Only Today
Jiyoon as Jiya Jisung as Aji Yeojin as Aiy
“Jiya lo gila?” Aji yang kaget mendengar permintaan Jiya sontak berteriak.
“Apaan sih, gue cuma minta temenin ke pantai doang lebay banget,” ucap Jiya sebal, telinganya pengang dengar teriakan Aji.
“Ya tapi kan lagi musim hujan, Jiyaa. Ngapain ke pantai coba?” kata yang lebih tua tak habis pikir dengan permintaan adik kembarnya ini.
“Ya pengen aja, lagipula kan Senin gue udah mau ke Bandung persiapan kuliah nanti. Kapan lagi coba,” kata Jiya masih tak bosan membujuk Aji.
“Ya kan pas libur nanti bisa Jiya,” jawab Aji masih menolak.
“Tapi gue maunya besok,” ucap Jiya suaranya memelan. “Tapi kalau lo ga mau yaudah deh, nanti aja,” sambungnya lalu beranjak dari sofa tempat mereka berdua duduk.
“Ck, yaudah besok kita pergi. Jangan lupa bangun pagi-pagi, perjalanannya agak jauh,” ucap Aji akhirnya. Agak merasa bersalah melihat wajah Jiya yang tampak sedih tadi.
“Beneran?” Jiya yang tadi sudah berbalik memunggungi Aji kini kembali berbalik menghadap pemuda itu.
“Iyaa, udah sana tidur biar besok ga telat bangun,” ucapnya.
“Yeayyyy makasih Aji kakak gue yang paling ganteng,” ucap Jiya tersenyum senang lalu memeluk Aji cepat.
“Yee, lo manggil gue kakak kalau ada maunya doang,” ucap Aji kecil.
***
“Ngechat siapa?” Ucap Jiya begitu masuk kedalam mobil, duduk disamping Aji yang menyetir.
“Aiy,” jawab Aji pendek.
“Beda ya orang yang udah pacaran mah,” kata Jiya menggoda Aji.
“Ck, apasih. Gue cuma mau ngabarin kalau hari ini ga jadi jalan,” kata Aji lagi.
Jiya terkesiap, “Loh, hari ini lo mau jalan sama Aiy? Kok ga bilang? Harusnya gausah aja pergi hari ini,”
“Gapapa kali, lo kan udah mau ke Bandung lusa. Gue sama Aiy ga kemana-mana, jalannya bisa kapan aja. Lagipula dia juga mau bikin kue bareng kakaknya katanya hari ini,” jawab lelaki itu panjang.
Jiya terdiam, ia makin merasa bersalah. Ah, dasar perasaan sialan.
***
Aji dan Jiya anak kembar tak identik. Setidaknya, itu yang diketahui orang-orang dan mereka berdua sebelum Aji mendapatkan mimpi basah pertamanya, serta sebelum haid pertama Jiya.
Nyatanya bukan, mereka hanya saudara tiri yang kebetulan mempunyai umur yang sama. Ibu kandung Jiya meninggal saat melahirkannya, sementara Ayah kandung Aji meninggal saat melaksanakan tugas di perbatasan.
Sementara mama dan papa, orangtua yang mereka tahu sejak kecil adalah teman kantor yang kemudian memutuskan menikah saat umur mereka berdua 3 tahun.
Sulit bagi mereka berdua menerima kenyataan itu, apalagi Jiya. Ia sampai tidak mau berbicara dengan orang-orang rumah selama seminggu. Ia merasa dibohongi.
Sampai kemudian Aji meyakinkannya kalau bagaimanapun, ia akan selalu menjadi kakak Jiya, dan Jiya akan selalu menjadi adiknya. Mama juga meyakinkan Jiya, walaupun Jiya bukan anak kandungnya, ia tak pernah tidak menyayangi Jiya , dan tak pernah menganggapnya orang lain.
Seharusnya sampai di situ, semuanya selesai. Namun masalahnya, pubertas tidak semudah itu.
Jiya malah jatuh cinta, pada Aji. Bagaimanapun, Aji adalah orang yang selalu bersama Jiya dan paling mengerti dirinya. Mengetahui bahwa Aji bukan saudara kandungnya, membuat perasaan yang sejak dulu kelihatan kuncupnya benar-benar mekar.
Jiya benci mengakui bahwa semua perlakuan Aji padanya membuat dirinya jatuh cinta. Ia merasa malu pada dirinya sendiri. Apalagi ia yakin, Aji hanya menyayanginya sebagai saudara. Tidak pernah lebih.
Makanya ia berusaha sebaik mungkin untuk menutup pintu perasaannya. Seharusnya itu berhasil, karena dua tahun belakangan ia sudah tak merasakan perasaan terkutuk itu.
Namun, minggu lalu saat Aji bilang kalau ia sekarang berpacaran dengan Aiy—sahabat mereka berdua sejak SMP—Jiya merasa hatinya patah. Ia cemburu. Ia ingin marah pada Aiy, tapi ia tak bisa. Ia tak punya hak untuk marah.
Terlebih lagi, Aiy perempuan yang sangat baik, sudah seperti saudaranya sendiri. Itu yang membuatnya makin sedih, karena yang menjadi pacar Aji adalah salah satu orang terdekatnya.
Karenanya, ia meminta hari ini pada Aji. Setidaknya, biarkan Jiya menjadikan Aji miliknya hari ini saja. Sebelum ia melepasnya ke Aiy kembali. Aiy, maaf.
***
“Untung ga hujan,” ucap Aji begitu sampai ke destinasi mereka. Jiya mengangguk.
Cuacanya cukup cerah, namun pasir pantai terasa basah. Sepertinya hujan belum lama selesai. Tak apalah, setidaknya sekarang ia bisa bebas bermain di pantai.
Pantai itu sepi. Jelas, sih. Tidak ada yang cukup waras untuk kepantai musim hujan begini, kecuali Jiya dan Aji.
Mereka bermain cukup lama sebelum istrahat untuk makan siang. Jiya tadi sempat menyiapkan makanan untuk makan siang mereka berdua.
“Mau langsung pulang aja?” Tanya Aji begitu mereka selesai makan.
“Ih kok pulang, tungguin sunset lah,” kata Jiya seakan tak terima.
“Masa balik malam sih, Ya?” tanya Aji, dia malas nyetir malam soalnya.
“Emang kenapa? Kita gantian nyetir deh Ji, tungguin sunset ya?” pinta Jiya.
Aji menimbang-nimbang sebentar, kemudian mengangguk. Lagipula sunset tak lama lagi akan tiba.
Namun, rencana menunggu sunset sambil bermain pasir milik Jiya batal karena hujan tiba-tiba turun. Jadi mereka malah terjebak didalam mobil.
Muka Jiya cemberut sejak tadi, Aji yang melihatnya jadi ikut merasa tak enak. Mau langsung pulang juga Aji malas nyetir ditengah hujan deras seperti ini.
“Mau nonton aja ga Ya?” tanya Aji akhirnya sambil mencari USB yang berisi film di laci mobil. Jiya mengangguk, daripada mereka diam-diam begini, kan?
Untungnya, begitu fim yang ditonton mereka selesai, hujan juga berhenti. Ya walaupun masih mendung sedikit, sih. Tapi tidak apa, Jiya cuma berdoa semoga sunset masih bisa terlihat.
“Ajii, temenin gue duduk dipinggir pantai, dong,” pinta Jiya pada Aji.
“Basah Ya, males,” kata Aji. Ia sebenarnya juga masih belum terlalu sadar, sih. Di pertengahan film tadi ia tertidur, dan mungkin masih tetap tertidur kalau suara Jiya yang bahagia hujan telah berhenti membangunkannya.
“Ntar dilapis deh, biar ga basah,” pinta Jiya lagi belum bosan membujuk Aji.
“Yaudah ayo, adek gue banyak bener mintanya,” ucap Aji sambil mengacak rambut Jiya, lalu keluar dari mobil. Menuju kepinggir pantai untuk duduk disana. Jiya mengikutinya dengan pelan.
Mereka cukup lama duduk sambil berdiam. Membiarkan ombak kecil-kecil menyapa kaki mereka yang telanjang. Menikmati sepoi angin bekas hujan yang masih terasa dingin. Aroma hujan yang bercampur dengan laut ikut melengkapi keheningan mereka.
“Aji makasih ya,” ucap Jiya pelan.
“Aji menoleh pada Jiya, alisnya terangkat heran. “Kenapa makasih?”
“Makasih udah mau nemenin gue kesini, padahal harusnya hari ini lo ngedate sama Aiy,” jawab Jiya sendu,
“Apaan sih gitu doang, ya jelas gue bakal pilih nemenin lo lah. Lo kan adek gue, apalagi lo mau kuliah jauh Ya,” kata Aji.
“Jangan bilang gitu, ntar kalau Aiy tau dia jadi sedih,” ucap Jiya.
“Mana ada, dia juga tau kok. Bahkan dia nyuruh gue biar hari ini nurutin lo aja. Dia juga kayanya besok mau kerumah tuh sleepover sama lo. Lo inget tadi dia bikin kue kan bareng kakaknya? Itu katanya dia mau bikinin lo juga setoples, buat dibawa ke Bandung,” bals Aji panjang lebar.
Mendengar penjelasan Aji, Jiya kembali merasa bersalah. Ah, perasaan ini benar-benar menodai ikatan persahabatan antara dirinya, Aji, dan Aiy.
“Gue nanti kayanya bakal rindu kue-kue kering buatan Aiy, deh,” kata gadis itu sambil memeluk lututnya.
“Tenang Ya, ada gue,” Ucap Aji.
“Kenapa? Lo mau ngirimin gue kuenya Aiy?” tanya Jiya.
“Enggaklah, paling gue pamer ke elo,” jawab pemuda itu lalu tertawa kecil.
Jiya merengut malas lalu memukul bahunya, “Dasar orang gila,” umpatnya. Sementara Aji masih tertawa.
“Jiya, gue boleh peluk lo ga?” Tanya Aji kemudian.
Jiya mengerutkan keningnya, “Boleh kok, kenapa harus minta izin? Biasanya juga langsung peluk aja,” ucapnya heran,
Dengan begitu, Jiya dapat merasakan kedua tangan Aji memeluk dirinya.
“Makasih ya Jiya, makasih udah mau jadi adek gue. Padahal gue suka nakal sama lo, tapi lo masih mau jadi adek gue,” ucap Aji disela pelukannya. Jiya yang dapat merasakan airmata Aji satu satu turun menghela napas.
“Makasih juga Aji, makasih udah mau tetap ngejagain gue padahal gue bukan adik kandung lo,” ucap Jiya tertahan, sesuatu seperti tertahan di tenggorokannya.
Aji langsung menjauhkan badannya dari Jiya, “Ngomong apasih? Lo itu adek gue dan akan selalu begitu. Ga usah ngomong sembarangan!” kata Aji kesal.
Jiya tertawa kecil, “Aduh, kakak gue kok marah sih?” katanya sambil memeluk Aji kembali. Ia dapat merasakan Aji mempererat pelukan itu.
Terimakasih, Aji. Terimakasih, Terimakasih udah dengan tulus mau jadi kakak Jiya. Maaf karena Jiya malah menodai persaudaraan kita. Maaf karena Jiya ga setulus Aji. Hari ini aja, biarin Jiya puas-puasin perasaan Jiya ke Aji ya? Hari ini aja, kok. Besok enggak lagi. Makanya, doain Jiya ya, Aji.
Semoga, begitu senja ini selesai, perasaan Jiya ke Aji juga selesai.
. . . . . . . . . . . —fin