau deg-degan mau ketemu Jay?”
***
Soeun memasuki kelasnya dengan riang. Hari ini ada jam olahraga. Dia selalu suka jam olahraga, pasalnya kelas 11 IPS 3, kelas Jay, memiliki jadwal olahraga yang sama dengan kelasnya. Hal itu berarti dia bisa puas memandangi Jay yang demi apa seratus kali lipat lebih tampan kalau sedang berolahraga.
“Muka Lo seneng banget Eun, kenapa?” Soeun menoleh pada Isa, teman sebangkunya sekaligus sahabatnya, tersenyum lebar.
“Oh iya hari ini ada olahraga. Lo kok bisa suka banget olahraga sih? Gue sih males,” kata gadis itu, memangku tangannya.
“Enak tau Sa. Bisa bikin sehat,” jawab Soeun tanpa melepas senyumannya. Tak mungkin kan ia bilang ia senang karena akan bertemu Jay, crush-nya sejak kelas 10.
“Seandainya nilai olahraga bisa diwakilin, gue wakilin Lo aja kali ya. Biar Lo ngerjain kimia gue,” kata gadis itu lagi.
“Ih iyaaaa. Sayangnya gabisa, padahal gue butuh nilai olahraga yang bagus biar rata-rata rapor gue stabil,” jawab Isa.
“Sama. Gue juga butuh nilai kimia yang bagus,” jawab gadis itu lagi.
“Eh btw Lo tau Jay ga Eun?” Begitu pertanyaan itu lolos dari bibir Isa, Soeun sontak menoleh cepat. “Masa tiba-tiba ngerequest follow gue di Instagram. Awalnya pengen gue reject, tapi ternyata followan sama Lo, jadi gue accept. Temen Lo ya?”
“Iya. Saling tau doang sih, ga kenal-kenal banget,” jawab Soeun berusaha tenang.
“Oh iya, kenalan Lo kan dimana-mana. Dia kelas mana Eun?” Tanya Isa lagi.
“Sebelas IPS 3 deh kayanya Sa, kalau ga salah,” Soeun mengeluh dalam hati, apa tadi katanya? Kalau ga salah? Jelas-jelas dia tau hampir semua informasi tentang Jay.
“Oalah, eh berarti yang sama-sama kita dong jam olahraga nya?” Tanya Isa. Soeun mengangguk.
“Asik Sa, muka Lo jadi cerah banget. Suka ya Lo sama Jay?” Tanya Soeun niatnya bercanda, namun Isa mengangguk.
“Iya deh Eun kayaknya. Dia keliatan baik banget, terus obrolannya nyambung banget sama gue,” jawaban itu membuat Soeun cukup terkejut, namun ia mencoba sebaik mungkin untuk menyembunyikannya.
“Cieee udah sampe ngobrol aja ternyata. Udah lama dong berarti?” Tanya Soeun. Sial, kenapa dia jadi seperti orang munafik gini sih?
“Baru semingguan ini sih, Eun,” Soeun menaikkan sebelah alisnya.
“Tumben Lo cepet banget suka sama orang Sa?” Kata Soeun. Karena seingatnya Isa ini termasuk orang yang sebisa mungkin menghindari percintaan.
“Jay beda Eun,” tiga kata itu. Tiga kata itu membuat Soeun sadar kalau Isa sudah benar-benar jatuh kepada Jay. Crush-nya selama hampir 2 tahun terakhir.
***
Soeun menutup matanya, membiarkan sinar matahari yang terik menerpa wajah dan badannya. Ia butuh istirahat, banyak sekali yang terjadi hari ini. Dia butuh waktu untuk mencerna semuanya.
Soeun membuka sebelah matanya begitu merasakan sesuatu menghalanginya dari sinar matahari.
“Jay sukanya cewek kalem, engga barbar kayak elo,” Soeun menyipitkan matanya mendengar suara itu, suara yang cukup dikenalnya.
“Ck, kalau Lo enggak tau apa-apa minggir deh Hoon. Gue ga mood berantem sama Lo,” ucap Gadis itu. Ia mengenali suara itu, Sunghoon, kapten basket putra sekaligus sepupu Jay.
“Siapa bilang gue gatau. Lo suka sama Jay kan? Tapi Jay-nya suka sahabat Lo, siapa tuh namanya si kalem, Isa kan ya?” jawab Sunghoon. Lalu mendudukkan dirinya disofa tempat Soeun duduk.
“Anjir Hoon, nyadar kek badan Lo bongsor. Dikira ni sofa muat?” ucap Soeun, ingin mengumpati pemuda itu lebih banyak tapi ia tidak sedang dalam mood terbaiknya untuk itu.
“Muat kalau Lo duduknya ga terlalu makan tempat. Lagian enggak banget Lo patah hati langsung bolos di rooftop,” jawab pemuda itu santai.
“Gue enggak patah hati,” kata gadis itu.
“Gausah ngelak. Keliatan banget tadi pas Jay ngangkat Isa ke UKS,” ucap Sunghoon. Karena hal itu dia jadi ingat kejadian jam olahraga tadi.
Isa memang selalu buruk di pelajaran olahraga. Fisiknya lemah, setau Soeun, Isa juga punya anemia. Pas banget tadi jam olahraga Isa kambuh, pingsan. Jay yang mau praktek langsung lari ngebawa Isa ke UKS.
Soeun yang tadi panik tak sempat memperhatikan hal itu, namun setelah diingat-ingat, wajah Jay memang keliatan sangat khawatir.
“Lo sih, suka orang malah diam-diam. Perjuangin kek,” kata pemuda itu lagi.
“Gampang banget Lo ngomong. Lagipula gue kayanya ga bisa perjuangin Jay lagi deh, Hoon. Isa juga suka sama dia, they're meant to be,” ucap Soeun tersenyum kecut.
“Ga mau coba perjuangin? Buat terakhir kali, biar Lo gak nyesel misalnya?” Tanya yang lebih muda lagi.
“Enggak bisa Hoon. Gue ga bisa bayangin perjuangin Jay sementara gue tau Isa juga suka sama dia,” jawab gadis itu.
“Kok Lo jadi kedengaran baik banget. Kalau sama gue ngomong nya anjing bangsat Lo. Mana pernah Lo baik sama gue?” Kata Sunghoon.
Soeun menoleh pada Sunghoon, menggulirkan matanya seolah men-scan Sunghoon dari ujung rambut sampai kaki. “Sadar diri anjir Lo membandingkan diri sama siapa. Isa malaikat, Lo dakjal,” jawab Soeun sinis.
“Nah kan, kalau sama gue Lo jahat. Tapi bener sih, Isa keliatannya aja kalem banget terus kaya cewek baik-baik gitu. Pantes sih Jay suka sama dia. Lo mah apa,” kata pemuda itu.
Mendengarnya Soeun hampir murka, tapi kalau dipikir lagi yang dibilang Sunghoon ada benarnya.
“Tuhkan, Lo aja mikir gitu. Isa tuh kayak apa ya, beneran malaikat. Gue aja ga tega kalau harus marah sama dia. Dia tuh baik banget, kalau dia minta tolong apapun selagi gue bisa gue pasti bantu. Soalnya dia juga gitu ke gue. Rasanya gue egois banget kalau harus suka cowok yang sama dengan dia,” jawab Soeun.
“Sekalipun Lo yang suka lebih dulu?”
“Sekalipun gue yang suka lebih dulu. Perasaan doang kan, masa gue gabisa relain Jay demi Isa sih,” jawab Soeun. “Btw Hoon, Gue mau tidur. Kalau Lo mau pergi gapapa. Pergi aja,” kata Soeun.
“Dih ngusir Lo? Orang gue mau tidur juga,” Soeun memutar bola matanya malas. Terlalu lelah secara emosi untuk menanggapi.
***
Sisa semester itu berjalan dengan tenang. Agak aneh rasanya karena Isa tiap hari selalu membicarakan Jay. Soeun juga merasa sedikit munafik dan egois karena belum bisa sepenuhnya merelakan perasaannya pada Jay. Ia selalu merasa bersalah tiap Isa bercerita tentang Jay dengan wajah riang padanya.
“Eun! Gue jadian sama Jay!” Soeun menoleh mendapati Isa menghampirinya dengan wajah yang amat cerah. Keliatan sekali bahagianya. Soeun kembali merasa bersalah.
“Cieeee. Akhirnya tuh anak berani nembak Lo. Setelah tiga bulan ya kalian dekat, akhirnya jadian juga,” ucap Soeun tersenyum. Jujur, dia bahagia atas kebahagiaan Isa, tapi rasa bersalahnya tak hilang.
“Iyaaa. Btw ntar mau ke McD ga? Gue traktir dalam rangka PJ gue jadian sama Jay. Sekalian juga kan mulai besok udah libur, kita ga ketemu lagi,” kata Isa.
Soeun menimbang, kalau ikut, pasti ada Jay juga. Ntar dia kayak thirdweel dong jadinya. Mana pasti awkward banget, dia maksudnya yang awkward. Tapi, ini hari bahagia Isa. Masa dia gak ikut.
“Ada Sunghoon juga Eun, diajakin Jay,” lanjut Isa lagi. Soeun akhirnya mengangguk. Setidaknya kalau ada Sunghoon, dia tak menjadi thirdweel diantara Isa dan Jay.
“Sipp. Entar ya abis ambil rapor kita langsung ke McD,” kata Isa. Soeun mengangguk.
***
“Kok Lo mau diajakin kesini? Ga cemburu?” Soeun yang sedang mencoba-coba filter di Instagram menoleh pada Sunghoon. Jelas tau maksud perkataan pemuda itu. Mereka sekarang sudah di McD. Isa dan Jay pergi memesan, meninggalkan Soeun dan Sunghoon di meja berdua.
“Ini hari bahagia Isa, ya kali gue ga dateng. Lagipula ada Lo ini, kan gue bisa gangguin Lo aja,” jawab Soeun cuek. Sunghoon tidak menanggapi.
Tak lama kemudian Isa dan Jay datang sambil membawa dua nampan. Pesanan Sunghoon dan Soeun ada ditangan Jay. “Gue baru tau kalian sedekat ini,” kata Jay sembari meletakkan nampan ditangannya didepan Sunghoon dan Soeun.
“Ga deket-deket banget sih, kita ngobrol soalnya sama sama kapten basket aja,” jawab Sunghoon. Soeun mengangguk menyetujui. Lagipula interaksinya dan Sunghoon lebih sering tengkar memperebutkan lapangan. Baru akhir-akhir ini bahas yang lain, perasaan Soeun kepada Jay maksudnya.
“Tapi kalian cocok loh. Sama-sama kapten basket, terus kata Soeun kalian sering bertengkar Hoon? Banyak loh sekarang yang dari enemy to lovers,” kata Isa. Soeun terbatuk kecil.
“Ya Allah Sa, jelek banget doa lu,” ucap Soeun. Sunghoon refleks menohok gadis disampingnya itu, memberikan death glare. Soeun tak peduli, terus menyeruput mcflurry-nya.
“Ih tuhkan kalian cocok!” Ucap Isa tertawa. Yang sontak diberi death glare oleh Sunghoon dan Soeun.
Selesai makan, Isa dan Jay langsung jalan berdua. Entah langsung pulang, entah ngedate dulu. Meninggalkan Soeun dan Sunghoon yang sekarang sedang duduk di halte depan McD, menunggu bis datang.
Bohong kalau dia bilang tidak cemburu. Hatinya patah, tentu saja. Namun, ia tak bisa merusak kebahagiaan sahabatnya itu kan?
“Mau ke lapangan ga?” Tanya Sunghoon, lapangan yang dimaksud merujuk ke lapangan basket di sekolah mereka. Soeun mengangkat sebelah alisnya bertanya.
“Pemanasan. Kan mulai besok latihan intensif buat lomba,” jawab pemuda itu.
“Males ah, sekalian besok aja sih. Tenaga gue habis,” ucap cewek itu menyandarkan kepalanya kebelakang.
“Habis darimana, orang baru aja selesai makan. Bilang aja Lo patah hati kan?” kata pemuda itu.
Soeun menutup matanya sebelum bertanya. “Lo kenapa peduli banget kehidupan percintaan gue sih?”
“Kita kapten goblok. Kalau mental kita ga stabil, gimana mau mimpin yang lain. Gue nih berusaha memperbaiki mental Lo,” jawab Sunghoon.
“Ck, tapi kan bisa besok. Emang harus banget hari ini?” Tanya Soeun lagi.
“Harus!” Ucap cowok itu singkat. Setelahnya ia bangkit dari duduknya. Menarik tangan Soeun, memaksanya berdiri. “Ayo ke lapangan. Jalan 10 menit doang dari sini. Biar Lo ga keliatan kaya orang patah hati banget,” katanya.
Soeun tidak tau dimana korelasi pernyataan cowok itu. Namun tetap ikut berdiri. Lebih ke capek meladeni cowok itu sih sebenarnya.
Sampai disana, yang kelihatan excited cuma Sunghoon. Soeun hanya memperhatikan pemuda itu tanpa berniat ikut bergabung.
Sunghoon akhirnya menghampiri gadis itu dengan keringat yang sudah membasahi rambutnya. “Nih, anggap ini rasa sakit hati Lo. Buang jauh-jauh sampai Lo ga bisa liat dia lagi,” ucapnya menyodorkan bola basket ditangannya.
Soeun menerimanya dengan malas. Namun tetap mendribble bola itu lalu melemparkannya dengan keras ke ring. Masuk! Soeun tersenyum kecil setelahnya.
Patah hatinya, walau belum hilang sepenuhnya, setidaknya suasana hatinya jadi lebih baik.
“Lo kalau mau nangis, nangis aja sih. Disini gaada orang,” kata Sunghoon.
“Gue ga mau nangis,” ucap Soeun.
“Udah gausah ditahan. Di novel yang gue baca biasanya mereka bilang nangis aja biar semua kesalnya lepas. Kalau dalam kasus lo, biar patah hatinya keluar. Ga usah ditahan,” kata Sunghoon lagi.
“Lo baca novel juga?” Tanya Soeun malah salah fokus.
“Iya. Gausah ketawa Lo, ini gue ga lagi ngelucu,” kata cowok itu memutar bola matanya.
“Hahaha lucu aja. Gue ga nyangka,” jawab gadis itu tertawa kecil.
“Jadi nangis ga? Gue tau kali Lo nahan nangis daritadi. Gausah ditahan. Nih, gue hadap belakang biar ga liat Lo nangis” ucap Sunghoon lalu membalikkan badannya.
Awalnya hening, sekitar 5 menit lamanya, tak ada yang terdengar. Hingga saat Sunghoon hampir berbalik kembali, ia mendengar tangis Soeun. Akhirnya ia tak jadi berbalik, memilih menunggu gadis itu selesai.
“Lo jangan balik sini dulu, gue mau ngapus air mata,” kata Soeun setelah kurang lebih 20 menit melepaskan tangisnya. Sunghoon cuma menurut.
Saat berbalik ia tertawa kecil. “Eun muka Lo jadi merah banget. Cuci muka dulu sana,” katanya.
“Ck jangan ketawa Lo!” Kata Soeun lalu melangkah keluar lapangan. Mencari keran untuk mencuci mukanya.
“Makasih ya Hoon,” ucap gadis itu. Sekarang mereka masing-masing sedang menunggu bus di depan sekolah.
“Tumben Lo terima kasih,” kata pemuda itu.
“Ih Lo tuh emang ga pantes dinaikin. Gue bilang terimakasih kok jawabannya gitu,” kata gadis itu. Sunghoon tertawa. “Iya, sama-sama!”
***
Semuanya berjalan biasa saja setelah itu. Mereka semua sibuk mempersiapkan ujian sekolah dan ujian masuk universitas. Isa dan Jay semakin mesra, sementara Sunghoon masih sering bertanya keadaan Soeun meskipun sekarang keduanya bukan lagi kapten basket. Hanya teman sekolah biasa.
Soeun lulus di kampus di luar kota. Sementara Isa dan Jay menetap di kota itu. Kebetulan tak lama kemudian ayah Soeun dipindah tugaskan. Sehingga ia benar-benar meninggalkan kota kelahirannya sepenuhnya.
Memulai kehidupan baru sebagai mahasiswi di kota lain. Selama itu, dia berusaha membatasi sosial medianya. Meminimalisir melihat Isa dan Jay bersama. Walau denial bagaimanapun, nyatanya Soeun masih menyukai Jay. Itu fakta yang tak bisa ia tolak.
Lulus kuliah dia langsung mendapatkan kerja. Disitu ia dan Sunghoon bertemu lagi. Keduanya cepat menjadi dekat. Tidak lagi bertengkar karena hal kecil seperti di SMA dulu.
Sunghoon juga dengan cepat menyadari kalau perasaan Soeun masih sama. Sejak kurang lebih 6 tahun lalu. Gadis itu masih sangat menyukai Jay.
Beberapa kali, saat Sunghoon pulang ke kota mereka dulu, ia mengajak Soeun, sekalian mengajaknya ikut reuni. Namun, gadis itu selalu menolak.
Baru sekitar dua tahun lalu, Soeun kembali berkontak dengan teman-temannya sewaktu SMA dulu. Termasuk berkontak dengan Isa lagi. Setelah kurang lebih setahun tahun Isa dan Jay menikah.
***
Saat memasuki aula sekolahnya dulu, banyak yang menyambut Soeun. Tentu saja mereka mengingat Soeun, kapten basket yang temannya dimana-mana. Yang baru muncul 10 tahun setelah kelulusan.
“Gila Eun, masih cantik aja Lo kayak waktu SMA dulu, ga banyak berubah,” Soeun menoleh, mengenali suara itu.
“Hahaha, bisa aja Lo Jay. Makasih!” Jawab Soeun, itu Jay.
“Lo kok baru muncul sekarang sih? Isa tuh dari dulu nyariin Lo. Pas dua tahun lalu Lo ngehubungin dia lagi, dia seneng banget,” kata Jay. Soeun tersenyum saja.
“Lagi nyembuhin hati dia. Takut sakit hati lagi nih anak, cupu emang,” sambar Sunghoon. Soeun sontak menohok lelaki itu. “Ck kan bener,” sambungnya membela diri.
“Hah emang sakit hati kenapa?” Tanya Isa.
“Suka dia Sa sama Jay. Dari kelas 10, patah hati dia Jay jadian sama Lo. Lo gatau kan nih anak nangis pas pulang dari Lo nraktir McD waktu itu. Mana lama banget lagi move on-nya. Makanya baru berani ke reuni sekarang,” ucap Sunghoon seolah tak berdosa. Sementara air muka ketiga orang didekatnya berubah.
Soeun aslinya ingin menghentikan lelaki itu. Namun, kalau dipikir-pikir, Isa dan Jay memang harusnya tau. Lagipula ia sudah mengikhlaskan perasaannya.
“Eun maaf, gue enggak tau,” ucap Isa akhirnya membuka suara. Suaranya bergetar.
“Gapapa Sa. Itu udah kapan sih, udah lebih sepuluh tahun lalu. Gausah dipikirin lah,” ucap Soeun tersenyum.
Isa memeluk Soeun erat, “tetep aja. Karena itu Lo harus menghilang 10 tahun. Gue mikir Eun, salah gue apa ke elo. Ternyata karena ini. Harusnya Lo bilang, harusnya gue lebih peka waktu itu. Maaf, Eun,” tangis Isa pecah. Ia begitu merindukan sahabatnya ini. Mengetahui alasan sebenarnya sahabatnya menghilang membuatnya sangat merasa bersalah.
“Lo jangan nangis dong Sa... Gue jadi ikutan nangis jadinya,” ucap Soeun, tangisnya ikut pecah.
Keduanya saling bertangisan cukup lama. Sementara dua lelaki disamping mereka hanya memperhatikan, apalagi Jay. Dia merasa awkward. Apalagi dia ingat sekali, hampir tiap bertemu, Sunghoon selalu bercerita tentang Soeun, dan dia mengetahui fakta kalau Soeun menyukainya selama itu.
Keempatnya kini sudah duduk dimeja sambil saling berhadapan. Suasana masih agak canggung.
“Maaf ya Soeun,” ucap Jay akhirnya. Soeun tersenyum.
“Lo berdua kok malah minta maaf, sih? Gapapa asli, gue juga kesini karena udah mengikhlaskan semua perasaan gue,” jawab Soeun.
“Ya emang lama sih dia move on-nya. Tapi beneran udah move on kok,” Sunghoon menambahkan. “Kalau enggak, ga mungkin gue berani lamar dia,” lanjutnya lagi.
Isa tersedak sirup yang diminumnya.
“Kalian mau nikah? Ya Allah seneng banget dengernya,” kata Isa.
“Kok Lo gak ngabarin sih udah ngelamar?” Tanya Jay memprotes. Sedikit merasa terkhianati karena selama ini Sunghoon selalu menceritakan apapun padanya. Eh, hampir semuanya.
“Ya ini kita berdua kesini karena mau ngabarin. Sekalian mau undang yang lain,” jawab Sunghoon santai. Jay menggeleng-gelengkan kepalanya. Masih suka amaze sama sikap sepupunya yang kelewat santai.
“Kalian berdua datang, ya.” Kata Soeun lagi, tersenyum. Rasanya sebahagia ini ternyata bisa melepaskan perasaannya selama bertahun-tahun.
“Gamau. Lo berdua aja ga datang nikahan gue. Kita gamau dateng nikahan Lo berdua,” ucap Isa, membuat Soeun kaget, juga sedih.
“Yah kan udah minta maaf Sa. Kok Lo gitu sih,” kata Soeun.
“Ga datang berdua, tapi bertiga. Gue mau ajak anak gue juga boleh kan? Dia mesti tau sahabat bundanya pas SMA dulu,” ucap Isa tersenyum lebar.
Soeun ikut tersenyum, refleks memeluk sahabatnya itu. Sewaktu dia bilang Isa malaikat, ia sungguh-sungguh. Soeun merasa beruntung bisa mengenalnya.
Sisa hari itu dihabiskan dengan bahagia. Kesalahpahaman bertahun-tahun telah diselesaikan, dan perasaan-perasaan telah diikhlaskan. Mereka sudah bahagia dengan caranya masing-masing.
“Makasih Hoon!” Ucap Soeun begitu mereka berdua sampai ke apartemen Sunghoon. Ia memang menginap disini selagi berada di kota ini.
“Sama-sama. Gimana? Lega kan rasanya?” Tanya lelaki itu. Soeun mengangguk memeluk pinggang lelaki itu erat.
Perasaan memang begitu, membingungkan. Semua bisa merasakannya, tapi tak semua bisa beruntung mendapat balasan perasaan yang sama. Namun, Soeun percaya, semua orang punya timing masing-masing, termasuk keberuntungan itu. Dan sekarang, ia sedang memeluk erat keberuntungannya. Setelah bertahun-tahun mencoba mengikhlaskan.