zoaniel

nothing

Pernah ga sih sakit hati karena ekspektasi sendiri. Mungkin pernah ya? Jiheon pernah. Dan karena hal itu, sekarang Jiheon tidak mau berekspektasi apa-apa lagi.

Ah, anyway, cerita Jiheon ini mungkin sedikit berbeda dengan cerita dibikin sakit hati oleh ekspetasi yang lain. Ini cerita tentang Jiheon dan rasa cemburunya.


“Heon, itu bukannya pacar Lo? Kok nganterin cewek lain?” Jiheon menoleh pada temannya, menaikkan sebelah alis.

“Itu si Sunoo nganterin Sohee murid baru. Baru aja pisah di parkiran. Sunoo pacar Lo kan?” Kata temannya lagi.

Jiheon mengangguk, “Iya, tapi sunoo udah bilang kok, katanya dia bareng Sohee soalnya lagi ngurusin kerja kelompok, searah juga rumahnya,” ucap Jiheon.

Temannya mengangguk, “oh gitu, tapi kalau ada apa-apa bilang aja ya, Heon?” Jiheon balas tersenyum mengiyakan.

“Mending Lo sekarang duduk di bangku Lo, bentar lagi Pak Taeyang masuk,” kata Jiheon.

*

Jiheon kepikiran. Ia tak fokus dengan penjelasan pak Taeyang tentang sistem syaraf di depan. Ia terus memikirkan kejadian tadi pagi.

Tentu saja alasan yang dibilang kepada temannya itu hanya karangan Jiheon saja. Ia hanya tak mau masalah hubungannya diumbar-umbar ke orang lain.

Ia ingat tadi pagi Sunoo bilang kepadanya kalau pagi ini tak bisa menjemput soalnya ada urusan penting. Jadi ini urusan pentingnya? Mengantarkan Sohee? Jiheon tak habis pikir.

Namun, Jiheon tak mau berprasangka buruk terlebih dahulu. Ia yakin Sunoo pasti menjelaskan tentang ini, pasti.

*

Sayangnya, penjelasan yang ditunggu Jiheon tak kunjung datang. Sunoo memang masih seperti biasanya, memperhatikannya dengan baik, mengelus puncak kepalanya hampir setiap waktu, dan banyak hal manis lainnya. Namun hari ini Jiheon lebih menunggu penjelasan tentang kejadian tadi pagi.

“Heon kamu hari Minggu ada acara ga?” Tanya Sunoo, Jiheon mengerjap kaget, soalnya sejak tadi terlarut dalam lamunannya.

“Enggak kok, kenapa?” jawab Jiheon.

“Yes, kamu kerumah aku ya? Mau aku kenalin ke orang penting,” ucap Sunoo excited.

“Oke,” ujar Jiheon tersenyum, Sunoo sontak mengecup puncak kepala pacarnya itu.

*

Hari ini Minggu, pukul sembilan Jiheon audah berdiri di depan rumah Sunoo. Bohong kalau Jiheon tak gugup, dia gugup sekali. Walaupun ini bukan pertama kali ia kerumah Sunoo, dan ia juga sudah kenal sama kedua orangtua Sunoo, tetap saja ia gugup.

Jiheon memencet bel setelah memastikan penampilannya sudah rapi.

Cklek

“Eh, pacarnya Nunu ya? Ayo masuk, Nunu-nya lagi mandi,” Jiheon yang tengah menunduk langsung menatap kedepan. Terkejut melihat Sohee yang tengah mengeringkan rambutnya menggunakan handuk didepannya.

Pikirannya mulai berkecamuk, kenapa Sohee ada disini? Terus keliatannya Sohee habis mandi, dia nginap disini, dong? Terus tadi Sohee manggil apa, Nunu? Yang dianterin waktu itu aja belum dijelasin sama Sunoo, terus ini lagi. Kalau bisa, kayanya Jiheon mau nangis aja sekarang.

“Mau langsung ke kamar Nunu aja apa nungguin disini?” Tanya Sohee.

“D- disini aja,” ucap Jiheon.

Sohee mengangguk, “Kalau gitu tunggu sini bentar ya, Sohee ambilin minum. Nunu udah ga lama kok kayanya,”

Berbagai skenario mulai terputar dikepala Jiheon, bagaimana kalau sebenarnya Sohee adalah orang yang dijodohkan dengan Sunoo, dan Jiheon cuma selingkuhan Sunoo aja? Oke, dititik ini, mungkin Jiheon kebanyakan baca wattpad.

“Ji, kok ga langsung ke kamar aja?” Jiheon menoleh, mendapati Sunoo yang tengah mengeringkan rambutnya. Pacarnya itu hanya memakai kaos putih kebesaran dan celana pendek.

“Kata Sohee tadi kamu lagi mandi, ga enak aja,” jawab Jiheon.

“Lah, udah ketemu Sohee? Mana anaknya?” tanya Sunoo.

Dengan setengah hati Jiheon menjawab, “lagi bikinin minum katanya,” boleh sebel ga sih dia? Dia ada disini kok cowoknya malah nanyain orang lain.

“Oh, semoga ga ngehancurin dapur tuh anak. Kemarin bikin mie aja panci hampir gosong,” ucap Sunoo sambil bergidik.

“Sohee tinggal disini?” Jiheon bertanya hati-hati.

“Iya, makanya aku ngajakin kamu kesini tuh biar kenalan sama Sohee,” ujar Sunoo excited.

Oke, Jiheon sekarang harus apa, ikutan senang dengan fakta kalau pacarnya tinggal serumah sama cewek lain?

“Soiiiiiii, kesini cepettt,” panggil pemuda itu. Jiheon tambah sebel aja rasanya.

“Sabar ih, orang lagi bikin minuman juga,” jawab Sohee. Tak lama ia muncul membawa nampan yang diatasnya ada sirup melon, beserta sepiring kue.

Sohee meletakkan isi nampannya keatas meja. Setelahnya ia hendak berbalik namun tangannya ditahan oleh Sunoo.

“Soi jangan pergi dulu ih, kenalan dulu sama pacar Nunu,” ucapnya.

Oke, siapapun bawa Jiheon pergi sekarang. Sedikit lagi airmata-nya akan keluar

“Soi, ini Jiheon pacar Nunu. Ji, ini Sohee adik kembar aku,” ucap Sunoo.

1

2

3

“Hah, apa? Adik kembar?” Ucap Jiheon kaget. Jadi selama ini dia cemburu ke calon adek ipar?

“Iya, maaf ya Ji baru cerita. Soalnya selama ini kita tinggal kepisah. Mama papa kita pisah pas masih kelas 3 SD. Soi ikut papa, aku ikut mama. Tapi Minggu lalu papa dipindah-tugaskan ke Jepang. Soi ga mau ikut jadi tinggal disini deh,” kata pemuda itu lagi.

“Loh Jiheon kok nangis?” Panik Sohee ketika melihat satu persatu air mata Jiheon keluar, sebelum akhirnya terisak.

Sunoo juga ikut panik dan mencoba memeluk pacarnya itu sambil mengusap punggungnya.

“Sohee, maaf ya,” ucap Jiheon disela isakannya.

“Loh kok minta maaf sih? Kan Jiheon ga salah apa-apa..,” kata Sohee bingung.

“Aku sebenarnya cemburu sama kamu terus curiga yang enggak-enggak,” ucap Jiheon lagi sambil mencoba menghapus air matanya.

Mendengar hal itu Sunoo tertawa terbahak-bahak. Sebelum akhirnya ditabok oleh Jiheon seakan bilang, “diam, inituh gara-gara kamu”

“Gapapa kok Heon, itumah salah Nunu aja ga ngenalin dari dulu. Eh tapi kata Nunu, Jiheon pinter masak ya? Ajarin aku dong nanti, hehe, boleh ga?” Kata Sohee tersenyum.

Yang diangguki dengan cepat oleh Jiheon, “boleh dong!”

Sohee ber-yeay pelan.

Ting tong

“Eh itu kayanya pacar Sohee deh yang datang. Sohee kedepan ya, Jiheon kalau Nunu jahat lagi tabok aja,” ucap Sohee sebelum kemudian beranjak.


Kalau dipikir-pikir, alasan Jiheon cemburu lucu juga, lagipula sebenarnya Sunoo juga tak akan berselingkuh dari dia sih, kan Sunoo bucin. Tapi gapapa, yang penting sekarang Jiheon sudah akrab dengan Sohee. Ga percaya? Tanya aja Sohee-nya sendiri.

Olip lagi dikosan Dongpyo, dengerin bacotan pacarnya itu tentang seberapa menjengkelkan matkul statistik yang manjadi mata kuliah wajib di semester 2.

Olip ga bisa ngapa-ngapain juga selain ngedengerin, mau ngajarin dia juga ga pinter-pinter banget. Jadi dia dengerin aja.

“Eh tapi kakak sepupu Lo beneran sama si Jay, Lip?” Kata Dongpyo, ujung-ujungnya ngajakin gosip juga, tapi gapapa. Kalau gini berarti udah balik normal.

“Kaga tau dah, terakhir sih kata Kak Arin gamau pacaran dulu. Tapi gue liat-liat si Jay itu gigih juga merjuangin dia, kata gue ga lama lagi pacaran sih,” ungkap Olip.

Gimana ya, Olip nih walaupun mukanya judes, ada bibit-bibit julidnya, ini kata Dongpyo. Eh pacaran sama biang gosip, gimana ga tumbuh subur tuh bakat?

“Sip, kalau beneran pacaran kabarin ya Lip, biar bisa gue taroh di ig lambe kampus,” ujar Dongpyo. Olip ngangguk doang, mau dilarang juga ni bocah satu ga akan berhenti.

Habis itu mereka gosipin banyak hal, dari angkatan Dongpyo, angkatan Olip, sampe angkatan atas-atas juga habis digosipin.

Dulu, pas awal-awal pacaran banyak yang skeptis sama hubungan mereka. Gimana ya, mereka tuh kaya air dan api, kombinasi yang menurut banyak orang aneh banget. Ga bisa nyatu.

Banyak yang bilang, peran mereka ketuker. Olip yang lebih maskulin lah, Dongpyo terlalu cewek lah.

Olip diem aja sih, soalnya yang dibilang sama orang-orang itu ya ga salah-salah amat.

Paling keliatan keliatan kalau ngedate, sih. Dongpyo yang selalu narik Olip kemana-mana, Olip bagian iya-iya aja.

Pernah ada ibu-ibu yang nanya, “kakaknya ya mas?” ke Dongpyo, Olip sebenarnya b aja sih, tapi sama Dongpyo di sahutin, “aduh Bu, galiat ini kita gandengan, ini tuh pacar saya, cantik kan?” Udah gitu Dongpyo langsung pergi, ngajakin Olip makan es krim.

Sederhana, tapi bikin Olip sadar kalau ni bocah tengil ga main-main sama hubungan mereka.

Yang bikin Olip seneng juga, Dongpyo sadar dengan fakta Olip yang ga suka umbar-umbar hubungan. Hubungan ya dijalanin berdua, jadi yang tau gimana-gimana nya ya berdua aja.

Dongpyo tau preferensi-nya dan milih buat bikin hubungan mereka low-key aja, ga banyak yang tau atau peduli. Padahal kalau dipikir-pikir, Dongpyo itu admin ig lambe kampus.

Tapi dari Yeojin dia tau, kalau Dongpyo larang semua yang berhubungan dengan Olip masuk ig lambe kampus, sadar pacarnya itu ga suka spotlight berlebihan. Pas tau, Olip langsung bersyukur punya pacar admin ig akun gosip.

Satu lagi yang orang ga tau,

“Lip haus ga sih? Mau ciuman ga?”

“Yok,”

Dongpyo tuh good kisser. Olip udah pacaran sama beberapa orang sebelum Dongpyo, tapi ciumannya gaada yang seenak dia. Astagfirullah.

“Mau ada murid baru ya katanya?” ucapan Dea sontak membuat ketiga temannya menoleh.

“Aneh banget masa pindah pas udah mau lulus sih, freak dasar,” timpal Zafran.

“Lo juga tahun lalu pindahnya pas mau kenaikan kelas ya setan,” ucap Hanin lalu menggetok kepala Zafran menggunakan sendok di tangan kanannya.

“Anjir Nin, gausah getok kepala gue ngapa? Kalau gue jadi bego gimana?” Kata Zafran melotot.

“Kaga di getok Lo juga udah bego kali Zaf,” ucap Riki santai sambil menyuap bubur. Zafran melengos, ini dia boleh ganti teman ga sih?

“Makan Zaf cepet, 5 menit lagi bel masuk entar telat,” ujar Dea akhirnya. Zafran mencibir tapi tetap menyuap batagor di depannya.

Besoknya, ternyata betulan ada siswa pindahan. Dan kabarnya sih, pindahnya di kelas mereka. Dea dan Hanin sudah wanti-wanti, kalau cowok mau di deketin. Agak bosan masa SMP-nya sama Zafran Riki mulu.

Sementara Zafran dan Riki yang mendengarnya hanya mendengus, rasa ingin menggetok kepala keduanya dengan penghapus papan tulis jelas tinggi, tapi takut di slepet balik sama dua cewek yang sedang labil-labilnya itu.

Pas murid yang dimaksud masuk ke kelas mereka, Dea dan Hanin kompak melengos kecewa, ternyata murid barunya cewek. Sementara Zafran dan Riki auto seger.

“Perkenalkan, nama aku Karenina Atmadja, tapi biasa dipanggil Nina. Aku pindah ngikutin Papaku, semoga kita jadi teman baik, ya semuanya.” Ucap gadis itu.

Cowok-cowok dikelas mereka auto ribut, ya gimana ya, Nina nih cantik banget, mana mukanya kaya bule. Gimana ga ribut nih cowok-cowok.

“Nina instagramnya apa?” Pertanyaan itu tiba-tiba meluncur dari mulut Riki, Dea dan Hanin yang duduk dibelakang bangku Riki dan Zafran auto menoyor kepala lelaki itu.

Malu banget asli, mereka berdua setelah ini sepertinya akan pura-pura ga kenal Riki.

“Nina sebentar ke kantin bareng ya,” tambah Zafran.

Oke, ingatkan Dea dan Hanin untuk un-friend kedua pemuda tak tau malu itu.

Pak Jendra di depan hanya geleng-geleng kepala.

“Nina, kamu duduk disamping Azka, ya” ucapnya. Nina mengangguk lalu menuju bangku Azka yang sialnya bersampingan dengan bangku kedua teman kelas barunya yang menurutnya aneh.

***

“Azka, gue boleh ke kantin bareng Lo aja gak?” Ucap Nina, memohon pada Azka disampingnya. Pasalnya, dua cowok tadi kelihatan sekali ingin mengajaknya. Bukannya gimana, Nina rada ilfeel aja sama dua cowok itu.

“Na, bukannya gue gamau. Tapi gue ada urusan OSIS. Lagipula, dua orang aneh itu,” ucap Azka pelan, merujuk pada Riki dan Zafran, “sebenarnya baik kok. Lagipula ada Dea dan Hanin, kalau Lo diapa-apain bilang mereka berdua aja,” jawab Azka.

Nina melengos, akhirnya pasrah.

“Nin, mau ke kantin bareng ga?” Ah suara itu, Nina menoleh, mencoba memasang senyumnya agar tak keliatan terpaksa.

“Boleh,” ucapnya. Kedua pemuda itu terlihat senang, muka keduanya jadi cerah sekali.

“Udah Lo berdua gausah bikin anak orang takut, yuk Na, kalau mereka bikin Lo gak nyaman bilang aja, ya,” kata Dea lalu menarik tangan Nina.

Takut dua teman cowoknya itu melakukan hal aneh-aneh.

“Na, ayo duduk sini,” ucap Hanin sambil menepuk tempat disampingnya. Sengaja menempatkan Nina diantaranya dan Dea. Dia sadar gelagat Nina yang merasa kurang nyaman, dalam hati ia mengumpat dua temannya yang bisa-bisanya bikin anak orang risih di hati pertama.

Sadar akan tatapan protes dua temannya, Dea membuka suara, “mending Lo berdua mesen sana, gue sama Hanin yang biasa,” katanya, lalu menoleh pada Nina, “Nina mau apa?”

“Samain aja sama pesenan kalian,” jawab Nina cari aman. Dia belum tau apa aja yang dijual disini, lagipula dia makan semua, ga pilih-pilih makanan.

“Soto ayam sama es jeruk?” Tanya Dea memastikan. Nina mengangguk sebagai jawaban.

“Tunggu ya cantik, cepet kok aa mesennya,” ucap Zafran yang sontak membuat Hanin melemparinya dengan tisu didepannya.

“Udah sana cepetan sebelum panjang antriannya,” ucap Hanin galak.

“Duh, Na maaf banget ya kalau Riki sama Zafran bikin Lo gak nyaman. Mereka aslinya baik kok, cuma emang suka minta di slepet mulutnya,” ucap Hanin kemudian.

“Hehe iya, gapapa kok,” kata Nina.

“Kalau mereka berdua bikin Lo ga nyaman bilang kita aja,” lanjut Dea lagi. Nina mengangguk.

“Ciee serius banget ceritanya, pada ngomongin gue ya?” Ujar Riki tiba-tiba, ia datang membawa nampan isi pesanan mereka. Diikuti Zafran yang membawa minum.

“Pede Lo taplak,” sambar Dea, Nina ketawa aja. Kayanya bersama mereka berempat ga buruk-buruk banget. Mereka lucu, pikirnya.

Apalagi di sela-sela makan mereka mengobrol banyak hal, dan ternyata mereka sefrekuensi dengan Nina. Nina tambah seneng.

***

“Nina dijemputnya masih lama?” tanya Riki. Sekarang mereka lagi didepan sekolah, udah jam pulang soalnya.

Sebenarnya, cuma Nina sih yang harusnya nunggu. Soalnya Hanin pulangnya ikut Riki soalnya searah, sementara Dea sama Zafran bawa kendaraan sendiri.

Cuma kata mereka bareng aja nunggunya, daripada Nina sendiri, ntar digangguin abang-abang yang suka nongkrong depan sekolah mereka.

Nina mengecek HP ditangannya, “harusnya udah mau sampe, sih Rik,” Riki mengangguk.

Sementara Zafran setengah galau, tadi dia sempat nawarin Nina pulang bareng soalnya, cuma ditolak karena katanya Nina akan dijemput. Kecewa sih, dikit. Cuma kata Dea kali aja yang jemput Abang atau Bokapnya, kan bisa sekalian minta restu. Zafran iya iya doang.

“Eh, itu jemputan gue udah dateng,” ucap Nina. Keempatnya sontak menoleh. Riki melebarkan matanya.

“Jemputan Lo Bang Indra, Na?” Tanyanya. Ia agak terkejut soalnya Indra ini temen dekat Abangnya, Yasha, yang cukup sering main dirumahnya.

“Loh, Lo kenal Kak Indra Rik?” Tanya Nina balik. Riki mengangguk, “temen Abang gue,”

“Bang Indra tuh Abang Lo Na? Gue baru tau dia punya adek cewek,” tanya Zafran, dia juga ikut penasaran (dia tau Indra soalnya sering main dirumah Riki pas temen-temennya Abang Riki main juga).

“Bukan, hehe,” jawab Nina tersenyum.

Perasaan Hanin tidak enak, dia merasa akan terjadi sesuatu yang super lebay setelah ini.

“Kak Indra, kenalin ini teman-teman baru aku. Ini Dea, Hanin, Riki, sama Zafran,” ucap Nina, lalu menoleh kemereka berempat, “Temen-temen, ini Kak Indra, pacar gue,” lanjutnya sumringah.

“Lah satu sekolah sama Riki Zafran ternyata, inimah adek temen kakak Na, Kakak kenal. Rik, Zaf, makasih ya udah jagain pacar kakak, Hanin sama Dea juga makasih udah mau jadi temen Nina,” ucap Indra tersenyum.

Hanin dan Dea mengangguk-angguk sambil tersenyum, sementara Riki dan Zafran tetap diam sambil memaksakan senyumnya.

Setelahnya, Nina naik ke boncengan motor Indra, “duluan ya gengs, bye bye!” ujarnya melambaikan tangan.

“Mundur, Nina udah ada pacar, anak SMA pula, mana ganteng. Lo berdua mah apa,” ucap Dea.

Riki dan Zafran hanya mengangguk lesu. Menuju ke motor mereka, mau pulang lalu meratapi nasib.

. . .

“Kamu kenapa ketawa gitu?” Ucap Arya pada Manda yang tertawa sambil melihat handphone ditangannya.

“Ini mba Nadeen cerita Cal minta kado hari anak adek baru, ada-ada aja,” ucap Manda lalu tertawa lagi.

Mendengarnya, Arya ikutan tertawa. “Kamu mau juga?” ucapnya.

“Mulai deh,” ucap Manda sinis. Arya hanya tertawa lalu memeluk Manda disampingnya.

“Eh tapi aku ada hadiah tau buat kamu,” kata Manda lagi. Arya melepas pelukannya, raut wajahnya terlihat bingung. “Aku?” Manda mengangguk antusias.

“Tutup mata dulu,” ucap Manda. Meskipun heran, Arya menurut menutup matanya, menunggu sesuatu terjadi.

“Sekarang buka,” perintah Manda. Arya mengernyit heran, “Udah? Kok cepet banget?” katanya.

“Iya, udah selesai ih. Sekarang buka mata,” ucap perempuan itu lagi. Arya pelan-pelan membuka kedua matanya. Penasaran dengan hadiah yang dimaksud Manda.

“Tadaaaa!” Ucap Manda. Arya terdiam, masih mencerna situasi.

“Sayang, ini beneran?” Tanya laki-laki itu, menatap testpack ditangan Manda. Manda mengangguk antusias.

“Beneran, kemarin aku udah cek ke dokter juga buat mastiin. Udah dua Minggu,” ucap Manda. Arya terkejut tentu saja, ingin marah karena istrinya pergi sendiri, tapi ingat dia kemarin masih di luar kota. Lagipula, mending dia merayakannya dulu kan?

“Makasih sayang,” ucap Arya tulus, lalu memeluk Manda erat. “Makasih udah mau jadi Mami dari anak-anak aku,” ucapnya lagi. Airmatanya sudah hampir turun.

Manda juga ikutan terharu, airmatanya ikut keluar sedikit.

“Dih, Mami sama Papi ngapain pelukan gitu? Kayak teletubbies aja,” suara cempreng itu menginterupsi kegiatan mereka.

Keduanya menoleh, mendapati Io, anaknya, menatap kesal pada kedua orangtuanya.

“Emang kenapa kalau Papi mau meluk Mami? Kan Mami punya Papi,” ucap Arya usil.

Jagoan kecil itu mengerucutkan bibirnya, “No! Mami punya Io, Papi jauh-jauh sana!” ucapnya sambil berlari ke arah Manda, memeluknya erat.

“Loh kan bener Mami punya Papi,” ucap Manda ikutan usil.

“Noooo! Mami cuma punya Io. Idel tuh yang punya Papi,” ucapnya tanpa melepas pelukannya pada tubuh Manda. Manda hanya tertawa mendengar ucapan anaknya.

“Lah, Idel mana Yo?” Tanya Arya, sadar anaknya yang satu lagi ga kelihatan.

“Tadi ketiduran pas main lego. Payah banget emang Idel,” ucap Io.

“Io ga boleh gitu sama Idel, kan Idel saudaranya Io, jadi harus dijaga,” ucap Manda.

“Gausah dijaga juga Idel juga bisa jaga diri tau Mami. Kemarin aja pas ada yang gangguin Idel langsung dipukul kepalanya, nangis deh. Kasian, tapi siapa suruh ganggu monster laut kaya Idel,” ucap Io panjang lebar.

“Hah? Idel mukulin orang lagi?” Tanya Manda, agak kaget karena akhir-akhir ini Idel ga pernah mukulin anak orang lagi.

“Iyaaa, gara-gara anak nakal itu mau ambil mainan Io, terus Idel marah, katanya yang boleh gangguin Io cuma Idel, terus ditantangin, terus akhirnya Idel pukul kepalanya, dia nangis deh. Mampus,” kata Io.

“Eh, Io gaboleh ngomong mampus, siapa yang ngajarin?” tanya Arya.

“Idel,” jawab Io tenang. Arya memijit kepalanya lagi. Idel itu, meskipun perempuan, nakalnya kadang ngalahin Io yang cowok.

“Itu tuh tandanya Idel sayang sama Io, karena Idel mukulin yang mau ganggu Io,” kata Manda.

“Tapi kan kata Papi ga boleh mukul orang,” ucap Io sangsi.

“Boleh, kalau kita diganggu. Masa diganggu kita diem doang,” ucap Manda. Arya tambah pusing.

“Hueeee, Papiii~~”

“Eh itu Idel bangun, Io samperin gih. Ajak kesini Idelnya,” kata Arya pada anaknya.

“Gamauu. Io masih mau meluk Mami, Papi aja yang nyamperin Idel,” ucap Io.

Arya akhirnya beranjak, menuju ke ruang bermain anak-anak nya. Menggendong Idel ke ruang tengah tempat mereka berkumpul tadi.

“Idel kemarin habis mukulin orang ya?” tanya Arya pelan begitu ia dan Idel sudah sampai di ruang tengah.

Idel mengerjap-ngerjapkan matanya, “iya, habisnya dia nakal mau ambil mainan Io. Mana Io juga diem-diem aja lagi, kan gemes,”

“Gemes?” Tanya Arya mengerutkan keningnya bingung.

“Iya gemes pengen mukul,” jawab Idel tenang lalu menyandarkan kepalanya di dada sang Papi.

“Oh iya, Mami sama Papi ada kabar gembira buat kalian,” ucap Manda mengalihkan atensi kedua anak kembarnya.

“Apa Mi, Io sama Idel mau dibeliin mainan baru?” tanya Idel.

“Atau buku baru? Pensil warna baru? Baju baru?” Tanya Io lagi lebih antusias.

Manda menggeleng, “bukan, sebentar lagi kalian akan punya adek bayiii! Yeay, seneng ga?” ucap Manda antusias.

Keadaan seketika hening, Io dan Idel kompak terlihat bingung.

“Mami, adek bayi itu mainan jenis apa?” Celetuk Io.

Arya menepuk jidat. “Adek bayi itu, anak kecil, nanti adek kecilnya keluar dari perut Mami, terus jadi saudara Io dan Idel,” ucapnya.

“Nanti adek bayinya jadi kaya Io?” tanya Idel sinis.

Manda mengangguk, “iya! Idel suka ga?” tanyanya.

“IDEL GA MAU ADEK BAYIIIII!!!” Teriak Idel tiba-tiba. Setelah itu, Idel menangis keras.

Arya yang sedang menggendong Idel langsung menenangkan anak pertamanya itu. Beruntung, Idel cepat diamnya, meskipun masih meringis sedikit.

“Kenapa Idel ga mau adik bayi?” Tanya Arya pelan.

“Nanti Idel jadi orang jahat Pi, Idel gamau jadi orang jahat. Kata Bu guru Idel di TK, kalau jahat ga boleh makan permen sama coklat,” jawab Idel sambil sesenggukan.

“Kok bisa jadi orang jahat?” Tanya Manda heran.

“Iyalah, nanti kalau adek bayinya jadi kaya Io, berarti Idel harus mukulin banyak orang yang mau gangguin Io sama adek bayi dong Mi? Kan kata Papi ga boleh mukul orang,” ucap Idel lagi.

Arya dan Manda yang mendengarnya tersenyum. Ucapan anak 4 tahun itu terdengar sangat lucu ditelinga keduanya.

“Idel, mukulin orang emang ga boleh kalau ga punya alasan. Tapi, kalau Idel belain Io atau adek nanti, itu ga salah. Asal ga kelewatan,” ucap Arya lembut.

“Jadi Idel ga bakal jadi orang jahat Pi?” Arya mengangguk.

“YEAY IDEL BISA MAKAN PERMEN SAMA COKLAT YANG BANYAK!!” Teriaknya senang.

“Io juga mau permen Mi,” rengek Io pada Manda.

“Iya, sebentar kita beli permen yang banyak ya,” ucap Manda. Kedua anaknya mengangguk senang.

“Jadi gimana? Seneng ga mau punya adek bayi?” Tanya Arya.

“Seneng Pi, nanti Io ajak main mobil-mobilan, ajak main lego, ajak mewarnai,” ucap Io senang.

“Noooo, nanti adek bayi main sama Idel,” ucap Idel sinis.

“Main sama Io!”

“Main sama Idel!”

“Io!”

“Idel!”

“Stop! Nanti adek bayinya main sama kalian berdua kok,” ucap Manda.

“Tapi bakal lebih serin main sama Io kan Mi?”

“Sama Idel kan Mi?”

“Kalau tengkar lagi entar ga jadi beli permen,” ancam Maminya.

Idel dan Io melengos, mengerucutkan bibirnya. Ancaman ga jadi beli permen terlalu mengerikan.

“Mami, adek bayi nanti boleh dikasih makan mainan masak-masak nya Idel ga?” Tanya Idel tiba-tiba.

“Ya enggak boleh lah, kan itu ga boleh dimakan,” jawab Manda.

Idel melengos lagi, “padahal Idel udah rencana ngasih makan adek mainannya Idel,”

Oke, ingatkan Manda untuk membuang mainan plastisin Idel setelah ini.

“Kamu kenapa ketawa gitu?” Ucap Arya pada Manda yang tertawa sambil melihat handphone ditangannya.

“Ini mba Nadeen cerita Cal minta kado hari anak adek baru, ada-ada aja,” ucap Manda lalu tertawa lagi.

Mendengarnya, Arya ikutan tertawa. “Kamu mau juga?” ucapnya.

“Mulai deh,” ucap Manda sinis. Arya hanya tertawa lalu memeluk Manda disampingnya.

“Eh tapi aku ada hadiah tau buat kamu,” kata Manda lagi. Arya melepas pelukannya, raut wajahnya terlihat bingung. “Aku?” Manda mengangguk antusias.

“Tutup mata dulu,” ucap Manda. Meskipun heran, Arya menurut menutup matanya, menunggu sesuatu terjadi.

“Sekarang buka,” perintah Manda. Arya mengernyit heran, “Udah? Kok cepet banget?” katanya.

“Iya, udah selesai ih. Sekarang buka mata,” ucap perempuan itu lagi. Arya pelan-pelan membuka kedua matanya. Penasaran dengan hadiah yang dimaksud Manda.

“Tadaaaa!” Ucap Manda. Arya terdiam, masih mencerna situasi.

“Sayang, ini beneran?” Tanya laki-laki itu, menatap testpack ditangan Manda. Manda mengangguk antusias.

“Beneran, kemarin aku udah cek ke dokter juga buat mastiin. Udah dua Minggu,” ucap Manda. Arya terkejut tentu saja, ingin marah karena istrinya pergi sendiri, tapi ingat dia kemarin masih di luar kota. Lagipula, mending dia merayakannya dulu kan?

“Makasih sayang,” ucap Arya tulus, lalu memeluk Manda erat. “Makasih udah mau jadi Mami dari anak-anak aku,” ucapnya lagi. Airmatanya sudah hampir turun.

Manda juga ikutan terharu, airmatanya ikut keluar sedikit.

“Dih, Mami sama Papi ngapain pelukan gitu? Kayak teletubbies aja,” suara cempreng itu menginterupsi kegiatan mereka.

Keduanya menoleh, mendapati Io, anaknya, menatap kesal pada kedua orangtuanya.

“Emang kenapa kalau Papi mau meluk Mami? Kan Mami punya Papi,” ucap Arya usil.

Jagoan kecil itu mengerucutkan bibirnya, “No! Mami punya Io, Papi jauh-jauh sana!” ucapnya sambil berlari ke arah Manda, memeluknya erat.

“Loh kan bener Mami punya Papi,” ucap Manda ikutan usil.

“Noooo! Mami cuma punya Io. Idel tuh yang punya Papi,” ucapnya tanpa melepas pelukannya pada tubuh Manda. Manda hanya tertawa mendengar ucapan anaknya.

“Lah, Idel mana Yo?” Tanya Arya, sadar anaknya yang satu lagi ga kelihatan.

“Tadi ketiduran pas main lego. Payah banget emang Idel,” ucap Io.

“Io ga boleh gitu sama Idel, kan Idel saudaranya Io, jadi harus dijaga,” ucap Manda.

“Gausah dijaga juga Idel juga bisa jaga diri tau Mami. Kemarin aja pas ada yang gangguin Idel langsung dipukul kepalanya, nangis deh. Kasian, tapi siapa suruh ganggu monster laut kaya Idel,” ucap Io panjang lebar.

“Hah? Idel mukulin orang lagi?” Tanya Manda, agak kaget karena akhir-akhir ini Idel ga pernah mukulin anak orang lagi.

“Iyaaa, gara-gara anak nakal itu mau ambil mainan Io, terus Idel marah, katanya yang boleh gangguin Io cuma Idel, terus ditantangin, terus akhirnya Idel pukul kepalanya, dia nangis deh. Mampus,” kata Io.

“Eh, Io gaboleh ngomong mampus, siapa yang ngajarin?” tanya Arya.

“Idel,” jawab Io tenang. Arya memijit kepalanya lagi. Idel itu, meskipun perempuan, nakalnya kadang ngalahin Io yang cowok.

“Itu tuh tandanya Idel sayang sama Io, karena Idel mukulin yang mau ganggu Io,” kata Manda.

“Tapi kan kata Papi ga boleh mukul orang,” ucap Io sangsi.

“Boleh, kalau kita diganggu. Masa diganggu kita diem doang,” ucap Manda. Arya tambah pusing.

“Hueeee, Papiii~~”

“Eh itu Idel bangun, Io samperin gih. Ajak kesini Idelnya,” kata Arya pada anaknya.

“Gamauu. Io masih mau meluk Mami, Papi aja yang nyamperin Idel,” ucap Io.

Arya akhirnya beranjak, menuju ke ruang bermain anak-anak nya. Menggendong Idel ke ruang tengah tempat mereka berkumpul tadi.

“Idel kemarin habis mukulin orang ya?” tanya Arya pelan begitu ia dan Idel sudah sampai di ruang tengah.

Idel mengerjap-ngerjapkan matanya, “iya, habisnya dia nakal mau ambil mainan Io. Mana Io juga diem-diem aja lagi, kan gemes,”

“Gemes?” Tanya Arya mengerutkan keningnya bingung.

“Iya gemes pengen mukul,” jawab Idel tenang lalu menyandarkan kepalanya di dada sang Papi.

“Oh iya, Mami sama Papi ada kabar gembira buat kalian,” ucap Manda mengalihkan atensi kedua anak kembarnya.

“Apa Mi, Io sama Idel mau dibeliin mainan baru?” tanya Idel.

“Atau buku baru? Pensil warna baru? Baju baru?” Tanya Io lagi lebih antusias.

Manda menggeleng, “bukan, sebentar lagi kalian akan punya adek bayiii! Yeay, seneng ga?” ucap Manda antusias.

Keadaan seketika hening, Io dan Idel kompak terlihat bingung.

“Mami, adek bayi itu mainan jenis apa?” Celetuk Io.

Arya menepuk jidat. “Adek bayi itu, anak kecil, nanti adek kecilnya keluar dari perut Mami, terus jadi saudara Io dan Idel,” ucapnya.

“Nanti adek bayinya jadi kaya Io?” tanya Idel sinis.

Manda mengangguk, “iya! Idel suka ga?” tanyanya.

“IDEL GA MAU ADEK BAYIIIII!!!” Teriak Idel tiba-tiba. Setelah itu, Idel menangis keras.

Arya yang sedang menggendong Idel langsung menenangkan anak pertamanya itu. Beruntung, Idel cepat diamnya, meskipun masih meringis sedikit.

“Kenapa Idel ga mau adik bayi?” Tanya Arya pelan.

“Nanti Idel jadi orang jahat Pi, Idel gamau jadi orang jahat. Kata Bu guru Idel di TK, kalau jahat ga boleh makan permen sama coklat,” jawab Idel sambil sesenggukan.

“Kok bisa jadi orang jahat?” Tanya Manda heran.

“Iyalah, nanti kalau adek bayinya jadi kaya Io, berarti Idel harus mukulin banyak orang yang mau gangguin Io sama adek bayi dong Mi? Kan kata Papi ga boleh mukul orang,” ucap Idel lagi.

Arya dan Manda yang mendengarnya tersenyum. Ucapan anak 4 tahun itu terdengar sangat lucu ditelinga keduanya.

“Idel, mukulin orang emang ga boleh kalau ga punya alasan. Tapi, kalau Idel belain Io atau adek nanti, itu ga salah. Asal ga kelewatan,” ucap Arya lembut.

“Jadi Idel ga bakal jadi orang jahat Pi?” Arya mengangguk.

“YEAY IDEL BISA MAKAN PERMEN SAMA COKLAT YANG BANYAK!!” Teriaknya senang.

“Io juga mau permen Mi,” rengek Io pada Manda.

“Iya, sebentar kita beli permen yang banyak ya,” ucap Manda. Kedua anaknya mengangguk senang.

“Jadi gimana? Seneng ga mau punya adek bayi?” Tanya Arya.

“Seneng Pi, nanti Io ajak main mobil-mobilan, ajak main lego, ajak mewarnai,” ucap Io senang.

“Noooo, nanti adek bayi main sama Idel,” ucap Idel sinis.

“Main sama Io!”

“Main sama Idel!”

“Io!”

“Idel!”

“Stop! Nanti adek bayinya main sama kalian berdua kok,” ucap Manda.

“Tapi bakal lebih serin main sama Io kan Mi?”

“Sama Idel kan Mi?”

“Kalau tengkar lagi entar ga jadi beli permen,” ancam Maminya.

Idel dan Io melengos, mengerucutkan bibirnya. Ancaman ga jadi beli permen terlalu mengerikan.

“Mami, adek bayi nanti boleh dikasih makan mainan masak-masak nya Idel ga?” Tanya Idel tiba-tiba.

“Ya enggak boleh lah, kan itu ga boleh dimakan,” jawab Manda.

Idel melengos lagi, “padahal Idel udah rencana ngasih makan adek mainannya Idel,”

Oke, ingatkan Manda untuk membuang mainan plastisin Idel setelah ini.

. [050521]

Cica menyeka peluhnya. Hari ini mereka sudah mulai mengikuti ekstrakurikuler. Dia memilih untuk bergabung dengan cheers team. Rekomendasi ayahnya, sih. Katanya, proporsi badan Cica cocok untuk bergabung. Cica sih setuju saja. Rencananya juga akan mengambil ekskul itu.

Saat ini dia berada di depan sekolah bersama dua teman kelasnya. Mereka sedang menunggu angkutan umum untuk pulang. Cica bersyukur sih, teman-temannya semuanya baik. Masa SMA yang ada dipikirannya sebelumnya sangat menyeramkan. Ternyata tidak seburuk itu.

“Risa!” Cica menoleh, mendapati Ikal dengan seragam olahraga yang basah.

“Kenapa Kal?” Tanya Cica, seingatnya dia tidak berutang apapun pada pemuda di depannya.

“Gue cariin dari tadi, taunya disini. Gue udah keliling lapangan, kelas, kantin, buat nyariin Lo. Eh ada disini,” kata pemuda itu bersungut-sungut.

“Ya kenapa Ikal? Gue gatau lagian Lo nyariin gue,” jawab Cica.

“Ih kan mau pulang bareng gimana sih Sa?” ucap Ikal.

Kening Cica mengerut, “Hah?”

“Emangnya ga mau pulang bareng gue?” tanya Ikal heran.

Cica terdiam sebentar, menimbang, Ayahnya tak menjemput, kalau naik angkutan umum harus naik ojek lagi. Kalau sama Ikal kan dia bisa hemat ongkos.

“Oke! Ayo pulang bareng,” jawab Cica akhirnya. Ikal tersenyum lega, dia tadi takut malu kalau Cica berkata tidak. Mana sekarang ada 2 orang yang sedang memperhatikan mereka.

“Ra, Nda, maaf ya gue duluan kalau gitu,” ucap Cica pada kedua orang temannya tadi, Aira dan Nanda, mereka berdua mengangguk tanda mengerti.

Setelahnya Cica mengekor Ikal menuju ke parkiran. Tempat sepeda motor Ikal berada.

Ikal menyodorkan sebuah helm kearah Cica, “Nih pake. Gue sengaja bawa dua helm, siapa tau lo mau balik bareng gue lagi,” katanya.

Cica menerima helm itu, mengenakannya. “Bilang aja Lo emang mau pulang bareng gue,” ucap gadis itu blak-blakan.

Ikal tertawa, “tuh tau. Eh ca btw Lo mau ga kalau singgah dulu di tempat street boba? Gue tiba-tiba bm boba dah”

“Boleh banget. Kebetulan gue kemarin minta ke Ayah tapi katanya besok aja,” jawab Cica. Ikal tersenyum mendengarnya.

***

“Enak kan?” Tanya Ikal, melihat gadis di depannya dengan semangat menyeruput minuman bubble tea. Cica hanya mengangguk menyetujui. “Ini langganan gue,” lanjut Ikal.

“Keren juga Lo tau tempat ginian,” ujar Cica.

Ikal tersenyum, “gue gitu loh. Btw, mau langsung pulang aja Sa?” tanyanya.

“Iya. Takutnya Ayah udah pulang terus nyariin,” jawab Cica, Ikal mengangguk. Duluan berdiri menuju tempat motornya di parkirkan.

Perjalanan itu dilalui dengan keheningan, hanya ada suara deru motor Ikal. Mereka sama-sama diam menikmati suasana sore itu.

“Makasih ya Ikal,” kata Cica begitu turun dari motor Ikal. Ikal mengangguk. “Sama-sama Cica,”

“Cica! Eh, dianterin siapa itu kamu?” Keduanya menoleh. Mendapati sesosok pria berdiri di depan rumah Cica.

“Ayaaahh!” Cica berlari memeluk orang itu, yang ternyata Ayahnya.

“Ayah kok tumben pulang cepet?” Tanyanya.

“Iya, kebetulan kerjaan hari ini ga se-hectic kemarin-kemarin,” jawab ayahnya. “Eh itu temen kamu panggil ke sini coba. Masa dibiarin berdiri disitu, sih Ca?” lanjutnya.

Cica menoleh, baru sadar kalau tadi Ikal ikut turun dari motor. Sepertinya ingin menyapa ayahnya.

“Selamat sore Om, saya Ikal, teman kelasnya Risa,” sapa Ikal ramah.

“Oh yang kemarin nganterin Cica pulang ya? Makasih ya nak Ikal. Kata Cica kemarin dia hampir nangis, untung ada kamu,” ucap ayah Cica. Ikal melirik pada Cica, tertawa kecil.

“Gapapa om, orang kita searah gini kok,” kata Ikal.

“Kalau kamu nganterin Cica pulang tiap hari bisa ga?” Cica memberikan tatapan mengancam kepada Ayahnya. Apa-apaan?!

“Boleh kok Om. Saya juga senang nganterin Cica,” jawabnya. Cica melotot, ini juga Ikal. Kenapa malah nambah-nambahin sih?

“Nah bagus kalau gitu. Cica ini sebenarnya ga biasa naik angkutan umum. Saya juga sekarang ga bisa antar jemput dia terus. Kalau ada temannya kan saya ga perlu khawatir. Kamu bisa jaga dia kan?” Ucap Ayah Cica panjang lebar.

“Bisa kok Om. Om bisa percayain Risa ke saya,” ucap cowok itu, senyum tak lepas dari wajahnya.

Ayah Cica mengangguk, “mau masuk dulu ga?” tanyanya.

Ikal menggeleng, “enggak dulu deh, Om. Udah sore banget, takutnya saya dicariin. Saya pamit ya Om!” Ucap Ikal lalu menyalim tangan Ayah Cica.

“Ca, anterin temen kamu ke depan tuh,” Cica mengangguk. Memang berencana seperti itu.

“Kal kalau Lo keberatan nganterin gue tiap hari gapapa kok. Lo bisa tolak aja permintaan ayah gue,” kata Cica. Sedikit merasa tidak enak dengan permintaan ayahnya tadi.

“Gapapa Sa, siapa bilang gue keberatan. Gue seneng kok nganterin Lo pulang,” ucap Ikal. “Eh, btw nama rumah lo lucu juga, gue panggil Lo Cica juga ya,” lanjutnya.

Cica memutar matanya. “Terserah,” Ikal tersenyum melihatnya.

“Yaudah gue pergi dulu ya Ca! Bye bye!”

..

.

Soeun menghela napasnya entah untuk yang keberapa kali, gugup rasanya menginjakkan kakinya di sekolah setelah sepuluh tahun.

“Masih deg degan?” Soeun menoleh, mendapati eksistensi Sunghoon disampingnya.

“Iyalah gila. Emang Lo gak deg-degan?” tanya perempuan itu.

“B aja sih. Lagipula kita kayak mau ketemu siapa aja deh. Mau ketemu SMA doang Eun, nothing to be nervous,” jawab lelaki itu santai.

“Yeee, itu sih karena elo udah berapa kali ikut reuni. Gue baru ikut reuni tahun ini. Lagipula siapa sih yang ngide reuni di sekolah?” Ucapnya menggerutu.

“Makanya diajakin reunian tuh mau. Elo diajakin ada aja alasannya. Cupu banget reunian doang takut,” Soeun memutar bola matanya mendengar jawaban Sunghoon.

“Soeun! Akhirnya Lo datang juga. Gue rindu banget tauu!” Soeun mengalihkan pandangannya. Mendapati Isa, sahabatnya semasa SMA dulu.

“Isaaaaaa, gue juga rindu banget sama Lo!” Ucap Soeun lantang, hampir berteriak. Menuju kearah gadis itu lalu memeluknya erat.

“Lo kemana aja sih, Eun. Lulus SMA pindah kota, gaada kabar, gapernah datang reuni, sosmed enggak aktif. Terakhir gue dapet kabar Lo 4 tahun lalu pas wisuda,” ucap Isa.

“Ih jangan gitu dong Saaa, gue ngerasa bersalah nih. Lagipula kan 2 tahun terakhir gue kontakan lagi sama Lo,” jawab Soeun.

“Ck iyadeh terserah,” kata Isa, mengecek HP-nya yang berbunyi sebentar lalu kembali menoleh pada Soeun, “eh gue masuk duluan ya, Jay udah manggil. Lo juga buruan masuk deh sama Sunghoon. Udah ditungguin,” lanjut perempuan itu lagi.

Soeun mengangguk. Isa tersenyum lalu berjalan meninggalkan Soeun dan Sunghoon dibelakangnya.

“Eun jujur deh sama gue,” ucap Sunghoon. Soeun mengalihkan atensinya pada lelaki itu, “Lo deg-degan karena balik ke sekolah, atau deg-degan mau ketemu Jay?”

***

Soeun memasuki kelasnya dengan riang. Hari ini ada jam olahraga. Dia selalu suka jam olahraga, pasalnya kelas 11 IPS 3, kelas Jay, memiliki jadwal olahraga yang sama dengan kelasnya. Hal itu berarti dia bisa puas memandangi Jay yang demi apa seratus kali lipat lebih tampan kalau sedang berolahraga.

“Muka Lo seneng banget Eun, kenapa?” Soeun menoleh pada Isa, teman sebangkunya sekaligus sahabatnya, tersenyum lebar.

“Oh iya hari ini ada olahraga. Lo kok bisa suka banget olahraga sih? Gue sih males,” kata gadis itu, memangku tangannya.

“Enak tau Sa. Bisa bikin sehat,” jawab Soeun tanpa melepas senyumannya. Tak mungkin kan ia bilang ia senang karena akan bertemu Jay, crush-nya sejak kelas 10.

“Seandainya nilai olahraga bisa diwakilin, gue wakilin Lo aja kali ya. Biar Lo ngerjain kimia gue,” kata gadis itu lagi.

“Ih iyaaaa. Sayangnya gabisa, padahal gue butuh nilai olahraga yang bagus biar rata-rata rapor gue stabil,” jawab Isa.

“Sama. Gue juga butuh nilai kimia yang bagus,” jawab gadis itu lagi.

“Eh btw Lo tau Jay ga Eun?” Begitu pertanyaan itu lolos dari bibir Isa, Soeun sontak menoleh cepat. “Masa tiba-tiba ngerequest follow gue di Instagram. Awalnya pengen gue reject, tapi ternyata followan sama Lo, jadi gue accept. Temen Lo ya?”

“Iya. Saling tau doang sih, ga kenal-kenal banget,” jawab Soeun berusaha tenang.

“Oh iya, kenalan Lo kan dimana-mana. Dia kelas mana Eun?” Tanya Isa lagi.

“Sebelas IPS 3 deh kayanya Sa, kalau ga salah,” Soeun mengeluh dalam hati, apa tadi katanya? Kalau ga salah? Jelas-jelas dia tau hampir semua informasi tentang Jay.

“Oalah, eh berarti yang sama-sama kita dong jam olahraga nya?” Tanya Isa. Soeun mengangguk.

“Asik Sa, muka Lo jadi cerah banget. Suka ya Lo sama Jay?” Tanya Soeun niatnya bercanda, namun Isa mengangguk.

“Iya deh Eun kayaknya. Dia keliatan baik banget, terus obrolannya nyambung banget sama gue,” jawaban itu membuat Soeun cukup terkejut, namun ia mencoba sebaik mungkin untuk menyembunyikannya.

“Cieee udah sampe ngobrol aja ternyata. Udah lama dong berarti?” Tanya Soeun. Sial, kenapa dia jadi seperti orang munafik gini sih?

“Baru semingguan ini sih, Eun,” Soeun menaikkan sebelah alisnya.

“Tumben Lo cepet banget suka sama orang Sa?” Kata Soeun. Karena seingatnya Isa ini termasuk orang yang sebisa mungkin menghindari percintaan.

“Jay beda Eun,” tiga kata itu. Tiga kata itu membuat Soeun sadar kalau Isa sudah benar-benar jatuh kepada Jay. Crush-nya selama hampir 2 tahun terakhir.

***

Soeun menutup matanya, membiarkan sinar matahari yang terik menerpa wajah dan badannya. Ia butuh istirahat, banyak sekali yang terjadi hari ini. Dia butuh waktu untuk mencerna semuanya.

Soeun membuka sebelah matanya begitu merasakan sesuatu menghalanginya dari sinar matahari.

“Jay sukanya cewek kalem, engga barbar kayak elo,” Soeun menyipitkan matanya mendengar suara itu, suara yang cukup dikenalnya.

“Ck, kalau Lo enggak tau apa-apa minggir deh Hoon. Gue ga mood berantem sama Lo,” ucap Gadis itu. Ia mengenali suara itu, Sunghoon, kapten basket putra sekaligus sepupu Jay.

“Siapa bilang gue gatau. Lo suka sama Jay kan? Tapi Jay-nya suka sahabat Lo, siapa tuh namanya si kalem, Isa kan ya?” jawab Sunghoon. Lalu mendudukkan dirinya disofa tempat Soeun duduk.

“Anjir Hoon, nyadar kek badan Lo bongsor. Dikira ni sofa muat?” ucap Soeun, ingin mengumpati pemuda itu lebih banyak tapi ia tidak sedang dalam mood terbaiknya untuk itu.

“Muat kalau Lo duduknya ga terlalu makan tempat. Lagian enggak banget Lo patah hati langsung bolos di rooftop,” jawab pemuda itu santai.

“Gue enggak patah hati,” kata gadis itu.

“Gausah ngelak. Keliatan banget tadi pas Jay ngangkat Isa ke UKS,” ucap Sunghoon. Karena hal itu dia jadi ingat kejadian jam olahraga tadi.

Isa memang selalu buruk di pelajaran olahraga. Fisiknya lemah, setau Soeun, Isa juga punya anemia. Pas banget tadi jam olahraga Isa kambuh, pingsan. Jay yang mau praktek langsung lari ngebawa Isa ke UKS.

Soeun yang tadi panik tak sempat memperhatikan hal itu, namun setelah diingat-ingat, wajah Jay memang keliatan sangat khawatir.

“Lo sih, suka orang malah diam-diam. Perjuangin kek,” kata pemuda itu lagi.

“Gampang banget Lo ngomong. Lagipula gue kayanya ga bisa perjuangin Jay lagi deh, Hoon. Isa juga suka sama dia, they're meant to be,” ucap Soeun tersenyum kecut.

“Ga mau coba perjuangin? Buat terakhir kali, biar Lo gak nyesel misalnya?” Tanya yang lebih muda lagi.

“Enggak bisa Hoon. Gue ga bisa bayangin perjuangin Jay sementara gue tau Isa juga suka sama dia,” jawab gadis itu.

“Kok Lo jadi kedengaran baik banget. Kalau sama gue ngomong nya anjing bangsat Lo. Mana pernah Lo baik sama gue?” Kata Sunghoon.

Soeun menoleh pada Sunghoon, menggulirkan matanya seolah men-scan Sunghoon dari ujung rambut sampai kaki. “Sadar diri anjir Lo membandingkan diri sama siapa. Isa malaikat, Lo dakjal,” jawab Soeun sinis.

“Nah kan, kalau sama gue Lo jahat. Tapi bener sih, Isa keliatannya aja kalem banget terus kaya cewek baik-baik gitu. Pantes sih Jay suka sama dia. Lo mah apa,” kata pemuda itu.

Mendengarnya Soeun hampir murka, tapi kalau dipikir lagi yang dibilang Sunghoon ada benarnya.

“Tuhkan, Lo aja mikir gitu. Isa tuh kayak apa ya, beneran malaikat. Gue aja ga tega kalau harus marah sama dia. Dia tuh baik banget, kalau dia minta tolong apapun selagi gue bisa gue pasti bantu. Soalnya dia juga gitu ke gue. Rasanya gue egois banget kalau harus suka cowok yang sama dengan dia,” jawab Soeun.

“Sekalipun Lo yang suka lebih dulu?”

“Sekalipun gue yang suka lebih dulu. Perasaan doang kan, masa gue gabisa relain Jay demi Isa sih,” jawab Soeun. “Btw Hoon, Gue mau tidur. Kalau Lo mau pergi gapapa. Pergi aja,” kata Soeun.

“Dih ngusir Lo? Orang gue mau tidur juga,” Soeun memutar bola matanya malas. Terlalu lelah secara emosi untuk menanggapi.

***

Sisa semester itu berjalan dengan tenang. Agak aneh rasanya karena Isa tiap hari selalu membicarakan Jay. Soeun juga merasa sedikit munafik dan egois karena belum bisa sepenuhnya merelakan perasaannya pada Jay. Ia selalu merasa bersalah tiap Isa bercerita tentang Jay dengan wajah riang padanya.

“Eun! Gue jadian sama Jay!” Soeun menoleh mendapati Isa menghampirinya dengan wajah yang amat cerah. Keliatan sekali bahagianya. Soeun kembali merasa bersalah.

“Cieeee. Akhirnya tuh anak berani nembak Lo. Setelah tiga bulan ya kalian dekat, akhirnya jadian juga,” ucap Soeun tersenyum. Jujur, dia bahagia atas kebahagiaan Isa, tapi rasa bersalahnya tak hilang.

“Iyaaa. Btw ntar mau ke McD ga? Gue traktir dalam rangka PJ gue jadian sama Jay. Sekalian juga kan mulai besok udah libur, kita ga ketemu lagi,” kata Isa.

Soeun menimbang, kalau ikut, pasti ada Jay juga. Ntar dia kayak thirdweel dong jadinya. Mana pasti awkward banget, dia maksudnya yang awkward. Tapi, ini hari bahagia Isa. Masa dia gak ikut.

“Ada Sunghoon juga Eun, diajakin Jay,” lanjut Isa lagi. Soeun akhirnya mengangguk. Setidaknya kalau ada Sunghoon, dia tak menjadi thirdweel diantara Isa dan Jay.

“Sipp. Entar ya abis ambil rapor kita langsung ke McD,” kata Isa. Soeun mengangguk.

***

“Kok Lo mau diajakin kesini? Ga cemburu?” Soeun yang sedang mencoba-coba filter di Instagram menoleh pada Sunghoon. Jelas tau maksud perkataan pemuda itu. Mereka sekarang sudah di McD. Isa dan Jay pergi memesan, meninggalkan Soeun dan Sunghoon di meja berdua.

“Ini hari bahagia Isa, ya kali gue ga dateng. Lagipula ada Lo ini, kan gue bisa gangguin Lo aja,” jawab Soeun cuek. Sunghoon tidak menanggapi.

Tak lama kemudian Isa dan Jay datang sambil membawa dua nampan. Pesanan Sunghoon dan Soeun ada ditangan Jay. “Gue baru tau kalian sedekat ini,” kata Jay sembari meletakkan nampan ditangannya didepan Sunghoon dan Soeun.

“Ga deket-deket banget sih, kita ngobrol soalnya sama sama kapten basket aja,” jawab Sunghoon. Soeun mengangguk menyetujui. Lagipula interaksinya dan Sunghoon lebih sering tengkar memperebutkan lapangan. Baru akhir-akhir ini bahas yang lain, perasaan Soeun kepada Jay maksudnya.

“Tapi kalian cocok loh. Sama-sama kapten basket, terus kata Soeun kalian sering bertengkar Hoon? Banyak loh sekarang yang dari enemy to lovers,” kata Isa. Soeun terbatuk kecil.

“Ya Allah Sa, jelek banget doa lu,” ucap Soeun. Sunghoon refleks menohok gadis disampingnya itu, memberikan death glare. Soeun tak peduli, terus menyeruput mcflurry-nya.

“Ih tuhkan kalian cocok!” Ucap Isa tertawa. Yang sontak diberi death glare oleh Sunghoon dan Soeun.

Selesai makan, Isa dan Jay langsung jalan berdua. Entah langsung pulang, entah ngedate dulu. Meninggalkan Soeun dan Sunghoon yang sekarang sedang duduk di halte depan McD, menunggu bis datang.

Bohong kalau dia bilang tidak cemburu. Hatinya patah, tentu saja. Namun, ia tak bisa merusak kebahagiaan sahabatnya itu kan?

“Mau ke lapangan ga?” Tanya Sunghoon, lapangan yang dimaksud merujuk ke lapangan basket di sekolah mereka. Soeun mengangkat sebelah alisnya bertanya.

“Pemanasan. Kan mulai besok latihan intensif buat lomba,” jawab pemuda itu.

“Males ah, sekalian besok aja sih. Tenaga gue habis,” ucap cewek itu menyandarkan kepalanya kebelakang.

“Habis darimana, orang baru aja selesai makan. Bilang aja Lo patah hati kan?” kata pemuda itu.

Soeun menutup matanya sebelum bertanya. “Lo kenapa peduli banget kehidupan percintaan gue sih?”

“Kita kapten goblok. Kalau mental kita ga stabil, gimana mau mimpin yang lain. Gue nih berusaha memperbaiki mental Lo,” jawab Sunghoon.

“Ck, tapi kan bisa besok. Emang harus banget hari ini?” Tanya Soeun lagi.

“Harus!” Ucap cowok itu singkat. Setelahnya ia bangkit dari duduknya. Menarik tangan Soeun, memaksanya berdiri. “Ayo ke lapangan. Jalan 10 menit doang dari sini. Biar Lo ga keliatan kaya orang patah hati banget,” katanya.

Soeun tidak tau dimana korelasi pernyataan cowok itu. Namun tetap ikut berdiri. Lebih ke capek meladeni cowok itu sih sebenarnya.

Sampai disana, yang kelihatan excited cuma Sunghoon. Soeun hanya memperhatikan pemuda itu tanpa berniat ikut bergabung.

Sunghoon akhirnya menghampiri gadis itu dengan keringat yang sudah membasahi rambutnya. “Nih, anggap ini rasa sakit hati Lo. Buang jauh-jauh sampai Lo ga bisa liat dia lagi,” ucapnya menyodorkan bola basket ditangannya.

Soeun menerimanya dengan malas. Namun tetap mendribble bola itu lalu melemparkannya dengan keras ke ring. Masuk! Soeun tersenyum kecil setelahnya.

Patah hatinya, walau belum hilang sepenuhnya, setidaknya suasana hatinya jadi lebih baik.

“Lo kalau mau nangis, nangis aja sih. Disini gaada orang,” kata Sunghoon.

“Gue ga mau nangis,” ucap Soeun.

“Udah gausah ditahan. Di novel yang gue baca biasanya mereka bilang nangis aja biar semua kesalnya lepas. Kalau dalam kasus lo, biar patah hatinya keluar. Ga usah ditahan,” kata Sunghoon lagi.

“Lo baca novel juga?” Tanya Soeun malah salah fokus.

“Iya. Gausah ketawa Lo, ini gue ga lagi ngelucu,” kata cowok itu memutar bola matanya.

“Hahaha lucu aja. Gue ga nyangka,” jawab gadis itu tertawa kecil.

“Jadi nangis ga? Gue tau kali Lo nahan nangis daritadi. Gausah ditahan. Nih, gue hadap belakang biar ga liat Lo nangis” ucap Sunghoon lalu membalikkan badannya.

Awalnya hening, sekitar 5 menit lamanya, tak ada yang terdengar. Hingga saat Sunghoon hampir berbalik kembali, ia mendengar tangis Soeun. Akhirnya ia tak jadi berbalik, memilih menunggu gadis itu selesai.

“Lo jangan balik sini dulu, gue mau ngapus air mata,” kata Soeun setelah kurang lebih 20 menit melepaskan tangisnya. Sunghoon cuma menurut.

Saat berbalik ia tertawa kecil. “Eun muka Lo jadi merah banget. Cuci muka dulu sana,” katanya.

“Ck jangan ketawa Lo!” Kata Soeun lalu melangkah keluar lapangan. Mencari keran untuk mencuci mukanya.

“Makasih ya Hoon,” ucap gadis itu. Sekarang mereka masing-masing sedang menunggu bus di depan sekolah.

“Tumben Lo terima kasih,” kata pemuda itu.

“Ih Lo tuh emang ga pantes dinaikin. Gue bilang terimakasih kok jawabannya gitu,” kata gadis itu. Sunghoon tertawa. “Iya, sama-sama!”

***

Semuanya berjalan biasa saja setelah itu. Mereka semua sibuk mempersiapkan ujian sekolah dan ujian masuk universitas. Isa dan Jay semakin mesra, sementara Sunghoon masih sering bertanya keadaan Soeun meskipun sekarang keduanya bukan lagi kapten basket. Hanya teman sekolah biasa.

Soeun lulus di kampus di luar kota. Sementara Isa dan Jay menetap di kota itu. Kebetulan tak lama kemudian ayah Soeun dipindah tugaskan. Sehingga ia benar-benar meninggalkan kota kelahirannya sepenuhnya.

Memulai kehidupan baru sebagai mahasiswi di kota lain. Selama itu, dia berusaha membatasi sosial medianya. Meminimalisir melihat Isa dan Jay bersama. Walau denial bagaimanapun, nyatanya Soeun masih menyukai Jay. Itu fakta yang tak bisa ia tolak.

Lulus kuliah dia langsung mendapatkan kerja. Disitu ia dan Sunghoon bertemu lagi. Keduanya cepat menjadi dekat. Tidak lagi bertengkar karena hal kecil seperti di SMA dulu.

Sunghoon juga dengan cepat menyadari kalau perasaan Soeun masih sama. Sejak kurang lebih 6 tahun lalu. Gadis itu masih sangat menyukai Jay.

Beberapa kali, saat Sunghoon pulang ke kota mereka dulu, ia mengajak Soeun, sekalian mengajaknya ikut reuni. Namun, gadis itu selalu menolak.

Baru sekitar dua tahun lalu, Soeun kembali berkontak dengan teman-temannya sewaktu SMA dulu. Termasuk berkontak dengan Isa lagi. Setelah kurang lebih setahun tahun Isa dan Jay menikah.

***

Saat memasuki aula sekolahnya dulu, banyak yang menyambut Soeun. Tentu saja mereka mengingat Soeun, kapten basket yang temannya dimana-mana. Yang baru muncul 10 tahun setelah kelulusan.

“Gila Eun, masih cantik aja Lo kayak waktu SMA dulu, ga banyak berubah,” Soeun menoleh, mengenali suara itu.

“Hahaha, bisa aja Lo Jay. Makasih!” Jawab Soeun, itu Jay.

“Lo kok baru muncul sekarang sih? Isa tuh dari dulu nyariin Lo. Pas dua tahun lalu Lo ngehubungin dia lagi, dia seneng banget,” kata Jay. Soeun tersenyum saja.

“Lagi nyembuhin hati dia. Takut sakit hati lagi nih anak, cupu emang,” sambar Sunghoon. Soeun sontak menohok lelaki itu. “Ck kan bener,” sambungnya membela diri.

“Hah emang sakit hati kenapa?” Tanya Isa.

“Suka dia Sa sama Jay. Dari kelas 10, patah hati dia Jay jadian sama Lo. Lo gatau kan nih anak nangis pas pulang dari Lo nraktir McD waktu itu. Mana lama banget lagi move on-nya. Makanya baru berani ke reuni sekarang,” ucap Sunghoon seolah tak berdosa. Sementara air muka ketiga orang didekatnya berubah.

Soeun aslinya ingin menghentikan lelaki itu. Namun, kalau dipikir-pikir, Isa dan Jay memang harusnya tau. Lagipula ia sudah mengikhlaskan perasaannya.

“Eun maaf, gue enggak tau,” ucap Isa akhirnya membuka suara. Suaranya bergetar.

“Gapapa Sa. Itu udah kapan sih, udah lebih sepuluh tahun lalu. Gausah dipikirin lah,” ucap Soeun tersenyum.

Isa memeluk Soeun erat, “tetep aja. Karena itu Lo harus menghilang 10 tahun. Gue mikir Eun, salah gue apa ke elo. Ternyata karena ini. Harusnya Lo bilang, harusnya gue lebih peka waktu itu. Maaf, Eun,” tangis Isa pecah. Ia begitu merindukan sahabatnya ini. Mengetahui alasan sebenarnya sahabatnya menghilang membuatnya sangat merasa bersalah.

“Lo jangan nangis dong Sa... Gue jadi ikutan nangis jadinya,” ucap Soeun, tangisnya ikut pecah.

Keduanya saling bertangisan cukup lama. Sementara dua lelaki disamping mereka hanya memperhatikan, apalagi Jay. Dia merasa awkward. Apalagi dia ingat sekali, hampir tiap bertemu, Sunghoon selalu bercerita tentang Soeun, dan dia mengetahui fakta kalau Soeun menyukainya selama itu.

Keempatnya kini sudah duduk dimeja sambil saling berhadapan. Suasana masih agak canggung.

“Maaf ya Soeun,” ucap Jay akhirnya. Soeun tersenyum.

“Lo berdua kok malah minta maaf, sih? Gapapa asli, gue juga kesini karena udah mengikhlaskan semua perasaan gue,” jawab Soeun.

“Ya emang lama sih dia move on-nya. Tapi beneran udah move on kok,” Sunghoon menambahkan. “Kalau enggak, ga mungkin gue berani lamar dia,” lanjutnya lagi.

Isa tersedak sirup yang diminumnya.

“Kalian mau nikah? Ya Allah seneng banget dengernya,” kata Isa.

“Kok Lo gak ngabarin sih udah ngelamar?” Tanya Jay memprotes. Sedikit merasa terkhianati karena selama ini Sunghoon selalu menceritakan apapun padanya. Eh, hampir semuanya.

“Ya ini kita berdua kesini karena mau ngabarin. Sekalian mau undang yang lain,” jawab Sunghoon santai. Jay menggeleng-gelengkan kepalanya. Masih suka amaze sama sikap sepupunya yang kelewat santai.

“Kalian berdua datang, ya.” Kata Soeun lagi, tersenyum. Rasanya sebahagia ini ternyata bisa melepaskan perasaannya selama bertahun-tahun.

“Gamau. Lo berdua aja ga datang nikahan gue. Kita gamau dateng nikahan Lo berdua,” ucap Isa, membuat Soeun kaget, juga sedih.

“Yah kan udah minta maaf Sa. Kok Lo gitu sih,” kata Soeun.

“Ga datang berdua, tapi bertiga. Gue mau ajak anak gue juga boleh kan? Dia mesti tau sahabat bundanya pas SMA dulu,” ucap Isa tersenyum lebar.

Soeun ikut tersenyum, refleks memeluk sahabatnya itu. Sewaktu dia bilang Isa malaikat, ia sungguh-sungguh. Soeun merasa beruntung bisa mengenalnya.

Sisa hari itu dihabiskan dengan bahagia. Kesalahpahaman bertahun-tahun telah diselesaikan, dan perasaan-perasaan telah diikhlaskan. Mereka sudah bahagia dengan caranya masing-masing.

“Makasih Hoon!” Ucap Soeun begitu mereka berdua sampai ke apartemen Sunghoon. Ia memang menginap disini selagi berada di kota ini.

“Sama-sama. Gimana? Lega kan rasanya?” Tanya lelaki itu. Soeun mengangguk memeluk pinggang lelaki itu erat.

Perasaan memang begitu, membingungkan. Semua bisa merasakannya, tapi tak semua bisa beruntung mendapat balasan perasaan yang sama. Namun, Soeun percaya, semua orang punya timing masing-masing, termasuk keberuntungan itu. Dan sekarang, ia sedang memeluk erat keberuntungannya. Setelah bertahun-tahun mencoba mengikhlaskan.

❄️: 난 평범한 곳에있어 (aku ditempat biasa)

Soeun terkejut melihat tabnya. Tadinya dia iseng-iseng membuka akun Twitter lamanya. Maksudnya, akun yang ia gunakan di masa trainee.

Namun, chat yang masuk membuyarkan fokusnya. Apalagi chat itu ternyata baru dikirim 3 jam lalu. Shit, 3 jam. Soeun cepat cepat mengambil Hoodienya yang paling tebal, melapis celananya yang tipis dan mengenakan coat, serta jaket padding tebal.

Memang musim dingin sudah hampir berakhir, tapi tengah malam begini, tentu saja udara tetap dingin. Tak lupa ia mengambil master serta topi. Mencoba menutupi wajahnya agar tak terlihat.

“언니 어디 가세요?” (unnie mau kemana?) Jihan yang melihat kakaknya seperti sedang terburu-buru bertanya.

“Aku ingin membeli eomuk di depan minimarket. Kau mau juga?” Jawab Soeun.

“Ga deh, tapi kalau unnie singgah di minimarketnya aku mau coklat,” jawab Jihan. Soeun mengangguk.

Jihan sebenarnya tidak terlalu percaya akan ucapan Soeun. Ia ingat sekali sekitar sejam lalu Soeun bilang ia agak kekenyangan. Apalagi, Soeun bukan tipe orang yang hanya akan buru-buru untuk makanan, apalagi di jam seperti ini.

Namun ia tak terlalu peduli. Mungkin kakaknya itu benar-benar ingin eomuk.

***

Soeun berjalan dengan cepat. Kaki jenjangnya ia arahkan menuju minimarket yang tidak terlalu jauh dari dorm. Sebelumnya ia memastikan tidak ada yang mengikutinya.

Ia sangat khawatir sekarang, ia tau pesan itu bukan main-main. Pemuda itu tak pernah main-main akan ucapannya. Makanya ia melajukan kakinya dengan cepat.

Untung saja malam ini terlihat sepi, sudah tak banyak orang yang berkeliaran di jalan. Ya, siapa juga yang mau berkeliaran tengah malam di malam musim dingin seperti ini.

“Sung-ah!” Panggil Soeun pelan. Ia mengenali sosok pemuda yang terlihat memunggunginya itu. Sangat kenal.

“안녕 소은아,” (Hai soeun!) jawab laki-laki itu tersenyum sambil membalikkan badannya. “Tak ingin memelukku?” lanjut pemuda itu, merentangkan kedua tangannya.

Soeun berjalan cepat menubruk badan pemuda itu, memeluknya erat. “Bodoh! Kenapa kau kesini?” Soeun terisak ditengah pelukannya.

“Salah. Harusnya kau bilang 'Sung, aku merindukanmu,' bukannya mengataiku bodoh,” jawab lelaki itu, Sunghoon, balas memeluk gadisnya erat.

“Aku merindukanmu, bodoh,” ucap Soeun. Pemuda itu tertawa lagi.

Setelah pelukan yang panjang, disinilah mereka, duduk di bangku taman dekat dengan lokasi tadi. Selama waktu trainee yang melelahkan, mereka sering bertemu disini. Tidak terlalu ramai, dan tak terlalu jauh dari tempat latihan keduanya.

“Ck, kenapa kau kesini tiba-tiba? Bagaimana kalau aku tak melihat pesanmu? Bagaimana kalau aku tidak datang?” Cecar gadis itu, ia masih sebal dengan Sunghoon yang datang tiba-tiba.

Pemuda itu mengambil tangannya, memasukkannya kedalam padding yang ia gunakan. “Tapi buktinya kau kesini kan?” Ucapnya.

“Dasar, untung saja aku tadi kepikiran untuk membuka akunku yang setahun ini tak pernah kubuka lagi. Bagaimana kalau aku tak membukanya tadi?” Omel Soeun lagi, sedikit tak mengerti jalan pikiran pemuda didepannya.

“Aku tau kau akan membukanya,” jawab lelaki itu pelan. Menatap manik perempuan di hadapannya. Manik dihadapannya terlihat heran, mengangkat sebelah alisnya samar. “Aku hanya tau, sepertinya batin kita terhubung,” ucapnya tertawa kecil. Perempuan didepannya menghela napas.

“Ck, tetap saja. Bagaimana kalau tadi aku tidak datang? Sampai jam berapa kau akan disini? Sekarang sudah tengah malam,” ucapnya menyuarakan kekhawatiran.

“Mungkin jam satu,” jawabnya.

“Kau benar-benar sudah gila. Jarak dorm-mu dari sini hampir 30 menit,” kata Soeun lagi.

“Maaf membuatmu khawatir,” ucap Sunghoon, mengelus tangan Soeun di genggamannya.

“Tidak, aku yang minta maaf karena membuatmu menunggu,” kata Soeun. Lelaki itu tersenyum. Membawa tubuh Soeun dalam pelukannya lagi. Ia begitu merindukan perempuan ini.

“Sudah berapa lama kita tak ketemu?” Tanya Sunghoon.

“Entah, intinya sudah lama sekali. Terakhir kita ketemu saat salju pertama 2019,” jawab gadis itu.

Yang lebih muda menolehkan kepalanya, “Sudah setahun lebih ya?” Gadis dipelukannya mengangguk samar.

“Saat itu aku akan mempersiapkan debut, kau akan mengikuti survival. Setelahnya kita saling tak ada kabar,” ucap gadis itu. Sunghoon hanya mendengarkan sambil mengelus kepalanya, ia rindu saat-saat mereka bercerita seperti ini.

“Tapi aku senang, sekarang kita meraih mimpi kita. Satu tahun itu bukan apa-apa jika mengingat kit debut, lalu dapat penghargaan Rookie of the Years, semua ini demi mimpi kita. Jadi aku senang,” lanjut gadis itu lagi, Sunghoon mengangguk setuju.

“Tapi kenapa kau bersikap seolah tak mengenalku? Padahal kita bertemu di beberap acara akhir tahun?” Tanya laki-laki itu. Niatnya hanya bercanda, namun gadis itu memukulnya.

“Ck, kau pikir apa yang akan terjadi kalau kita menunjukkan kalau kita kenal? Terlebih lagi berpacaran? Kita masih rookie, jangan sembarangan,” kata gadis itu.

“Aku hanya bercanda. Tak perlu memukulku seperti itu,” kata lelaki itu mengerucutkan bibirnya.

Soeun mendongak, lalu tertawa pelan. Mendekatkan wajahnya pada lelaki itu, menarik sedikit maskernya dan Sunghoon, lalu mengecup bibirnya pelan, “Maaf,” lelaki itu tampak terkejut. Namun setelahnya ia meraih wajah kekasihnya, mengecup bibirnya lama.

Sudah hampir satu jam mereka disini, namun mereka tak bisa lebih lama lagi. Sunghoon pergi sudah 4 jam lebih. Jadi mereka memutuskan untuk berpisah, setelah puas saling memeluk.

“Biarkan aku mengantarmu,” kata Sunghoon.

“Tidak perlu, nanti kau akan semakin telat pulangnya,” tolak Soeun. Dia merasa tak enak sudah membuat pemuda itu menunggu, ia merasa Sunghoon tak perlu mengantarnya pulang lagi.

“Tak apa, aku khawatir kalau kau pergi sendiri,” jawab Sunghoon menggenggam tangan Soeun. Gadis itu akhirnya mengangguk.

Tak banyak pembicaraan selama mereka berjalan, mereka hanya menikmati kehadiran satu sama lain. Yang entah kapan mereka bisa rasakan lagi.

“Kenapa dorm mu dekat sekali sih? Kan aku ingin lebih lama bersamamu,” ucap pemuda itu ketika mereka sampai. Soeun tertawa, pemuda ini terlihat imut saat sedang kesal.

“Aku pergi dulu,” kata gadis itu, memeluk Sunghoon sekali lagi. Ia rasanya tak ingin berpisah, tapi tak mungkin kan?

Saat ia hendak melepaskan pelukannya, lelaki itu menahan pinggangnya. Sekali lagi melepas maskernya dan Soeun. Mengecup bibir kekasihnya sekali lagi. Kali ini lebih dalam, Soeun menutup matanya, menikmati.

***

Soeun masuk ke kamarnya sambil tersenyum. Pipinya menghangat mengingat pertemuannya dengan Sunghoon sesaat lalu. Ia sangat merindukan kekasihnya itu.

Padahal mereka tinggal satu kota, jaraknya juga tak terlalu jauh, namun mereka tak pernah bertemu sekalipun. Paling banter berpapasan, itu juga tak saling menyapa. Sama-sama berusaha keras menahan perasaan rindu masing-masing.

Kedatangan pemuda itu yang tiba-tiba membuatnya bersemangat lagi.

“언니, 왜 얼굴을 붉히세요?” (Unnie, kenapa wajahmu memerah?) Suara Jihan mengagetkannya. Namun iia tak melepas senyumnya.

“아, 정말요?” (Benarkah?) Tanya Soeun. Bahagianya tak dapat ia sembunyikan.

“Merah banget. Eh, cokelatku mana?” Tanya Jihan lagi. Soeun mengeluarkan dua bungkus besar cokelat dari saku paddingnya. “Berikan pada Hyewon juga kalau dia bangun,” katanya. Jihan mengangguk.

“아, 그 언니는 이상해,” (Ck, Soeun aneh sekali) Jihan yang melihat Soeun melepas pakaiannya tebalnya sambil tersenyum bergumam pelan.

Sementara Soeun, ah dia bahagia. Sangat.