zoaniel

nothing

Jiyoon as Jiya Jisung as Aji Yeojin as Aiy

“Jiya lo gila?” Aji yang kaget mendengar permintaan Jiya sontak berteriak.

“Apaan sih, gue cuma minta temenin ke pantai doang lebay banget,” ucap Jiya sebal, telinganya pengang dengar teriakan Aji.

“Ya tapi kan lagi musim hujan, Jiyaa. Ngapain ke pantai coba?” kata yang lebih tua tak habis pikir dengan permintaan adik kembarnya ini.

“Ya pengen aja, lagipula kan Senin gue udah mau ke Bandung persiapan kuliah nanti. Kapan lagi coba,” kata Jiya masih tak bosan membujuk Aji.

“Ya kan pas libur nanti bisa Jiya,” jawab Aji masih menolak.

“Tapi gue maunya besok,” ucap Jiya suaranya memelan. “Tapi kalau lo ga mau yaudah deh, nanti aja,” sambungnya lalu beranjak dari sofa tempat mereka berdua duduk.

“Ck, yaudah besok kita pergi. Jangan lupa bangun pagi-pagi, perjalanannya agak jauh,” ucap Aji akhirnya. Agak merasa bersalah melihat wajah Jiya yang tampak sedih tadi.

“Beneran?” Jiya yang tadi sudah berbalik memunggungi Aji kini kembali berbalik menghadap pemuda itu.

“Iyaa, udah sana tidur biar besok ga telat bangun,” ucapnya.

“Yeayyyy makasih Aji kakak gue yang paling ganteng,” ucap Jiya tersenyum senang lalu memeluk Aji cepat.

“Yee, lo manggil gue kakak kalau ada maunya doang,” ucap Aji kecil.

***

“Ngechat siapa?” Ucap Jiya begitu masuk kedalam mobil, duduk disamping Aji yang menyetir.

“Aiy,” jawab Aji pendek.

“Beda ya orang yang udah pacaran mah,” kata Jiya menggoda Aji.

“Ck, apasih. Gue cuma mau ngabarin kalau hari ini ga jadi jalan,” kata Aji lagi.

Jiya terkesiap, “Loh, hari ini lo mau jalan sama Aiy? Kok ga bilang? Harusnya gausah aja pergi hari ini,”

“Gapapa kali, lo kan udah mau ke Bandung lusa. Gue sama Aiy ga kemana-mana, jalannya bisa kapan aja. Lagipula dia juga mau bikin kue bareng kakaknya katanya hari ini,” jawab lelaki itu panjang.

Jiya terdiam, ia makin merasa bersalah. Ah, dasar perasaan sialan.

***

Aji dan Jiya anak kembar tak identik. Setidaknya, itu yang diketahui orang-orang dan mereka berdua sebelum Aji mendapatkan mimpi basah pertamanya, serta sebelum haid pertama Jiya.

Nyatanya bukan, mereka hanya saudara tiri yang kebetulan mempunyai umur yang sama. Ibu kandung Jiya meninggal saat melahirkannya, sementara Ayah kandung Aji meninggal saat melaksanakan tugas di perbatasan.

Sementara mama dan papa, orangtua yang mereka tahu sejak kecil adalah teman kantor yang kemudian memutuskan menikah saat umur mereka berdua 3 tahun.

Sulit bagi mereka berdua menerima kenyataan itu, apalagi Jiya. Ia sampai tidak mau berbicara dengan orang-orang rumah selama seminggu. Ia merasa dibohongi.

Sampai kemudian Aji meyakinkannya kalau bagaimanapun, ia akan selalu menjadi kakak Jiya, dan Jiya akan selalu menjadi adiknya. Mama juga meyakinkan Jiya, walaupun Jiya bukan anak kandungnya, ia tak pernah tidak menyayangi Jiya , dan tak pernah menganggapnya orang lain.

Seharusnya sampai di situ, semuanya selesai. Namun masalahnya, pubertas tidak semudah itu.

Jiya malah jatuh cinta, pada Aji. Bagaimanapun, Aji adalah orang yang selalu bersama Jiya dan paling mengerti dirinya. Mengetahui bahwa Aji bukan saudara kandungnya, membuat perasaan yang sejak dulu kelihatan kuncupnya benar-benar mekar.

Jiya benci mengakui bahwa semua perlakuan Aji padanya membuat dirinya jatuh cinta. Ia merasa malu pada dirinya sendiri. Apalagi ia yakin, Aji hanya menyayanginya sebagai saudara. Tidak pernah lebih.

Makanya ia berusaha sebaik mungkin untuk menutup pintu perasaannya. Seharusnya itu berhasil, karena dua tahun belakangan ia sudah tak merasakan perasaan terkutuk itu.

Namun, minggu lalu saat Aji bilang kalau ia sekarang berpacaran dengan Aiy—sahabat mereka berdua sejak SMP—Jiya merasa hatinya patah. Ia cemburu. Ia ingin marah pada Aiy, tapi ia tak bisa. Ia tak punya hak untuk marah.

Terlebih lagi, Aiy perempuan yang sangat baik, sudah seperti saudaranya sendiri. Itu yang membuatnya makin sedih, karena yang menjadi pacar Aji adalah salah satu orang terdekatnya.

Karenanya, ia meminta hari ini pada Aji. Setidaknya, biarkan Jiya menjadikan Aji miliknya hari ini saja. Sebelum ia melepasnya ke Aiy kembali. Aiy, maaf.

***

“Untung ga hujan,” ucap Aji begitu sampai ke destinasi mereka. Jiya mengangguk.

Cuacanya cukup cerah, namun pasir pantai terasa basah. Sepertinya hujan belum lama selesai. Tak apalah, setidaknya sekarang ia bisa bebas bermain di pantai.

Pantai itu sepi. Jelas, sih. Tidak ada yang cukup waras untuk kepantai musim hujan begini, kecuali Jiya dan Aji.

Mereka bermain cukup lama sebelum istrahat untuk makan siang. Jiya tadi sempat menyiapkan makanan untuk makan siang mereka berdua.

“Mau langsung pulang aja?” Tanya Aji begitu mereka selesai makan.

“Ih kok pulang, tungguin sunset lah,” kata Jiya seakan tak terima.

“Masa balik malam sih, Ya?” tanya Aji, dia malas nyetir malam soalnya.

“Emang kenapa? Kita gantian nyetir deh Ji, tungguin sunset ya?” pinta Jiya.

Aji menimbang-nimbang sebentar, kemudian mengangguk. Lagipula sunset tak lama lagi akan tiba.

Namun, rencana menunggu sunset sambil bermain pasir milik Jiya batal karena hujan tiba-tiba turun. Jadi mereka malah terjebak didalam mobil.

Muka Jiya cemberut sejak tadi, Aji yang melihatnya jadi ikut merasa tak enak. Mau langsung pulang juga Aji malas nyetir ditengah hujan deras seperti ini.

“Mau nonton aja ga Ya?” tanya Aji akhirnya sambil mencari USB yang berisi film di laci mobil. Jiya mengangguk, daripada mereka diam-diam begini, kan?

Untungnya, begitu fim yang ditonton mereka selesai, hujan juga berhenti. Ya walaupun masih mendung sedikit, sih. Tapi tidak apa, Jiya cuma berdoa semoga sunset masih bisa terlihat.

“Ajii, temenin gue duduk dipinggir pantai, dong,” pinta Jiya pada Aji.

“Basah Ya, males,” kata Aji. Ia sebenarnya juga masih belum terlalu sadar, sih. Di pertengahan film tadi ia tertidur, dan mungkin masih tetap tertidur kalau suara Jiya yang bahagia hujan telah berhenti membangunkannya.

“Ntar dilapis deh, biar ga basah,” pinta Jiya lagi belum bosan membujuk Aji.

“Yaudah ayo, adek gue banyak bener mintanya,” ucap Aji sambil mengacak rambut Jiya, lalu keluar dari mobil. Menuju kepinggir pantai untuk duduk disana. Jiya mengikutinya dengan pelan.

Mereka cukup lama duduk sambil berdiam. Membiarkan ombak kecil-kecil menyapa kaki mereka yang telanjang. Menikmati sepoi angin bekas hujan yang masih terasa dingin. Aroma hujan yang bercampur dengan laut ikut melengkapi keheningan mereka.

“Aji makasih ya,” ucap Jiya pelan.

“Aji menoleh pada Jiya, alisnya terangkat heran. “Kenapa makasih?”

“Makasih udah mau nemenin gue kesini, padahal harusnya hari ini lo ngedate sama Aiy,” jawab Jiya sendu,

“Apaan sih gitu doang, ya jelas gue bakal pilih nemenin lo lah. Lo kan adek gue, apalagi lo mau kuliah jauh Ya,” kata Aji.

“Jangan bilang gitu, ntar kalau Aiy tau dia jadi sedih,” ucap Jiya.

“Mana ada, dia juga tau kok. Bahkan dia nyuruh gue biar hari ini nurutin lo aja. Dia juga kayanya besok mau kerumah tuh sleepover sama lo. Lo inget tadi dia bikin kue kan bareng kakaknya? Itu katanya dia mau bikinin lo juga setoples, buat dibawa ke Bandung,” bals Aji panjang lebar.

Mendengar penjelasan Aji, Jiya kembali merasa bersalah. Ah, perasaan ini benar-benar menodai ikatan persahabatan antara dirinya, Aji, dan Aiy.

“Gue nanti kayanya bakal rindu kue-kue kering buatan Aiy, deh,” kata gadis itu sambil memeluk lututnya.

“Tenang Ya, ada gue,” Ucap Aji.

“Kenapa? Lo mau ngirimin gue kuenya Aiy?” tanya Jiya.

“Enggaklah, paling gue pamer ke elo,” jawab pemuda itu lalu tertawa kecil.

Jiya merengut malas lalu memukul bahunya, “Dasar orang gila,” umpatnya. Sementara Aji masih tertawa.

“Jiya, gue boleh peluk lo ga?” Tanya Aji kemudian.

Jiya mengerutkan keningnya, “Boleh kok, kenapa harus minta izin? Biasanya juga langsung peluk aja,” ucapnya heran,

Dengan begitu, Jiya dapat merasakan kedua tangan Aji memeluk dirinya.

“Makasih ya Jiya, makasih udah mau jadi adek gue. Padahal gue suka nakal sama lo, tapi lo masih mau jadi adek gue,” ucap Aji disela pelukannya. Jiya yang dapat merasakan airmata Aji satu satu turun menghela napas.

“Makasih juga Aji, makasih udah mau tetap ngejagain gue padahal gue bukan adik kandung lo,” ucap Jiya tertahan, sesuatu seperti tertahan di tenggorokannya.

Aji langsung menjauhkan badannya dari Jiya, “Ngomong apasih? Lo itu adek gue dan akan selalu begitu. Ga usah ngomong sembarangan!” kata Aji kesal.

Jiya tertawa kecil, “Aduh, kakak gue kok marah sih?” katanya sambil memeluk Aji kembali. Ia dapat merasakan Aji mempererat pelukan itu.

Terimakasih, Aji. Terimakasih, Terimakasih udah dengan tulus mau jadi kakak Jiya. Maaf karena Jiya malah menodai persaudaraan kita. Maaf karena Jiya ga setulus Aji. Hari ini aja, biarin Jiya puas-puasin perasaan Jiya ke Aji ya? Hari ini aja, kok. Besok enggak lagi. Makanya, doain Jiya ya, Aji.

Semoga, begitu senja ini selesai, perasaan Jiya ke Aji juga selesai.

. . . . . . . . . . . —fin

“Hari Minggu nanti, kamu datang ya,” ucap Arin pelan. Tak berani menatap mata orang di depannya.

“Kita emang gaada harapan lagi ya kak?” ujar lelaki itu pelan. Masih tidak berani menerima kenyataan yang baru saja menghantamnya.

“Kita..., ga pernah ada kita Nan. Sejak dulu cuma ada aku dan kamu, gapernah ada kita,” ucap perempuan itu tertahan. Rasanya ia hampir menangis.

“Kak I know you lie. Ga mungkin setelah semua yang kita lewati tujuh tahun ini, kamu ga nganggep aku apa-apa,” kata Hannan frustasi.

“Emang enggak Nan, selama ini aku cuma anggap kamu adik, teman dekat. Ga pernah lebih,” kata yang lebih tua. Ia masih tertunduk, tidak berani mengangkat wajahnya.

“Kak, kamu tau persis aku ga nembak kamu karena aku tau kamu ga suka terikat di satu hubungan. And everything I do is trying my best so I can keep you company. You never refuse it, so this is my fault?” ucap lelaki itu, hampir mengangkat suaranya.

I'm sorry Nan, I'm sorry,” air mata satu satu mulai keluar, suaranya bergetar.

I don't need your sorry, kak. Kamu tau betapa kagetnya aku pulang dari Bandung kemarin Mama kamu bilang kamu mau nikah? Aku kaget banget kak, aku— aku berharap itu cuma mimpi buruk. Tapi hari ini, kamu ngajak aku ketemuan dan nyodorin langsung undangan pernikahan kamu begitu aja. Am I a joke to you?” lanjut lelaki itu, kecewa, emosi, marah, semua sudah bersatu sekarang.

I never consider you as a joke Nan,” ucap gadis itu disela isakannya.

“Kak, aku tau aku punya banyak kurang. Papaku bangkrut 3 tahun lalu, I'm not the rich Hannan you met. Status keluarga kita jadi beda. But I keep trying kak. Aku ga pernah nyerah karena aku pengen buktiin ke kakak, kalau aku, Hannan Hardinata, bisa bangkit. And, I thought you were willing to wait..” ucap Hannan pelan. Kecewanya sudah sampai ubun-ubun.

I never say I want to wait Nan,” kata Arin pelan.

Hannan tertawa keras. “Terus kalau kakak ga mau nunggu, kenapa kakak tetap tinggal. Kenapa kakak ga pergi dari aku saat itu. Saat aku sedang jatuh-jatuhnya. Kenapa?” Kata Hannan kasar.

Isakan Arin tambah keras.

“Kalaupun aku mau nunggu, orangtuaku enggak Nan. Keluarga aku enggak. Aku juga udah capek Nan didesak sana-sini,” ucapnya terputus-putus.

Hannan merogoh saku celananya. Mengeluarkan kotak beludru warna biru dan meletakkannya diatas meja di antara mereka.

“Waktu pulang dari Bandung kemarin, aku beli ini. Aku berencana ngasih kamu ini besok. Because I thought we were okay. But, i can't i guess,” kata pemuda itu kembali memelan. Mencoba menelan semua emosi dan kecewanya.

Arin mengangkat kepalanya, menatap Hannan didepannya dengan sendu. “Maaf Nan,” kata maaf tak berhenti diucapkannya.

HP Arin tiba-tiba berbunyi. Ada telepon masuk dengan caller id Mark. Hannan mengangguk, mempersilahkan Arin untuk mengangkatnya.

Begitu teleponnya selesai, Arin menoleh sebentar pada Hannan didepannya, “Aku udah harus pulang, Mark udah didepan,” ucapnya hati-hati.

“Mark itu cowok yang mau nikah sama kakak?” tanya Hannan. Arin mengangguk mengiyakan.

Hannan menutup matanya frustasi. Ia tak tau harus menamakan apa perasaannya saat ini. Ia, sudah terlampau kecewa.

“Kak, can I hug you? Buat yang terakhir kalinya. Habis ini aku janji ga bakal muncul di hidup kamu lagi,” pinta Hannan pelan.

Arin mengangguk.

Setelahnya Hannan bangkit untuk memeluk Arin erat. Satu dua air mata menetes membasahi pipinya. Ia, terlalu cinta pada perempuan dipelukannya ini.

Sementara Arin kembali terisak didekapan lelaki itu. Menyesali semua yang bisa ia sesali.

. . . . . —fin

Jocelyn punya daftar hal-hal yang tidak disukainya. Baik hewan, benda, kejadian, atau orang disekitarnya sekalipun.

Di bagian paling atas ada kucing, ia alergi. Dan alerginya pada bulu kucing pernah hampir membuatnya pingsan ditengah perlombaan debat kelas 10 dulu.

Sampai kemarin, ada tiba-tiba mens ketika ditempat umum di daftar terbawah. Namun hari ini, sepertinya Jocelyn harus menambah satu daftar lagi. Jonathan.

Pemuda yang entah bagaimana tiba-tiba muncul dikehidupannya dan mengacak-acak hidup Jocelyn yang tertata rapi. Menjadi tetangga Jonathan sejak libur semester saja sudah membuat kepalanya hampir pecah.

Semester ini, Jonathan malah pindah ke sekolah Jocelyn. Padahal kalau mau, Jonathan bisa kesekolah swasta mahal dibanding sekolah Negeri tempat Jocelyn bersekolah.

Yang paling menyebalkan, Jonathan tidak memanggil nama Jocelyn dengan pantas. Ia malah memanggil gadis itu dengan, “Lilin!” yang demi Neptunus terdengar sangat aneh.

Saat ditanya kenapa, Jonathan dengan cuek menjawab, “Gue dipanggil Jo juga, ntar bingung.” Padahal Jocelyn yakin kalau Jonathan sialan itu dipanggil Nathan oleh kakak perempuannya.

“Lilin temenin keliling kompleks dong!”

“Lilin ayo temenin gue mancing!”

“Lilin gue ikutan judo bareng Lo ya!”

“Lilin mamah gue ga masak bikinin gue mi dong!”

“Lilin ayo temenin gue nonton, ada film bagus di bioskop!”

Jocelyn sudah lelah dengan semua seruan Jonathan dihari-hari liburnya. Kenapa sekarang dia harus satu sekolah sama pemuda itu sih?

Menyebalkannya lagi, Jonathan betulan mengikuti semua kegiatan yang diikuti Jocelyn. Cukup, Jocelyn tidak tahan lagi. Jocelyn harus mengungkapkan kekesalannya pada Jonathan kali ini.

“Nath, Lo itu kenapa sih?” ujar Jocelyn kesal. Ia memandang sinis pada Jonathan yang tengah makan bakso di depannya. Iya, mereka lagi dikantin.

“Gue kenapa?” tanya pemuda itu balik, terlihat cuek.

“Ya Lo ngapain ngikutin gue mulu, sih? Kaya gaada kegiatan lain aja?” ucap gadis itu kesal.

“Ya kan gue emang gada kegiatan lain Lin,” jawabnya lempeng. Jocelyn tambah kesal.

“Ck, seenggaknya jangan ngikutin gue mulu kek, gue risih!” tegas gadis itu.

“Lo tuh ga paham apa pura-pura bego sih Lin? Gue kan ngikutin lu karna gue suka sama lu? Ga nyadar emang?” Kata pemuda itu menatap tajam kearah Jocelyn.

Jocelyn membeku sesaat sebelum memukulkan alisnya tajam, “Lo tuh serius dikit bisa ga sih Nath?!” Sepertinya ia sudah berada dipuncak kesabarannya.

“Gue kurang serius apa sih Lin? Emang gue pernah becandain lu?” Tanya Jonathan, mulai terlihat kesal juga.

“Ya emang lu becanda mulu,” balas Jocelyn tajam.

Jonathan menghela napas, “iya juga sih. Tapi tentang gue suka sama lu itu beneran Liliin, terserah deh lu mau percaya apa kaga,” ucap Jonathan mengedikkan bahunya.

Jocelyn mendengus, lalu bangkit dari duduknya sambil menggumam, “dasar cowok ga jelas!”

Ck, dipikir Jocelyn percaya pada omongan tidak jelas Jonathan. Ia ingat ibunya pernah bilang, kalau laki-laki memang begitu, ia akan bilang suka meskipun belum benar-benar suka. Jadi Jocelyn harus hati-hati.

Jadi, jantung tolong berdetak begitu kencang. Omongan Jonathan itu hanya pemanis mulut saja. Rapal Jocelyn tak berhenti.

.

aegyo: bertingkah lucu/imut seonsu: atlet

***

“Langsung ke penelepon selanjutnya nih?” tanya Monday. Anggota Weeekly yang lain mengangguk.

“Halo!” Ucap member Weeekly serentak begitu daileee yang menjadi penelepon 1:1 selanjutnya muncul di layar.

“Halo!” ucap daileee itu, dari tampilannya ia sedikit lebih muda dari Zoa. Rambutnya diikat dua dan mengenakan kacamata bulat.

“이름이 뭐에요? (Ireum-i mwoeyo/namamu siapa?)” Tanya Jihan antusias. Ia tampaknya sangat gemes dengan daileee itu.

“Yeji imnida,” katanya malu-malu. Ia tampak gugup.

“Halo Yeji! Pengen tau dong, lagu kesukaan kamu apa!” Ucap Jiyoon.

“Aku paling suka Hello! Selalu ku dengerin pagi-pagi soalnya bikin semangat!” Ucapnya lebih terlihat rileks.

“아 진짜요? (A-jinjjayo/benarkah?) Seneng deh dengernya. Bagian mana yang jadi favorit kamu?” tanya Jaehee.

“Bagian rap Jaehee eonnie dan Zoa eonnie, aku suka banget bagian itu, candu banget,” ucap Yeji lagi. Sementara member Weeekly tampak sedikit terkejut.

Eonnie? Kamu lahir tahun berapa?” Tanya Soojin.

“Tahun 2007, lebih muda dua tahun dari Zoa eonnie, hehehe!” ucapnua malu-malu.

Member weeekly tampak memekik tertahan. Tambah gemes pada Yeji yang tersenyum malu.

“Uwa, beneran bayi~” ucap Zoa, yang lain mengangguk antusias.

“Bias kamu siapa?” Tanya Soeun lagi, dia betulan gemes sama daileee di depannya ini.

“Aa, biasku Jihan eonnie–” Yeji tertawa sebentar begitu melihat Jihan excited sementara member Weeekly yang lain mengerucutkan bibirnya pura-pura kesal. “Sebenarnya buat permintaan hari ini aku ingin meminta Jihan eonnie buat aegyo, tapi Oppa-ku yang menyebalkan memintaku untuk meminta Soeun eonnie saja yang aegyo,” kata Yeji.

“Aku? Kenapa?” Tanya Soeun heran.

“Ah itu, Oppa-ku sangat suka pada Soeun eonnie,” kata Yeji.

“얼마나 좋아요? (Eolmana johayo Seberapa suka?)” Tanya Monday.

“Sangaaaat suka! Sebelum tidur dia harus menonton fancam Soeun eonnie dulu,” jawab Yeji.

“Kalau gitu, bilang ke Oppa-mu untuk memintanya sendiri!” Ucap Monday.

“Eh? Harus?” Tanya Yeji bingung.

“Iya harus, masa Soeun mau aegyo buat Oppa-mu tapi gatau dia yang mana,” kata Monday.

“Tapi katanya dia malu,” ucap Yeji.

“Kalau gitu ga usah,” ucap Monday lagi.

'Yaaaa' terdengar suara laki-laki dilatar telepon Yeji.

“Itu Oppa-mu?” Tanya Jiyoon. Yeji mengangguk.

Oppa-nya Yeji, kalau kau ingin melihat Soeun aegyo, kau harus memintanya sendiri!” Kata Jiyoon.

Perlahan Yeji bergeser, Oppa-nya Yeji mulai masuk frame sedikit. Begitu wajahnya terlihat semua, member Weeekly terlihat terkejut, mereka saling melirik.

“Park Sunghoon imnida,” ucapnya membungkuk sedikit. Member Weeekly ikutan membungkuk.

“아니 근데, 엔하이픈 멤버 맞죠? (Ani geunde, enhypen member matjyo/ Btw, kamu member enhypen kan?)” tanya Soojin. Tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.

Ah, ne, ENHYPEN Sunghoon imnida. Ah, rasanya sangat canggung. Aku sebenarnya sudah menyukai sejak Weeekly lama. Makanya aku meminta adikku untuk ikut fancall 1:1,” ucapnya.

“Ah, jadi Yeji tak benar-benar menyukai Weeekly?” tanya Jaehee.

“아니요! (Aniyo/ enggak kok!) Aku betulan daileee. Lihat phone case-ku ada photo card Jihan eonnie,” sangkal Yeji cepat menunjukkan HP-nya.

“장난이요 (Jangnaniyo / bercanda kok). 근데, 성훈 씨 왜 소은 언니 좋아요? (Geunde, Sunghoon-ssi wae Soeun eonnie johayo/Tapi, Sunghoon-ssi kenapa kok suka sama Soeun eonnie)?” Tanya Zoa.

“귀여운쓰니까 (Kiyowosseunikka/karena dia lucu),” jawab Sunghoon pelan. Benar-benat tak bisa menyembunyikan rasa malu.

“아, 제가요? (Ah, jegayo/hah, aku?) Kayanya engga deh,” ucap Soeun, ikutan malu.

“Beneran kok, Soeun-ssi lucu tanpa dibuat-buat. 가만히 있어도 귀여워(Gamanhi isseodo, kiyewoyo/diam aja lucu). Apalagi pas promosi Zig-zag, perubahan ekspresinya sangat lucu,” kata Sunghoon cepat, Soeun memerah malu. Sementara member Weeekly yang lain menahan gemas.

“Tadi katanya Sunghoon-ssi ingin Soeun eonnie aegyo kan? Aegyo apa?” tanya Jihan.

“Ah itu, aku ingin liat part dilagu Zig-zag yang 'Zig-zag sini naseo usdaga, gwaenhi tto hwana, nae mameul waenji ppitul ppateul'” ucap Sunghoon.

“Oke, eonnie siap-siap!” Kata Jaehee. Setelahnya mereka menyanyikan verse yang dimaksud supaya Soeun bisa melakukan aegyo yang dimaksud.

Setelah aegyonya selesai mereka bertepuk tangan dan tertawa. Muka Soeun sudah memerah sepenuhnya.

“아 근데 (A geundae/btw), sebenarnya aku juga fans Sunghoon-ssi. Dulu aku sering menonton pertandingan ice skating Sunghoon-ssi. 너무 멋짔어요 (Neomu mosissoyo/sangat keren)!” Kata Soeun.

“Ah, tapi itu Park Sunghoon-seonsu kan yang Soeun-ssi suka?” tanya Sunghoon.

Soeun mengangguk, “네, 박 성훈 선수 좋아요! (Ne, Park Sunghoon-seonsu johayo/Iya, aku menyukai Park Sunghoon-seonsu),” katanya.

“지금도 아직 좋아요? (Jigeumdo, ajik johayo/sekarang juga masih suka)?” tanya pemuda itu lagi.

“Ne?” (Ya?)

“Park Sunghoon-seonsu sekarang udah gaada. Adanya ENHYPEN Sunghoon. Masih suka?” tanyanya lagi.

Soeun terdiam sejenak, lalu tersenyum. Semburat merah kembali muncul di pipinya.

. . . . . . . . . .

Fin

“Stop, istirahat dulu dong,” ucap Soeun terengah-engah. Ia memegang lututnya lalu kemudian duduk ditengah lapangan dengan kaki diluruskan.

“Elah, masa udah cape aja sih, katanya mau ikut turnamen,” ucap Sunghoon, namun tetap duduk disamping gadis itu, ikut mengatur napas.

Soeun dan Sunghoon adalah tetangga, ya pacar juga sih. Walau pacarannya diem-diem aja biar ga digangguin sama kakak-kakak di komplek perumahan mereka.

Soeun katanya akan mengikuti turnamen basket dua bulan kedepan, jadi dia akhir-akhir ini sering meminta Sunghoon untuk ikut latihan bersamanya sekalian untuk melatih skill. Karena Sunghoon merupakan kapten basket disekolahnya.

Mereka terdiam cukup lama, pengaruh lelah sih sepertinya. Mereka sudah bermain sejak beberapa jam lalu, air mineral yang tadi dibawa keduanya dari rumah saja sudah habis.

“Hoon, ciuman tuh, gimana sih?” Ucap Soeun tiba-tiba.

Sunghoon menoleh kearah Soeun, mengangkat sebelah alisnya aneh.

“Lo ngapain nanya gitu?” tanyanya heran.

“Ya penasaran aja, kemarin gue nonton drakor terus ada adegan ciumannya, gue jadi penasaran,” ucap Soeun santai.

“Aneh-aneh aja tontonan lu,” kata Sunghoon.

“Aneh darimana sih, orang semua temen kelas gue nonton drakor. Kemarin aja sempat nobar pas jamkos,” kata Soeun nyengir.

“Terserah lu deh, emang kenapa penasaran sama ciuman?” Tanya Sunghoon.

“Ya, penasaran aja. Emangnya Lo engga?” Tanya Soeun balik, Sunghoon hanya mengendikkan bahunya, tidak kelihatan tertarik dengan pembahasan gadis di sampingnya itu.

Mereka diam lama lagi setelahnya. Sampai Soeun tiba-tiba nyeletuk.

“Lo tau caranya ciuman Hoon?” tanya Soeun.

“Lo kenapa malah jadi nanya aneh-aneh sih?” tanya Sunghoon balik, mulai merasa risih dengan pertanyaan Soeun tentang ciuman itu.

“Ya jawab aja sih, Hoon. Kalau tau gimana, kalau gatau ya udah,” ucap Soeun lagi, belum bosan mendesak Sunghoon.

“Tau, ciuman tuh kaya gini,” ucap Sunghoon lalu mencontohkan dua bibir yang saling bertemu dengan kedua tangannya.

Niatnya sih supaya Soeun berhenti bertanya. Namun, perlakuan Soeun selanjutnya membuatnya membatu.

“Gini?” Kata Soeun setelah mengecup pelan bibir Sunghoon.

Sunghoon kaget, ia tak menduga hal tersebut sama sekali. Makanya yang ia lakukan sekarang adalah mengangkat alisnya sebelah seakan bertanya akan maksut perbuatan Soeun.

“Kan kata Lo tadi habis dijelasin langsung dipraktekin biar ga lupa,” kata Soeun nyengir. Sunghoon menghela napas, ia memang sempat bilang begitu tadi sewaktu mereka masih latihan basket.

“Jadi gimana?” tanya Soeun.

“Gimana apanya?” tanya Sunghoon balik.

“Ya itu, ciuman tuh gitu?” tanya gadis itu.

“Lo beneran pengen tau?” Soeun menanggapi pertanyaan itu dengan anggukan antusias.

“Salah, yang tadi tuh kecup doang. Kalau ciuman kaya gini,” ucap Sunghoon, setelahnya ia menghadap Soeun, menariknya mendekat, lalu mengambil dagu gadis itu dan mengecupnya lama.

Soeun cukup terkejut ketika ia merasakan bibir Sunghoon menyesap bibir bawah dan atasnya bergantian. Patah-patah mencoba membalas.

Ah, jadi begini rasanya. Soeun menutup kedua matanya, menikmati pergerakan bibir Sunghoon diatas bibirnya. Ternyata perasaan tubuh dipenuhi kupu-kupu itu benar adanya. Soeun merasakannya sekarang.

Setelah cukup lama, Sunghoon melepas pagutannya pada bibir Soeun. Menatap matanya dalam sebelum berucap, “Nah, ciuman tuh gitu. Gimana rasanya?” Tanyanya pelan.

“Lucu, agak asin. Karena keringat kali ya?” Jawab gadisnya dengan jahil.

Mereka berdua tertawa dengan keras setelahnya.

“Kalau mau manis pakai permen lah?” Ucap yang lebih tinggi.

“Emang nanti bakal ciuman lagi?” Tanya Soeun heran.

“Ya terserah,” ucap Sunghoon lalu menepuk-nepuk kepala Soeun.

“Ayo pulang, udah sore!” Ucapnya mengalihkan, berdiri lebih dulu lalu mengulurkan tangannya pada Soeun.

Soeun meraihnya, lalu tersenyum “Ayo!” katanya.

. . . . .

fin

cw // cigarette, mention of smoking, kissing, r15

Jongseong mengeluarkan asap rokok dari mulutnya dengan frustasi. Ia sudah capek menjadi harapan semua orang. Ia sudah lelah ditekan sana-sini. Untuk hari ini, dia hanya ingin melampiaskannya dengan merokok.

“Wow, gue gatau Park Jongseong, ketua OSIS sekaligus murid teladan kesayangan para guru bisa ngerokok juga,”

Jongseong menoleh, mendapati Sunghoon, salah satu teman sekelasnya berdiri didepannya. Menghalangi sinar matahari yang tadi menyengatnya.

“Kalau Lo mau ngelaporin gue ke guru lapor aja,” kata pemuda itu pelan.

“Dih siapa bilang, orang gue mau minta rokok lu,” kata Sunghoon lalu duduk disamping cowok itu, mengambil rokoknya, lalu mulai menghisapnya dalam. Setelahnya ia menyandarkan dirinya di tembok dan ikut menghembuskan asap rokoknya.

“Lo ngerokok?” Tanya Jongseong, cukup kaget karena cowok dihadapannya ini walaupun tak terlihat seperti cowok alim dia sepertinya tidak juga se-nakal itu.

Sunghoon mengangguk pelan. Kembali menghisap rokok ditangannya.

“Sejak kapan?” Tanya cowok itu lagi, tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.

“Kelas 10 kayanya,” ucap yang lebih muda. Jongseong mengangguk paham, berhenti bertanya. Lalu mengambil kembali rokoknya. Mulai menghisapnya dalam lagi.

Selama lima menit, yang mereka lakukan adalah menghabiskan satu batang rokok berdua, mengoper-oper linting ditangan. Mencoba saling memahami melalui sebatang rokok.

Tepat ketika Jongseong menghembuskan asap rokoknya yang terakhir, ia membuang sisa puntung rokok tersebut lalu menginjaknya.

Sunghoon hanya menoleh sebentar, lalu menghadap kedepan lagi. Mereka saling diam selama beberapa menit, hanya menikmati hembusan angin dibelakang sekolah itu.

“Btw Hoon, kita tadi tuker-tukeran rokok, kita secara ga langsung ciuman dong?” Kata Jongseong iseng.

Sunghoon menoleh pada pemuda disampingnya, “yaudah, sih, kenapa emang kalau kita indirect kiss?” tanyanya tak peduli.

“Daripada kita indirect kiss, kenapa ga kiss beneran aja?” Ucap yang lebih tua. Sunghoon terdiam.

“Wow, Jongseong kita kayanya baru ngobrol sekarang even kita udah sekelas setahun, dan Lo ngajak gue ciuman di konversasi pertama kita? Segampang itu?” Tanya Sunghoon terkekeh.

Jongseong mengendikkan bahunya, “kenapa engga?”

“Ga sih, penasaran aja reaksi guru-guru kalau mereka tau murid kesayangannya kayak gini,” ucap Sunghoon sambil menjalankan tangannya dari atas kepala Jongseong, lalu berhenti dipipinya.

“Emang Lo kayak gimana?” Ucap Jongseong lagi, memandang tepat kemata Sunghoon.

“Ya gini, gue kan orang paling ga keliatan di sekolah,” jawab Sunghoon.

“Ya terus kenapa? Apa salahnya kalau gue mau kita kissing Park Sunghoon?” Tanya Jongseong dengan suara rendah, memegang tangan Sunghoon yang sejak tadi bertengger di pipinya.

Setelah memandang Jongseong cukup lama, Sunghoon berucap, “tapi Lo ganteng, sih. Ayo ciuman Seong,” ucap Sunghoon tersenyum kecil.

“Wait.,” ucap Sunghoon lagi, memutus kontak mata mereka berdua. Ia kemudian merogoh kantung seragamnya, terlihat mencari sesuatu.

“Lo ngapain?” ujar Jongseong heran.

Soeun merogoh kantong celananya lalu mengeluarkan sebuah permen kiss warna merah.

“Biar lebih enak,”

Jongseong tersenyum senang.

Then, just like that, they share kisses for the first time. The sound of clicking tongues filled the quiet back of the school. They enjoyed the moment. Because, for the second time in the same day, they feel calm, also safe.

It was as if, when they shared cigarettes and kisses, the problems they faced were momentarily forgotten.

Jongseong melepas ciumannya, dengan dahi yang hampir menempel. Setelahnya, ia mengelap bibir Sunghoon dengan ibu jarinya.

Thank you,” katanya.

Sunghoon tersenyum, “you're welcomeAfter that Sunghoon moved her face slightly, continuing their kissing session.

. . . . . . . .

—fin

Sunghoon mengeluarkan asap rokok dari mulutnya dengan frustasi. Ia sudah capek menjadi harapan semua orang. Ia sudah lelah ditekan sana-sini. Untuk hari ini, dia hanya ingin melampiaskannya dengan merokok.

“Wow, gue gatau Park Sunghoon, ketua OSIS sekaligus murid teladan kesayangan para guru bisa ngerokok juga,”

Sunghoon menoleh, mendapati Soeun, salah satu teman sekelasnya berdiri didepannya. Menghalangi sinar matahari yang tadi menyengatnya.

“Kalau Lo mau ngelaporin gue ke guru lapor aja,” kata pemuda itu pelan.

“Dih siapa bilang, orang gue mau minta rokok lu,” kata Soeun lalu duduk disamping cowok itu, mengambil rokoknya, lalu mulai menghisapnya dalam. Setelahnya ia menyandarkan dirinya di tembok dan ikut menghembuskan asap rokoknya.

“Lo ngerokok?” Tanya Sunghoon, cukup kaget karena cewek ini walaupun tak terlihat seperti cewek alim dia sepertinya tidak juga se bar-bar itu.

Soeun mengangguk pelan. Kembali menghisap rokok ditangannya.

“Tapi Lo cewek,” kata Sunghoon lagi.

“Gaada yang bilang gue cowok,” ucap Soeun pelan.

“Sejak kapan?” Tanya cowok itu lagi, tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.

“Kelas 10 kayanya,” ucap Soeun lagi. Cowok itu mengangguk paham, berhenti bertanya. Lalu mengambil kembali rokoknya. Mulai menghisapnya dalam lagi.

Selama lima menit, yang mereka lakukan adalah menghabiskan satu batang rokok berdua, mengoper-oper linting ditangan. Mencoba saling memahami melalui sebatang rokok.

Tepat ketika Sunghoon menghembuskan asap rokoknya yang terakhir, ia membuang sisa puntung rokok tersebut lalu menginjaknya.

Soeun hanya menoleh sebentar, lalu menghadap kedepan lagi. Mereka saling diam selama beberapa menit, hanya menikmati hembusan angin dibelakang sekolah itu.

“Btw Eun, kita tadi tuker-tukeran rokok, kita secara ga langsung ciuman dong?” Kata Sunghoon iseng.

Soeun menoleh pada pemuda itu disampingnya, “yaudah, sih, kenapa emang kalau kita indirect kiss?” tanyanya tak peduli.

“Daripada kita indirect kiss, kenapa ga kiss beneran aja?” Ucap cowok itu. Soeun terdiam.

“Wow, Sunghoon kita kayanya baru ngobrol sekarang even kita udah sekelas setahun, dan Lo ngajak gue ciuman di konversasi pertama kita? Segampang itu?” Tanya Soeun terkekeh.

Sunghoon mengendikkan bahunya, “kenapa engga?”

“Ga sih, penasaran aja reaksi guru-guru kalau mereka tau murid kesayangannya kayak gini,” ucap Soeun sambil menjalankan tangannya dari atas kepala Sunghoon, lalu berhenti dipipinya.

“Emang Lo kayak gimana?” Ucap Sunghoon lagi, memandang tepat kemata Soeun.

“Ya gini, gue kan cewek paling ga keliatan di sekolah,” jawab Soeun.

“Ya terus kenapa? Apa salahnya kalau gue mau kita kissing Park Soeun?” Tanya Sunghoon dengan suara rendah, memegang tangan Soeun yang sejak tadi bertengger di pipinya.

Setelah memandang Sunghoon cukup lama, Soeun berucap, “tapi Lo ganteng, sih. Ayo ciuman Hoon,” ucap Soeun tersenyum kecil.

“Wait.,” ucap Soeun lagi, memutus kontak mata mereka berdua. Ia kemudian merogoh kantung seragamnya, terlihat mencari sesuatu.

“Lo ngapain?” ujar Sunghoon heran.

Soeun merogoh kantong roknya lalu mengeluarkan sebuah permen kiss warna merah.

“Biar lebih enak,”

Sunghoon tersenyum senang.

Then, just like that, they share kisses for the first time. The sound of clicking tongues filled the quiet back of the school. They enjoyed the moment. Because, for the second time in the same day, they feel calm, also safe.

It was as if, when they shared cigarettes and kisses, the problems they faced were momentarily forgotten.

Sunghoon melepas ciumannya, dengan dahi yang hampir menempel. Setelahnya, ia mengelap bibir Soeun dengan ibu jarinya.

Thank you,” katanya.

Soeun tersenyum, “you're welcomeAfter that Soeun moved her face slightly, continuing their kissing session.

. . . . . . . .

—fin

Sunghoon let out cigarette smoke from his mouth in frustration. He was tired of being everyone's hope. He was tired of being pressed here and there. For today, he just wanted to vent it by smoking.

“Wow, I didn't know Park Sunghoon, the student council president and the teacher's favorite model student can smoke too,”

Sunghoon turned his head to find Soeun, one of his classmates standing in front of him. Blocking the sunlight that had stung him.

“If you want to report me to the teacher, report it,” said the young man slowly.

“Who said that, I wanna ask for your cigarette,” said Soeun, then sat down beside the boy, took his cigarette, then began to inhale deeply. Then she leaned against the wall and exhaled the smoke.

“Are you smoking?” Sunghoon asked, quite surprised because this girl even though she didn't look like an innocent girl she didn't seem that bar-baric either.

Soun nodded slowly. He smoked the cigarette in his hand again.

“But you're a girl,” Sunghoon said again.

“No one said I'm a boy,” Soeun said slowly.

“Since when?” asked the boy again, unable to hide his curiosity.

“Tenth grade I guess,” said Soeun again. The boy nodded in understanding, stopped asking questions. Then took the cigarette back. Start sucking it in again.

For five minutes, all they did was smoke a cigarette together, hand-rolled. Trying to understand each other through a cigarette.

Just as Sunghoon exhaled the last of his cigarette smoke, he threw away the remaining cigarette and stepped on it.

Soeun just looked away for a moment, then faced forward again. They were silent for a few minutes, just enjoying the breeze behind the school.

“Btw Eun, we were exchanging cigarettes, we did indirectly kiss aren't we?” Sunghoon said idly.

Soeun turned to the young man beside her, “yes I guess, so what?” she chilly asked.

“Instead of us having an indirect kiss, why don't we kiss for real?” Said the boy. Soeun was silent.

“Wow, Sunghoon we've only been talking now even though we've been in the same class for a year, and you asked me to kiss you at our first conversation? That easy?” Soeun asked chuckling.

Sunghoon shrugged his shoulders, “why not?”

“No, I'm just curious about the reactions of the teachers if they know their favorite student is like this,” said Soeun while running her hand over Sunghoon's head, then stopped on his cheek.

“How are you like?” Sunghoon said again, looking straight into Soeun's eyes.

“Well, I'm the least visible girl in school,” Soeun replied.

“So why? What's wrong if I want us to kiss Park Soeun?” Sunghoon asked in a low voice, holding Soeun's hand which had been perched on his cheek.

After looking at Sunghoon for a long time, Soeun said, “But you're handsome, anyway. Let's kiss Hoon,” said Soeun with a small smile.

“Wait,” Soeun said again, breaking their eye contact. He then reached into his uniform pocket, looking for something.

“What are you doing?” Sunghoon said surprised.

Soeun reached into her skirt pocket and took out a red kiss candy.

“To make it taste better,”

Sunghoon let his smirk out.

Then, just like that, they share kisses for the first time. The sound of clicking tongues filled the quiet back of the school. They enjoyed the moment. Because, for the second time in the same day, they feel calm, also safe.

It was as if, when they shared cigarettes and kisses, the problems they faced were momentarily forgotten.

Sunghoon broke the kiss, with almost forehead stick. After that, He wiped Soeun's lips with his thumb.

“Thank you,” he said.

Soeun smiled, “you're welcome” After that Soeun moved her face slightly, continuing their kissing session.

—fin

Sunghoon let out cigarette smoke from his mouth in frustration. He was tired of being everyone's hope. He was tired of being pressed here and there. For today, he just wanted to vent it by smoking.

“Wow, I didn't know Park Sunghoon, the student council president and the teacher's favorite model student can smoke too,”

Sunghoon turned his head to find Soeun, one of his classmates standing in front of him. Blocking the sunlight that had stung him.

“If you want to report me to the teacher, report it,” said the young man slowly.

“Who said that, I wanna ask for your cigarette,” said Soeun, then sat down beside the boy, took his cigarette, then began to inhale deeply. Then she leaned against the wall and exhaled the smoke.

“Are you smoking?” Sunghoon asked, quite surprised because this girl even though she didn't look like an innocent girl she didn't seem that bar-baric either.

Soun nodded slowly. He smoked the cigarette in his hand again.

“But you're a girl,” Sunghoon said again.

“No one said I'm a boy,” Soeun said slowly.

“Since when?” asked the boy again, unable to hide his curiosity.

“Tenth grade I guess,” said Soeun again. The boy nodded in understanding, stopped asking questions. Then took the cigarette back. Start sucking it in again.

For five minutes, all they did was smoke a cigarette together, hand-rolled. Trying to understand each other through a cigarette.

Just as Sunghoon exhaled the last of his cigarette smoke, he threw away the remaining cigarette and stepped on it.

Soeun just looked away for a moment, then faced forward again. They were silent for a few minutes, just enjoying the breeze behind the school.

“Btw Eun, we were exchanging cigarettes, we did indirectly kiss aren't we?” Sunghoon said idly.

Soeun turned to the young man beside her, “yes I guess, so what?” she chilly asked.

“Instead of us having an indirect kiss, why don't we kiss for real?” Said the boy. Soeun was silent.

“Wow, Sunghoon we've only been talking now even though we've been in the same class for a year, and you asked me to kiss you at our first conversation? That easy?” Soeun asked chuckling.

Sunghoon shrugged his shoulders, “why not?”

“No, I'm just curious about the reactions of the teachers if they know their favorite student is like this,” said Soeun while running her hand over Sunghoon's head, then stopped on his cheek.

“How are you like?” Sunghoon said again, looking straight into Soeun's eyes.

“Well, I'm the least visible girl in school,” Soeun replied.

“So why? What's wrong if I want us to kiss Park Soeun?” Sunghoon asked in a low voice, holding Soeun's hand which had been perched on his cheek.

After looking at Sunghoon for a long time, Soeun said, “But you're handsome, anyway. Let's kiss Hoon,” said Soeun with a small smile.

“Wait,” Soeun said again, breaking their eye contact. He then reached into his uniform pocket, looking for something.

“What are you doing?” Sunghoon said surprised.

Soeun reached into her skirt pocket and took out a red kiss candy.

“To make it taste better,”

Sunghoon let his smirk out.

Then, just like that, they share kisses for the first time. The sound of clicking tongues filled the quiet back of the school. They enjoyed the moment. Because, for the second time in the same day, they feel calm, also safe.

It was as if, when they shared cigarettes and kisses, the problems they faced were momentarily forgotten.

Sunghoon broke the kiss, with almost forehead stick. After that, He wiped Soeun's lips with his thumb.

“Thank you,” he said.

Soeun smiled, “you're welcome” After that Soeun moved her face slightly, continuing their kissing session.

—fin

Sunghoon mengeluarkan asap rokok dari mulutnya dengan frustasi. Ia sudah capek menjadi harapan semua orang. Ia sudah lelah ditekan sana-sini. Untuk hari ini, dia hanya ingin melampiaskannya dengan merokok.

“Wow, gue gatau Park Sunghoon, ketua OSIS sekaligus murid teladan kesayangan para guru bisa ngerokok juga,”

Sunghoon menoleh, mendapati Soeun, salah satu teman sekelasnya berdiri didepannya. Menghalangi sinar matahari yang tadi menyengatnya.

“Kalau Lo mau ngelaporin gue ke guru lapor aja,” kata pemuda itu pelan.

“Dih siapa bilang, orang gue mau minta rokok lu,” kata Soeun lalu duduk disamping cowok itu, mengambil rokoknya, lalu mulai menghisapnya dalam. Setelahnya ia menyandarkan dirinya di tembok dan ikut menghembuskan asap rokoknya.

“Lo ngerokok?” Tanya Sunghoon, cukup kaget karena cewek ini walaupun tak terlihat seperti cewek alim dia sepertinya tidak juga se bar-bar itu.

Soeun mengangguk pelan. Kembali menghisap rokok ditangannya.

“Tapi Lo cewek,” kata Sunghoon lagi.

“Gaada yang bilang gue cowok,” ucap Soeun pelan.

“Sejak kapan?” Tanya cowok itu lagi, tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.

“Kelas 10 kayanya,” ucap Soeun lagi. Cowok itu mengangguk paham, berhenti bertanya. Lalu mengambil kembali rokoknya. Mulai menghisapnya dalam lagi.

Selama lima menit, yang mereka lakukan adalah menghabiskan satu batang rokok berdua, mengoper-oper linting ditangan. Mencoba saling memahami melalui sebatang rokok.

Tepat ketika Sunghoon menghembuskan asap rokoknya yang terakhir, ia membuang sisa puntung rokok tersebut lalu menginjaknya.

Soeun hanya menoleh sebentar, lalu menghadap kedepan lagi. Mereka saling diam selama beberapa menit, hanya menikmati hembusan angin dibelakang sekolah itu.

“Btw Eun, kita tadi tuker-tukeran rokok, kita secara ga langsung ciuman dong?” Kata Sunghoon iseng.

Soeun menoleh pada pemuda itu disampingnya, “yaudah, sih, kenapa emang kalau kita indirect kiss?” tanyanya tak peduli.

“Daripada kita indirect kiss, kenapa ga kiss beneran aja?” Ucap cowok itu. Soeun terdiam.

“Wow, Sunghoon kita kayanya baru ngobrol sekarang even kita udah sekelas setahun, dan Lo ngajak gue ciuman di konversasi pertama kita? Segampang itu?” Tanya Soeun terkekeh.

Sunghoon mengendikkan bahunya, “kenapa engga?”

“Ga sih, penasaran aja reaksi guru-guru kalau mereka tau murid kesayangannya kayak gini,” ucap Soeun sambil menjalankan tangannya dari atas kepala Sunghoon, lalu berhenti dipipinya.

“Emang Lo kayak gimana?” Ucap Sunghoon lagi, memandang tepat kemata Soeun.

“Ya gini, gue kan cewek paling ga keliatan di sekolah,” jawab Soeun.

“Ya terus kenapa? Apa salahnya kalau gue mau kita kissing Park Soeun?” Tanya Sunghoon dengan suara rendah, memegang tangan Soeun yang sejak tadi bertengger di pipinya.

Setelah memandang Sunghoon cukup lama, Soeun berucap, “tapi Lo ganteng, sih. Ayo ciuman Hoon,” ucap Soeun tersenyum kecil.

Wait.,” ucap Soeun lagi, memutus kontak mata mereka berdua. Ia kemudian merogoh kantung seragamnya, terlihat mencari sesuatu.

“Lo ngapain?” ujar Sunghoon heran.

Soeun merogoh kantong roknya lalu mengeluarkan sebuah permen kiss warna merah.

“Biar lebih enak,”

Sunghoon tersenyum senang.

Then, just like that, they share kisses for the first time. The sound of clicking tongues filled the quiet back of the school. They enjoyed the moment. Because, for the second time in the same day, they feel calm, also safe.

It was as if, when they shared cigarettes and kisses, the problems they faced were momentarily forgotten.

Sunghoon melepas ciumannya, dengan dahi yang hampir. menempel. Setelahnya, ja mengelap bibir Soeun dengan ibu jarinya.

Thank you,” katanya.

Soeun tersenyum, “you're welcomeAfter that Soeun moved her face slightly, continuing their kissing session.

. . . . . . . .

—fin