zoaniel

nothing

Woo Kyungjun as Keenan Park Soeun as Kayla/Kay Park Sunghoon as Kai

Keenan tidak pernah suka hujan. Sewaktu umurnya 9 tahun, hujan merenggut Ibunya. Menyisakan ia dan ayahnya yang workaholic.

Lelaki berkebangsaan Australi itu menghela napas, melihat selimut dan secangkir susu beraroma vanilla panas di atas meja. Ah, sepertinya sekarang ia punya alasan lebih banyak untuk membenci hujan.

***

“Keenan kenapa?” Mendengar suara itu Keenan kecil mendongak. Ia jelas tau suara siapa itu. Kayla, gadis kecil yang menjadi tetangganya sejak seminggu lalu, sekaligus teman sekelasnya di kelas 3B.

“Aku gapapa, pergi sana!” balas Keenan berteriak.

Sekarang sudah jam pulang, namun hujan turun sangat deras. Mengingatkan Keenan atas kecelakaan yang dialaminya dan keluarganya. Kecelakaan yang mengambil ibunya. Hal yang membuat Keenan benci hujan sampai sedikit merasa takut.

Kayla hampir beranjak ketika kemudian guntur berbunyi sangat keras. Gadis kecil itu berteriak kencang sambil menutup mata serta telinga dengan kedua tangannya.

Saat akhirnya membuka mata, yang dilihat Kayla adalah bahu Keenan yang naik turun. Gadis itu dengan cepat memegang kedua bahu Keenan dengan kencang.

“Keenan juga takut petir ya?” katanya lirih, namun Keenan tak menjawab.

“Ah, Keenan pasti takut sekali pada petir, ya. Yaudah Kayla tungguin sampai Keenan selesai nangis. Ntar kita pulang bareng, kan rumah kita depan-depanan.” ucap gadis kecil itu lagi. Lalu duduk disamping Keenan yang masih setia menangis.

Sekitar setengah jam kemudian hujan telah berhenti, begitu juga dengan tangisan Keenan.

Kayla dengan cepat menarik tangan Keenan, “Ayo pulang! Sebelum hujan lagi!” Keenan ingin menolak, tapi energinya sudah habis dipakai untuk menangis. Jadi ia hanya mengikuti langkah cepat gadis kecil yang lebih kecil darinya itu.

Rumah mereka berdua tak jauh. Karena SD itu tepat berada diluar komplek perumahan mereka. Makanya mereka hanya berjalan kaki.

Kayla mengantar Keenan sampai di depan rumahnya. Sebelum kemudian berbalik menuju rumahnya yang berada tepat di depan rumah Keenan.

Tak sampai disitu, sorenya Kayla datang kembali. Membawa buku tulis beserta sepiring kue dari rumahnya.

“Keenan kan pintar, jadi aku bilang Bunda kalau Keenan mau ajarin aku kerjain PR,” begitu kata gadis itu sambil memamerkan senyum lebar yang terlihat lucu karena ada gigi yang belum tumbuh di sisi kanan mulutnya.

Keenan ingin menolak, namun harum kue di tangan Kayla membuatnya tak bisa berkutik. Ia belum makan sejak tadi siang. Jadi, ia mempersilahkan Kayla untuk masuk.

Itu adalah awalnya, awal Kayla masuk ke kehidupannya. Semenjak saat itu, tiap hujan turun Kayla akan menggenggam tangannya, mengetahui ketakutan Keenan terhadap hujan.

Ada saat-saat dimana Kayla akan menyebrangi hujan dengan payungnya yang berwarna kuning menuju rumah Keenan hanya untuk menemani Keenan yang sendirian di rumah.

Atau menghabiskan sore dirumahnya sambil mengerjakan PR dan bermain monopoli.

Tak jarang juga ia yang kerumah Kayla untuk mekan siang. Karena ayahnya baru pulang malam hari. Ia sampai memanggil Ayah dan Bunda Kayla dengan panggilan yang sama.

Seiring dengannya, ketakutan Keenan terhadap hujan juga mulai berkurang. Ia tak lagi setakut dulu, meskipun begitu, ia tetap membiarkan Kayla menggenggam tangannya.

Ia suka genggaman Kayla, hangat dan nyaman. Mengingatkannya pada sang Ibu.

Sekarang, Kayla tak lagi sekecil dulu. Tingginya sudah menyamai Keenan. Membuat Keenan yakin kalau di SMP nanti, Kayla mungkin akan terlihat seperti titan. Ah, mereka berjanji untuk masuk ke SMP yang sama.

Sayangnya, semua tak bisa terus berjalan sesuai rencana, kan? Di hari yang sama dengan pengumuman penerimaan murid baru, Keenan mendapat kabar dari ayahnya kalau mereka akan pindah ke Australi 2 minggu lagi.

Terlalu buru-buru menurut Keenan. Tapi tidak menurut ayahnya, 6 bulan terakhir ia sudah mengurus semuanya. Sekarang yang tersisa hanya tinggal keberangkatan keduanya.

Sebenarnya, semuanya akan mudah kalau saja ia tak mengenal Kayla. Namun, mereka telah berjanji untuk selalu bersama. Janji naif anak kecil. Sekarang, ia tak tahu bagaimana cara untuk memberi tahu Kayla atas kepindahannya.

Sampai seminggu sebelum keberangkatan, ia masih belum bisa memberi tahu Kayla. Hatinya entah kenapa terasa berat.

“KEENAN!!!” Keenan terkejut mendengar suara itu. Ia tahu itu suara siapa, Kayla. Dengan segera ia beranjak dari kasurnya dan membuka pintu depan rumahnya. Mendapati Kayla dengan kaus biru longgar dan mata yang terlihat kemerahan, membuat Keenan khawatir bukan main.

“Keenan kok ga bilang mau pindah?” ucap Kayla lirih. Ah, sekarang ia tahu alasan tangis Kayla. Entah siapa yang memberi tahu, mungkin Bunda. Yang jelas Kayla sekarang menangis karena dirinya.

“Keenan ga mau temenan lagi sama Kayla, ya? Makanya pindah ga bilang-bilang. Kayla minta maaf kalau sering maksa Keenan main monopoli, atau ngajarin Kayla bawa motor sampe jatuh ke parit, atau maksa Keenan bantuin Kayla kerja PR. Pasti Keenan sebel ya sama Kayla,” ujar gadis dengan cepol ekor kuda itu tersendat-sendat karena tangis.

Keenan khawatir namun hampir tertawa karena wajah Kayla yang lucu seperti badut dengan riasan terhambur ketika menangis.

“Enggak gitu Kayla, Keenan juga baru tau dari Ayah kalau bakal pindah. Maaf ya kita ga bisa ke SMP sama-sama,” jawab Keenan akhirnya.

Tangis Kayla tambah keras. Ia lalu masuk ke rumah Keenan, “Karena Keenan udah mau pindah, ayo main. Nanti kan di sana gaada Kayla yang nemenin Keenan main,” ucapnya sambil mengelap sisa ingus dan air mata dengan lengan bajunya.

Keenan tersenyum, ia tau Kayla tak akan menangis lama.

Sisa lima hari itu dipakai Kayla untuk memonopoli Keenan sepenuhnya. Mengajaknya nonton series Barbie dengan kaset miliknya, main monopoli, lalu nonton film lagi.

Mereka juga bertukar email dan berjanji untuk saling mengabari. Soalnya kalau sosial media lain, Kayla dan Keenan belum diizinkan untuk memiliki ponsel sendiri.

Dihari terakhir juga Kayla memberikannya sebuah gelang berwarna putih yang Keenan yakin didapatkan Kayla dari pasar malam.

Setelah itu, semuanya berjalan lancar. Mereka masih terus saling bertukar kabar setidaknya sekali seminggu. Kayla cerita ia ikut ekskul PMR dan Tari. Keenan bercerita kalau ia ikut choir.

Sampai kemudian di tahun ketiga, tahun mereka lulus dari Sekolah Menengah Pertama, tahun yang dijanjikan Keenan untuk kembali pulang, Keenan tak pulang.

Intensitas percakapan mereka berkurang begitu saja. Tidak ada lagi email yang datang 2 hari sekali, atau facetime dihari minggu. Semuanya seperti menghilang begitu saja.

Kabar terakhir yang Keenan terima adalah Kayla ikut cheerleader dan OSIS. Kayla cuma tau kalau Keenan ikut basket.

Bahkan saat mereka akhirnya saling mengikuti di Instagram dan Twitter, intensitas percakapan itu tak membaik.

Entah mereka memang benar sibuk, atau hanya perkara jenuh.

Dari sosial medianya, Keenan tau sekarang Kayla ada di tim inti basket tak lagi di cheers. Beberapa kali ia ingin mengomentari postingan Kayla, namun seluruhnya hanya berakhir dengannya menekan tombol suka. Selalu seperti itu.

***

“La, minggu depan katanya Keenan balik, emang iya?” Kayla yang sedang meminum susunya tersedak mendengar ucapan bundanya.

“Bunda tau dari mana deh?” sangsi Kayla, kalau benar Keenan pulang harusnya ia memberinya kabar, kan. Namun, ia tak mendapat kabar sama sekali.

Oke, ia dan Keenan memang tak pernah bertukar kabar lagi dua tahun terakhir. Bahkan ia belum bilang Universitas apa yang ia incar di SBMPTN nanti. Namun, kabar sepenting ini seharusnya Keenan memberi tahunya, kan.

“Kemarin ada orang yang bersih-bersih rumah Keenan, pas Bunda tanya katanya yang tinggal udah mau balik,” ucap Bundanya.

“Keenan siapa, Kay?”

Kayla menoleh, baru sadar ada Kai disini.

“Yang tinggal diseberang rumah, teman mainnya Kayla pas kecil itu Kai,” sambar Bunda Kayla.

“Ooh yang itu, kenalin ya Kay nanti,” ucap Kala.

“Gampang,” ucap Kayla sambil menenggak habis susunya. Memang di mulut ia berucap gampang, namun hatinya terasa berat. Ia merindukan Keenan tapi takut akan respon Keenan ketika melihatnya lagi.

***

Hari yang dinantikan Keenan akhirnya tiba, hari kepulangannya kembali ke rumah lamanya. Ah, ia sangat merindukan rumah ini. Ia sangat memohon pada Ayahnya agar bisa kembali ke sini untuk kuliah. Yang diiyakan ayahnya dengan beberapa syarat. Syarat-syarat yang membuat Keenan sibuk setengah mati dimasa SMA-nya.

Ia sengaja tak memberitakan kepulangannya pada Kayla agar menjadi kejutan. Ya, itu juga kalau Kayla masih mau bertemu dengannya, sih.

Tapi semoga saja ia, karena demi Tuhan ia merindukan gadis itu. Dari foto-foto yang dilihatnya di instagram ia tau gadis itu tambah cantik.

Mengingatnya saja ia jadi berdebar.

Ah, Keenan belum bilang, ya. Ia sepertinya menyukai Kayla. Awalnya perasaan itu terasa samar, Keenan tak yakin akan perasaannya dan menganggap semuanya hanya cinta monyet semata.

Namun, bertahun berlalu, perasaan itu masih ada disana.

Disitu ia sadar, ia menyukai Kayla sebagai seorang lelaki terhadap perempuan.

Sekitar setengah jam lalu ia telah sampai kerumahnya. Sudah bersih karena ayahnya memanggil jasa bersih-bersih rumah seminggu terakhir. Ia merebahkan dirinya ke kasur di kamarnya. Penerbangan yang memakan waktu hampir sepuluh jam menguras tenaganya.

“KEENAN! INI KAYLA!” Keenan mengerjap mendengar panggilan itu. Ia sangat senang mendengarnya, dadanya terasa berdebar karena semangat.

Ia tau Kayla pasti menyambutnya, bahkan setelah intensitas percakapan mereka yang jauh berkurang.

Begitu membuka pintu ia melihat Kayla yang tersenyum lebar sambil membawa selimut tebal di kedua tangannya.

Keenan reflek memeluk erat gadis itu, menyalurkan rasa rindunya yang teramat dalam. Kayla balas memeluknya tak kalah erat.

“Aku datang bawa selimut, soalnya udah mulai sering hujan lagi, pasti dingin,” ucap gadis itu.

“Ekhm,” suara deheman membuat pelukan keduanya melonggar. keenan menatap aneh pada lelaki asing yang baru ia sadari keberadaannya.

“Oh iya, Nan ini Kai. Dia baru pindah disamping rumahku, di rumah Pak Mamat yang punya banyak mangga itu loh, inget ga?” Keenan mengangguk samar sementara Kayla lanjut mengenalkan Keenan pada Kai.

“Kata Kay lu suka nonton Barbie ya? Dia nyuruh bawa semua kaset Barbie, sama ni sekalian coklat panas sama indomie ayam bawang. Katanya lu suka,” ucap Kai sambil menunjukkan tangannya yang penuh dengan benda-benda yang disebutkannya tadi.

“Ayo masuk kita nonton Barbie,” kata Kayla duluan masuk ke rumah Keenan.

“Eh ini gapapa tapi? Kan Keenan baru sampe Kay, capek kali anaknya.” Kata Kai, melihat Keenan yang terlihat lelah.

“Enggak apa kok, udah sempat istrahat juga tadi,” ujar Keenan lalu mempersilahkan Kai ikut masuk.

“Kalian siapin aja filmnya, nanti aku yang masak mie sama nyeduh cokelat panas,” kata Kayla lalu menuju dapur membawa tiga bungkus mi dan serenteng minuman sachet cokelat.

Keenan dan Kai mengiyakan. Keduanya sebenarnya cukup pasif apalagi pada orang baru. Makanya tak ada percakapan yang tercipta.

Kai sih mending beberapa kali mendengar tentang Keenan dari Bunda Kayla, sementara keenan benar benar buta tentang pemuda yang lebih tinggi sedikit darinya itu.

Tak lama Kayla muncul dari dapur membawa talang yang diatasnya ada tiga mangkok mie rasa ayam bawang.

Keenan dengan cepat menyusul ke dapur untuk mengambil 3 cangkir cokelat panas.

Mereka memutuskan untuk makan dulu, sambil kemudian saling bercerita. Keenan benar-benar bersyukur akan Kayla yang membuat suasana menjadi tak secanggung sebelumnya saat hanya ada ia dan Kai.

Keenan kemudian jadi tau kalau Kai adalah teman Kayla dulu sewaktu SMA, dan bagaimana mereka yang dulunya tak cocok satu sama lain.

Diam-diam, Keenan merasa iri. Kai ada di sana, bersama Kayla setiap hari, disaat ia hanya bisa melihat Kayla dari layar transparan ponselnya.

Melihat Kayla lagi secara langsung setelah 6 tahun membuat Keenan sadar bahwa banyak sekali hal yang sudah ia lewatkan. Kayla bukan lagi gadis kecil dengan rambut kusut yang selalu kerumahnya membawa monopoli.

Kayla sudah bertransformasi menjadi gadis muda yang sangat cantik. Ia bahkan sempat terkejut karena Kayla ternyata lebih cantik lagi dilihat secara langsung dibandingkan dengan foto.

Namun, jujur saja ada satu hal yang mengganggu Keenan. Keberadaan Kai. Kai terlihat sangat dekat dengan Kayla. Terlalu dekat.

Ia melihat dengan jelas bagaimana Kai mencepol rambut panjang Kayla yang berjatuhan saat ia mencoba memakan mie-nya. Atau bagaimana Kayla menyandarkan kepalanya di bahu Kai saat mereka menonton Barbie.

Semua itu tak luput dari perhatian Keenan. Dan hal itu sedikit membuat Keenan tak nyaman.

Barbie yang mereka tonton pukul setengah Sembilan. Kayla dengan telaten membersihkan bekas mereka makan dan sisa snack yang berhamburan. Ia kedapur untuk mencuci bekas mangkuk dan cangkir lalu membuat segelas susu cokelat lagi untuk Keenan.

Saat Kayla berada di dapur, ia memberanikan diri untuk bertanya pada Kai mengenai hubungannya dan Kayla. Karena sungguh, ia sejak tadi tak dapat berkonsentrasi.

“Bro, pacaran ya sama Kayla?” tanya Keenan mencoba terdengar tenang. Sementara Kai yang ditanya seperti itu terlihat menampilkan senyum kecil.

“Kelihatan banget ya?” Kai cengengesan.

Ah, ternyata dugaan Keenan benar. Belum sempat membalas perkataan Kai, Kayla Kembali dari dapur sambal membawa secangkir susu.

“Keenan minum ini ya nanti sebelum tidur, itu juga selimutnya jangan lupa dipake. Kayanya sebentar malam bakal hujan, deh. Aku sama Kai mau pulang dulu, gapapa kan?” ucap gadis itu.

Keenan mengangguk, “Gapapa La, aku juga bukan anak kecil umur 12 tahun yang takut sama hujan lagi,” ujar Keenan.

“Okedeh, pulang dulu ya Keenan, besok aku main lagi!” Kata Kayla tersenyum sambil menarik tangan Kai yang juga mengucapkan salam perpisahan.

Ah, Kayla bahkan tak menyadari gelang putih yang diberikannya dulu saat Keenan akan berangkat ke Australi. Gelang putih yang warnanya sudah memudar karena selalu dipakai Keenan, dijadikannya jimat keberuntungan.

Tak lama setelah kepulangan Kayla dan Kai, hujan turun. Kurang ajar sekali, batin Keenan. Sepertinya hujan ini mengejeknya atas patah hati keduanya.

Ia memandang cangkir beserta selimut yang dibawa Kayla. Dulu, setiap hujan Kayla akan selalu bersamanya untuk sekedar menggenggam tangan Keenan, atau memastikan Keenan aman dibawah selimut tebal.

Perlakuan kecil yang membuatnya tanpa sadar tak setakut itu pada hujan lagi.

Perlakuan-perlakuan yang membuat ia teringat akan Kayla setiap hujan turun.

Sayangnya, hal itu juga yang membuat Keenan sekarang tambah membenci hujan.

Hujan mengambil ibunya, serta Kayla-nya.

Terinspirasi dari lagu Shoot! Jadi, kayanya bakal seru kalau sambil denger lagunya😉

© Winter Kim as Windy © Jake Sim as Calvin © Beomryu as Riana dan Bian

Windy menarik ingusnya yang masih tersisa dari menonton film tadi. Sedikit menyesali film yang dipilihnya juga karena dia anaknya memang cengeng. Dalam hati merutuk karena memikirkan kantong matanya yang sudah pasti akan membesar.

Dengan langkah gontai dia menuju minimarket dekat kosannya untuk mencari minuman dingin beserta snack-snack yang semoga bisa membantunya menghilangkan galau karena film yang barusan ditontonnya. Sekalian untung menghilangkan bengkak dimatanya.

Kelasnya hari ini dibatalkan, Windy yang tak punya tugas (sudah diselesaikan kemarin karena pikirnya akan dikumpulkan hari ini), akhirnya memilih menonton film.

Bodohnya, film yang ditontonnya adalah film sedih yang membuatnya banjir air mata dari setengah jam pertama. Untungnya Windy masih sanggup menyelesaikan film itu walaupun harus menghabiskan hampir setengah dari kotak tisu besar yang baru dibelinya, serta tempat tidurnya menjadi berantakan tak karuan.

Windy sebenarnya terlihat sangat kacau, sampai-sampai pegawai minimarket melihatnya heran. Namun Windy sudah tidak peduli, dalam pikirannya sekarang hanya tinggal makan saja, capek nangis dia.

Tidak peduli ke minimarket hanya mengenakan kaos kuning longgar yang warna kuningnya sudah pudar serta rambutnya hanya dicepol asal. Wajahnya juga tak kalah menyedihkan, seperti orang yang habis diputuskan dengan bibir pucat.

Windy keluar dari minimarket menenteng kantong besar berisi belanjaannya dengan sebelah tangan mengemut lolipop rasa susu stroberi kesukaannya. Perasaannya jadi sedikit lebih membaik.

Gadis itu sedang menikmati angin sore yang berhembus ketika matanya menangkap sesosok pemuda yang kearahnya dengan skateboard.

Windy tiba-tiba merasa memasuki film remaja yang suka dinontonnya pada malam Minggu. Entah kenapa lelaki di depannya terlihat sangat keren dengan kemeja yang tak dikancingkan berkobar serta topi yang diarahkan kebelakang. Rasanya ia seperti menonton slow-mo.

“Mbak, kenapa, ada yang aneh ya sama muka saya?” Sapaan itu menyadarkan Windy kembali ke dunia nyata.

Ia mengedip-ngedipkan matanya, membawa kembali kesadarannya yang sempat dibawa pergi.

Begitu menyadari pemuda yang dipandanginya tadi ternyata di depannya, sontak ia merasa malu bukan main.

“A-ah, enggak kok saya agak kurang enak badan aja makanya ngelamun tadi pas jalan,” ucap Windy lalu buru-buru kabur ke kosannya yang lorongnya sudah kelihatan.

Merutuki diri sendiri kanapa bisa terlihat bodoh.

Begitu sampai di kosan, pikirannya untuk makan dan ngemil langsung hilang. Yang dipikirkannya hanyalah pertemuannya dengan pemuda tadi.

Kenapa sih, pemuda itu tiba-tiba muncul pas keadaan Windy lagi begini. Padahal biasanya, Windy setiap keluar rumah setidaknya memakai lipbalm agar tak kelihatan pucat serta menyisir rambutnya.

Hari ini menurutnya adalah salah satu hari dimana ia kelihatan “gak banget.” Maksud Windy, kenapa pula pemuda keren itu harus muncul hari ini, saat Windy terlihat seperti gembel, ia kini merasa sangat malu.

Padahal pemuda itu terlihat seperti tipe idealnya, secara fisik maksudnya. kalau mereka ketemu di situasi yang lebih baik ia yakin pasti bisa mendekati pemuda itu. Sekarang, karena penampilannya ia telah menutup semua kemungkinan itu.

Ah, harusnya Windy tak keluar kosan sore-sore begini apalagi dengan kaos gembel, rambut berantakan, dan wajah sembab. Windy menenggelamkan wajahnya di bantal menyesal.

***

“WINDY LO TUH BENER-BENER YA!” Windy menjauhkan ponselnya dari telinga begitu mendengar teriakan sahabatnya, Riana, yang terdengar kesal.

“Aduh sabar kek Ri, gue pusing banget baru bisa tidur jam 2 pagi,” ucap Windy sambil menguap, ingin melanjutkan tidur.

“LO NGAPAIN BARU TIDUR JAM SEGITU!” Windy merinding mendengar suara Riana yang menggelehar, tak jadi tertidur lagi.

“Buset santai dong Ri, kenapa dah Lo?” balas Windy masih santai sambil mengambil air putih.

“WIN JANGAN BILANG LO LUPA HARI INI ADA KENCAN BUTA??” Teriak Riana lagi, Windy terkejut, baru menyadari hari ini Sabtu, hari yang sudah diwanti-wanti oleh Riana sejak seminggu lalu. Kencan buta Windy.

Oke, sebenarnya Windy tidak se-desperate itu untuk punya pacar sampai ikut kencan buta segala. Dengan wajahnya, bisa saja ia langsung menunjuk laki-laki untuk dijadikannya pacar. Namun Windy tak tertarik.

Akhirnya, Riana dan Bian, dua sahabat Windy yang sialnya malah berpacaran menyarankan ikut kencan buta. Katanya, kalau ga cocok kan bisa jadi teman. Windy tak terlalu setuju dengan pernyataan itu, tapi akhirnya mengiyakan.

Kembali ke hari ini, Windy akhirnya mandi dan memilih baju dengan cepat. Untungnya kantung matanya jauh lebih baik daripada dugannya kemarin. Jadi ia tak memerlukan terlalu banyak make up untuk menutupinya.

Oke, sekarang Windy siap. Untungnya masih ada 30 menit sebelum jam 11. Ia dengan segera memesan grabcar (soalnya kalau bawa motor nanti rambutnya berantakan), sambil berdoa semoga tak membuat partner kencan buta ya menunggu terllau lama.

Sejujurnya, Windy tak tahu sama sekali wajah partner kencan butanya seperti apa, ia hanya tau namanya Calvin, dan lebih muda setahun dari dirinya. Riana juga baru saja memberinya nomor ponsel Calvin tadi.

Windy akhirnya menghubungi nomor Calvin untuk menanyakan ia duduk dimana. Karena kata Riana Calvin sudah sampai lebih dulu.

Windy mengatur napasnya, huh, ini memang kencan buta pertamanya, tapi bukan pertama kalinya ke restoran hanya berdua dengan seorang cowok. Jadi ia pasti baik-baik saja.

Begitu masuk kedalam restoran, matanya melotot kaget melihat orang yang duduk di meja nomor 4, meja yang disebut Calvin.

Ia tak tahu penglihatannya benar atau tidak tapi sepertinya itu cowok skateboard kemarin. Lagi-lagi Windy merutuk, kenapa keberuntungannya sejelek ini, sih.

Pemuda itu melambaikan tangannya, Windy tersenyum dengan paksa, lalu duduk di depan pemuda itu. Ia memasang wajah datar dan bertingkah seakan tak ada yang terjadi, semoga pemuda itu juga tak mengingat dirinya. Walaupun sebenarnya sekarang kepalanya hampir meledak.

Untungnya, pemuda itu sepertinya tak menyadari kalau perempuan yang kemarin bertemu dengannya mengenakan kaos kuning belel tidak sama dengan perempuan yang mengenakan baju sabrina berwarna biru muda didepannya sekarang.

Obrolan mereka mengalir begitu saja, karena banyak tertarik pada bidang yang sama. Sampai tak terasa kalau makanan serta minuman yang mereka pesan sudah habis.

Dalam hati Windy bersyukur, senang karena Calvin merupakan lelaki yang sangat gentle.

“Oh iya Win, kamu cantik banget deh hari ini,” ucap Calvin tulus. Windy tersenyum lebar, sepertinya wajahnya sudah memerah sekarang.

“Aku sampai ga sadar kalau perempuan yang aku ketemu dijalan kemarin tuh kamu,” lanjut Calvin.

Oke, sekarang siapapun bawa Windy kabur dari sini.

Apa aku sudah terlambat? Apa kamu menunggu terlalu lama?

Sunghoon hampir menangis melihat sosok di depannya. Tangannya yang keriput menggenggam tongkatnya dengan erat, hampir kehilangan keseimbangan.

“Soeun, kaukah itu?” tanyanya dengan suara tertahan, hampir menangis. Senyumnya merekah seirama dengan euforia yang ia rasakan.

Sementara sosok di depannya ikut tersenyum lebar. Berbeda dengan Sunghoon yang keriput tampak nyata diwajahnya serta badan yang jelas kelihatan ringkih, gadis itu masih sama. Senyumnya, rambut panjangnya, kulit putihnya yang bersinar, semua persis seperti di ingatan Sunghoon.

“Maaf karena membuatmu menunggu terlalu lama,” ucap gadis itu.

Air mata Sunghoon tumpah. Ia bisa mendengar suara gadis itu, kini ia sadar apa yang tampak di depannya bukanlah mimpi semata.

...

“Setelah malam ini, kau tak perlu menunggu lagi, Sunghoon-a”

***

Di kota ini, tak ada yang tidak mengenal Sunghoon Park. Parasnya yang menawan serta sikapnya yang cukup dingin menarik perhatian banyak orang sejak dulu saat ia masih terhitung muda.

Tentu saja paras dan sikapnya bukan satu-satunya daya tarik yang dimilikinya. Ia adalah seorang pelukis yang bakatnya diakui oleh semua orang.

Dibalik sikapnya yang dingin dan cenderung tertutup, lukisan Sunghoon selalu penuh warna-warni yang ceria. Seperti mengisahkan seorang anak kecil yang hidup dengan bahagia.

Karenanya banyak sekali yang memujinya. Pameran tunggal pertamanya langsung menarik perhatian banyak orang. Tak ada yang menyangka sosok seperti Sunghoon mampu melukis dengan warna yang begitu cerianya.

Bahkan sekarang saat umurnya sudah memasuki 63, atensi yang didapatkannya tak pernah berkurang. Seorang Sunghoon Park selalu menjadi topik hangat. Meski begitu, kehidupan pribadinya tetap tertutup rapat dari publik.

“Jungwon-a, besok karnival kan?” tanya Sunghoon sambil menyeruput teh chamomile yang uapnya sudah mulai hilang.

“Iya, anda akan pergi?” tanya pemuda berumur 25 tahun itu. Ia Jungwon, seseorang yang sejak dulu menemani Sunghoon. Ia ditemukan oleh Sunghoon saat umurnya masih 5 tahun, lapar dan tak terawat.

Ia dibesarkan dan disekolahkan oleh Sunghoon, makanya sebagai bentuk balas budi ia selalu menemani Sunghoon kemanapaun lelaki itu pergi. Walaupun sebenarnya, ia menganggap Sunghoon sebagai malaikatnya.

“Apa aku pernah sekalipun tak pergi ke karnival?” tanya pria paruh baya itu, pandangannya menerawang jauh.

Jungwon menggeleng, “Tapi dokter bilang, dengan kondisi tubuh anda yang sekarang itu bisa bahaya,” larang Jungwon.

Sunghoon terkekeh kecil, “Aku tak peduli Jungwon-a, bahkan jika kaki-kakiku tak mampu lagi berjalan, aku akan memintamu menggendongku agar aku bisa tetap ke karnival,” ucapnya, rautnya menjadi sendu.

Jungwon paham akan hal itu. Sejak dulu, Sunghoon tak pernah sekalipun absen ke karnival yang diadakan di puncak bukit setahun sekali.

Sesekali Sunghoon menggumam kalau dia berjanji akan datang di karnival itu. Jungwon tidak tahu dia siapa yang Sunghoon maksud. Karena 20 tahun menemani lelaki itu ke karnival, ia hanya selalu menyendiri di jembatan panjang sambil menyaksikan lentera dan kembang api yang dilepas ke langit.

Pernah sekali Jungwon mencoba bertanya, siapa yang ingin Sunghoon jumpai di karnival. Sunghoon malah terdiam lalu menangis sampai tertidur. Begitu terbangun, ia bergumam tak jelas. Yang bisa Jungwon tangkap hanyalah kalau dia yang membuat Sunghoon seperti sekarang. Sejak itu ia tak pernah bertanya lagi.

Dugaan Jungwon, dia yang dimaksud adalah mantan kekasih Sunghoon. Bukan tanpa alasan, ia tau diantara lukisan abstrak Sunghoon ada beberapa lukisan yang menggambarkan seorang perempuan berambut biru yang cantik.

Ia tahu lukisan itu tak pernah dipamerkan, hanya tersimpan di ruang kerjanya. Diantara banyak lukisan warna-warni yang cantik. Ia juga tahu ada satu lukisan itu dikamar Sunghoon. Ia tak sengaja melihatnya saat merawat Sunghoon yang sakit beberapa waktu lalu.

Namun Jungwon tak berani bertanya. Ia takut Sunghoon menjadi sedih lagi. Membuat Sunghoon sedih bukan pilihan yang baik saat kondisinya seperti sekarang, apalagi Sunghoon sudah tak sekuat dulu.

“Dia perempuan yang cantik, Jungwon-a,” Jungwon terkejut, menoleh pada Sunghoon yang kini tersenyum teduh.

“Aku yakin akan bertemu dengannya besok. Dia sudah janji Jungwon-a, dia datang ke mimpiku beberapa hari terakhir,” lanjut Sunghoon lagi.

Jungwon tidak menjawab, ia tak tahu harus merespon seperti apa. Ia tak menyangka Sunghoon akan menceritakannya seperti ini.

***

“Sunghoon-a!” Sunghoon kecil menoleh antusias, ia mengenal suara itu.

“Kak Soeun! Kakak kenapa baru datang, Sunghoon padahal ingin main sejak tadi,” tanyanya dengan bibir mengerucut.

Perempuan berambut biru itu tertawa, ia mengusak rambut Sunghoon lalu duduk di depannya. Ia mengeluarkan beberapa makanan sambil mengisyaratkan supaya Sunghoon jangan ribut.

“Kak Soeun kenapa selalu menyuruh Sunghoon jangan ribut, sih? Memangnya kenapa kalau ada yang melihat Kak Soeun? Kan Sunghoon ingin pamer punya teman kakak cantik seperti Kak Soeun,” tanya Sunghoon protes.

Sementara Soeun tersenyum sendu, “Karena yang bisa lihat Kakak cuma Sunghoon, jadi cukup Sunghoon saja yang tau kalau Kakak datang, ya.”

Sunghoon kecil tak mengerti, jadi dia hanya mengangguk lalu memakan coklat dan strawberry yang dibawa Soeun.

Tumbuh besar, Sunghoon jadi mengerti maksud ucapan Soeun kala itu. Ia akhirnya sadar kalau ia satu-satunya orang yang melihat Soeun. Beberapa kali mencoba memperlihatkan Soeun pada beberapa temannya mereka selalu bilang Sunghoon berhalusinasi. Padahal ia yakin perempuan berambut biru itu ada disana.

“Kak Soeun itu hantu, ya?” tanya Sunghoon suatu hari. Ia betulan penasaran dan tak bisa menemukan alasan masuk akal selain itu.

Soeun tersedak, “Memangnya aku sejelek itu ya sampai Sunghoon kira aku hantu?” tanyanya kembali.

“Eh, bukan seperti itu. Tapi cuma aku yang bisa lihat Kak Soeun, apalagi kalau bukan hantu? Lagipula Kak Soeun juga tak terlihat bertambah tua. Hanya aku saja yang semakin besar, Kak Soeun tetap sama. Tinggi kita saja sekarang sudah hampir sama.” jawab Sunghoon.

Soeun tersadar, kalau anak kecil yang dijaganya sejak bertahun lalu kini sudah remaja. Tentu saja Sunghoon sadar akan keanehan dirinya.

“Aku bukan hantu,” jawab Soeun pelan.

“Lalu apa?” desak Sunghoon tak sabar.

Soeun menikmati angin yang bertiup disela-sela rambutnya. Membiarkan angin tersebut membuat rambutnya berantakan. Ia tak tahu harus menjawab bagaimana pertanyaan Sunghoon. Karena kalau Sunghoon tahu, ia tak tahu apakah ia masih bisa bersama Sunghoon atau tidak.

“Begini saja, anggap aku Kakak Sunghoon yang paling cantik. Jadi karena aku Kakaknya Sunghoon, jadi aku harus menjaga Sunghoon supaya Sunghoon gak sakit, gak sedih, gak menyendiri lagi seperti orang yang gak punya teman,” jawab Soeun sambil tertawa mengganggu diujung kalimatnya.

“Ih, kan aku sekarang sudah punya banyak teman,” kata Sunghoon cemberut.

Soeun sekali lagi tertawa melihat pemuda itu. Tawanya menjadi lebih lepas, karena ia akhirnya menjadi tenang. Melupakan ketakutannya beberapa saat lalu.

Sementara sore itu Sunghoon sadar, tawa lebar Soeun adalah satu-satunya hal yang ingin terus ia saksikan di sisa hidupnya.

___

“Sunghoon-a, besok ayo ke karnival!”

Sunghoon menaikkan sebelah alisnya heran. “Kak Soeun kan tahu aku gak suka keramaian,” ucapnya. Ia masih tetap memanggil Soeun Kakak meski sekarang tubuhnya lebih tinggi dan perawakan Soeun menjadi terlihat lebih muda sedikit darinya.

“Ih makanya sekali ini aja ayo ke karnival. Cuma sekali setahun, Sunghoon,” bujuk Soeun.

“Males kak,” tanggap Sunghoon. Ia masih tak mengerti kenapa orang-orang suka ke karnival seperti itu. Bukannya menikmati Sunghoon malah pusing karena banyaknya manusia yang datang.

“Di sana ada coklat sama strawberry kesukaan kamu padahal,” bujuk Soeun lagi.

“Aku bukan anak kecil umur lima tahun yang bisa dibujuk pakai strawberry sama coklat. Aku udah 16 tahun, ingat kan?” ucap Sunghoon lagi.

“Yaudah kalau besok kamu gak mau pergi aku gak mau ketemu Sunghoon lagi,” ucap Soeun sambil melangkah keluar dari kamar Sunghoon.

“Eh, mana ada? Gak boleh!” Ucap Sunghoon lalu menarik tangan Soeun cepat.

Sementara Soeun tersenyum lebar. “Yes, besok ke karnival sama Sunghoon.”

Sunghoon menanggapinya dengan tawa. Sekarang kenapa Kak Soeun yang seperti anak kecil, lucu sekali.

___

Sejak meninggalkan rumah tadi, senyum Sunghoon tak pernah lepas. Dipikir-pikir, ke karnival seperti ini bukan ide buruk juga. Apalagi disampingnya ada Soeun yang ceria menarik-narik tangannya kesana kemari.

Setelah lelah, mereka menuju ke jembatan yang menghubungkan dua bukit. Memanjakan mata dengan kembang api yang sejak tadi dilepas menuju puncak acara, menerbangkan lentera harapan ke langit.

“Kak Soeun,” panggil Sunghoon.

Soeun menoleh, mendapati sepasang netra teduh milik Sunghoon yang menatapnya lekat.

“Kak Soeun itu, malaikat penjaga Sunghoon ya?” ucap Sunghoon pelan.

Sementara Soeun tersentak, rasanya ia ingin menangis. Sesuatu seperti tertahan di tenggorokannya sekarang. Kata-kata yang ia takut Sunghoon ucapkan akhirnya keluar. Kini Sunghoon sudah tau.

“Ba-bagaimana Sunghoon tahu?” tanya Soeun dengan suara yang bergetar.

“Aku selama ini mencari tahu, Kak. Akhirnya kemarin aku ketemu jawabannya. Kak Soeun malaikat penjaga Sunghoon kan?” kata Sunghoon memastikan.

Dari kilauan matanya, Soeun tahu kalau Sunghoon sangat senang sekarang. Karenanya ia mencoba tersenyum, lalu mengangguk.

Segera saja ia dapat merasakan rengkuhan Sunghoon melingkupi tubuhnya. Hangat, Soeun suka. Ini mengingatkannya pada Sunghoon kecil yang waktu itu takut akan apapun. Dulu ia suka memeluk Sunghoon seperti ini.

Sekarang anak kecil yang dijaganya sudah menjadi remaja tanggung yang gagah. Sunghoon bukan lagi anak kecil yang gampang menangis dan tak punya teman. Kini ia sudah tumbuh menjadi Sunghoon yang tampan, cerdas, dan berani. Tanpa sadar air mata Soeun menitik.

“Terima kasih, terima kasih Kak Soeun. Terima kasih karena sudah menemani Sunghoon waktu Ayah dan Ibu meninggal. Terima kasih karena selalu menjaga Sunghoon sampai Sunghoon sebesar sekarang,” Sunghoon terisak ditengah ungkapan terimakasihnya.

Sementara Soeun mendekap Sunghoon erat, “Jangan menangis. Sunghoon sekarang sudah besar kan, sudah tampan dan gagah, bukan lagi anak kecil yang suka menangis. Jangan menangis, ya.”

“Aku akan berhenti menangis kalau Kak Soeun juga berhenti menangis,” kata Sunghoon tanpa melepaskan peluknya.

___

Sunghoon menatap lentera yang ia lepaskan bersama Kak Soeun-nya yang kini sudah terbang tinggi.

“Kak Soeun, tahun depan mau ke karnival bersama Sunghoon lagi?” tanya Sunghoon dengan perasaan berbunga.

Soeun meragu, ia tahu kalau anak yang dijaganya sudah mengetahui kalau ia adalah malaikat penjaganya itu berarti ia tak bisa bertemu dengannya lagi. Namun ia tak tega kalau harus menolak, itu berarti menghilangkan senyum bahagia Sunghoon. Ia tak bisa.

“Mmm, aku akan datang ke karnival..., lalu menjadi yang paling cantik diantara semua orang yang datang.” Kata Soeun akhirnya dengan senyumnya. Sunghoon membalasnya dengan senyum yang tak kalah lebar. Puas dengan jawaban itu.

Malam itu Sunghoon tidak sadar, Soeun tidak berjanji akan datang tahun depan. Ia hanya berjanji akan datang. Entah kapan.

***

“Kak—”

“Tuan Sunghoon! Anda sudah bangun?! Dokter cepat kesini Tuan Sunghoon sudah bangun!” teriak Jungwon.

Dokter yang merawat Sunghoon tergopoh-gopoh masuk ke dalam kamar. Memeriksa Sunghoon yang sejak kemarin tak sadarkan diri.

“Jungwon-a apa yang terjadi?” tanya Sunghoon lemah.

“Anda kemarin jatuh pingsan begitu selesai bercerita—”

“Kemarin? Sekarang tanggal berapa?” potong Sunghoon cepat.

“Tanggal 26 Oktober pukul 10 malam,” ucap Jungwon takut-takut. Ia tau kalau Sunghoon akan memaksa ke karnival. Jungwon mengerti, tapi ia takut. Keadaan Sunghoon tambah parah sejak kemarin.

“Jungwon kau tau kan aku harus ke karnival malam ini? Ini sudah hampir tengah malam, Ia pasti menungguku!” Bentak Sunghoon.

“Tapi keadaan anda memburuk!” Kata Jungwon, ia sama kalutnya. Ia hanya takut kalau Sunghoon kenapa-napa nantinya.

“Aku tidak perduli, Jungwon-a. Aku sudah bilang kan, bahkan jika kakiku sudah tak kuat, aku ingin kau menggendongku kesana,” ucap Sunghoon, suaranya melemah.

Jungwon kalut, ia menatap dokter disampingnya meminta persetujuan. Sementara sang Dokter menimbang, jujur saja keadaan Sunghoon sangat ini sangat buruk, namun bisa saja tambah buruk jika keinginannya tak dipenuhi. Akhirnya ia mengangguk

Begitu diizinkan, Jungwon segera menyiapkan kursi roda untuk membawa Sunghoon ke mobil. Entah kenapa firasatnya buruk, ia hanya berharap Sunghoon betulan tak kenapa-napa nantinya.

Perjalanan selama 30 menit itu terasa lama sekali bagi Sunghoon. Ia takut akan melewatkan tengah malam yang mana adalah puncak karnival, lentera harapan.

Begitu sampai di tempat karnival diadakan, Jungwon betulan menggendong Sunghoon dipunggungnya ke jembatan yang dimaksud. Sepanjang jalan Jungwon menangis, entah kenapa ia merasa ini akan menjadi bakti terakhirnya kepada Sunghoon.

“Kenapa kau menangis Jungwon-a?” tanya Sunghoon pelan begitu mereka sudah sampai diatas.

“Aku takut sakitmu makin parah,” jawab Jungwon pelan. Ia takut sekali, sejak dibawa pulang oleh Sunghoon 20 tahun lalu, ia sudah berjanji akan membaktikan hidupnya pada Sunghoon. Situasi dimana ia tak bersama Sunghoon terasa menakutkan meski hanya bayangan.

“Tenang Jungwon-a, aku akan baik-baik saja,” kata Sunghoon lalu menghapus air mata Jungwon, “Kau sudah berjanji padaku akan menjadi anak yang kuat. Lagipula bukannya selama ini kau memang tak pernah menangis?” lanjut Sunghoon lagi, terkekeh. Tangis Jungwon semakin deras.

Lentera sebentar lagi akan dilepaskan ke langit bersama harapan-harapan manusia bersamanya. Salah satunya ada harapan Jungwon yang berharap Sunghoon akan terus bahagia.

“Tuan Sunghoon, liat lentera itu! Cantik sekali, warnanya biru!” Tunjuk Jungwon.

Sunghoon menyetujui ucapan Jungwon. Lentera itu memang terlihat cantik sekali. berbeda dengan lentera lain yang memilika cahaya kekuningan, lentera itu berpendar biru.

Biru yang familiar. Biru yang sama seperti milik Soeun.

Tanpa sadar mata Sunghoon berkaca-kaca. Ia sungguh berharap karnival kali ini ia dapat bertemu Soeun, karena setelah ini ia tak yakin masih bisa datang ke karnival atau tidak.

Sunghoon menengadahkan kepalanya sambil mengerjap-ngerjap, mencoba menahan air matanya agar tidak jatuh.

Begitu menghadap kedepan, ia hampir tak memercayai apa yang ada di depannya.

Ia berdiri sambil menggenggam tongkatnya dengan erat. Rasanya ia hampir menangis melihat sosok yang dirindukannya itu. Tangannya begitu gemetar sampai ia harus menggenggam tongkatnya erat.

“Soeun, kau kah itu?” tanya Sunghoon dengan suara bergetar, hampir menangis. Senyumnya merekah seirama dengan euforia yang ia rasakan.

Sementara sosok di depannya ikut tersenyum lebar. Berbeda dengan Sunghoon yang keriput tampak nyata diwajahnya serta badan yang jelas kelihatan ringkih, gadis itu masih sama. Senyumnya, rambut panjangnya, kulit putihnya yang bersinar, semua persis seperti di ingatan Sunghoon.

“Maaf karena membuatmu menunggu terlalu lama,” ucap gadis itu.

Air mata Sunghoon tumpah. Ia bisa mendengar suara gadis itu, kini ia sadar apa yang tampak di depannya bukanlah mimpi semata.

“Akhirnya kau datang,” ucap Sunghoon pelan. Hanya itu yang mampu dia ucapkan. Tiga kata yang melambangkan harapan serta keteguhan Sunghoon selama 47 tahun terakhir.

Soeun cantik sekali malam ini, seprti janjinya dulu. Ia mengenakan gaun biru gelap. Seirama dengan rambut dan sayapnya yang berwarna biru terang. Kulit Soeun yang berpendar kebiruan membuat perempuan terlihat semakin cantik.

“Harusnya kau tak menungguku, Sunghoon-a. Harusnya setelah acara lentera harapan hari itu, kau langsung melupakanku, bukannya datang ke karnival setiap tahun untuk menungguku. Bukankah kau membenci keramaian?” ucap Soeun dengan suara bergetar.

“Bagaimana aku bisa melupakanmu kalau kau berjanji untuk datang? Lagipula aku tak masalah kalau harus menunggu bahkan seribu tahun di tempat yang lebih ramai sekalipun. Aku tak masalah. Karena aku tau kau akhirnya pasti akan datang,” jawab Sunghoon. Kini senyum penuh menghiasi wajahnya.

Soeun tak dapat menahan air matanya. Yang dilihatnya sekarang adalah Sunghoon 16 tahun yang begitu tulus.

Sunghoon maju selangkah untuk mengusap air mata Soeun, “Kau selalu menghapus air mataku tiap aku menangis. Katamu, aku tak perlu menangis kan kalau aku bersamamu? Jadi jangan menangis karena aku ada bersamamu,” ucap Sunghoon.

“Maaf, karena saat itu aku tak tahu. Harusnya aku tak terlalu penasaran, kalau aku tak penasaran mungkin kau tak pergi meninggalkanku,” kata Sunghoon lagi.

“Jangan seperti itu Sunghoon-a, tidak ada yang boleh kau sesali. Lagipula buktinya sekarang aku ada di depanmu, kan?” kata Soeun sambil mencoba memperlihatkan senyumnya.

“Bukankah seharusnya aku tak boleh bertemu denganmu lagi...,” ucap Sunghoon patah-patah.

Soeun tersenyum, menoleh pada Jungwon yang terpaku. Ia memberikan hormat dalam pada pemuda itu lalu kembali menghadap Sunghoon.

Ia lalu mengecup dahi Sunghoon dalam, cukup lama sampai akhirnya ia memandang Sunghoon dengan mata yang berkaca-kaca.

“Karena setelah malam ini, kau tak perlu menunggu lagi Sunghoon-a.” Ucap Soeun sambil tersenyum, pendarnya memudar.

***

. .

BREAKING NEWS: Pelukis terkenal, Sunghoon Park, dikabarkan meninggal dunia malam tadi, 27 Oktober 20xx, pukul 2 pagi di rumahnya

***

Sunghoon ingat kali pertama ia bertemu Soeun. Hari itu ia ke dog cafe yang direkomendasikan Jaeyun, teman kuliahnya.

Ia pergi sendirian, hanya berniat bermain bersama anjing-anjing lucu di kafe itu sebentar lalu pulang.

Ia sebenarnya punya anak anjing lucu yang diberi nama Gaeul. Sayangnya, ia harus tinggal diluar kota untuk berkuliah dan tidak memungkinkan untuk membawa Gaeul bersamanya. Makanya ia ke dog cafe.

Maksudnya waktu itu hanya healing. Tak bermaksud lain.

Ia tak bermaksud untuk bertemu seorang gadis pecinta anjing yang ternyata rajin ke dog cafe hanya untuk bermain dengan anak-anak anjing lucu karena tak diperbolehkan memelihara satu dirumah.

“Hoon! Kok melamun, ayo!”

Sunghoon tersentak, menoleh pada gadis yang kini menggenggam erat jemarinya.

Dia Soeun.

Gadis yang ia temui di dog cafe musim panas tahun lalu. Gadis yang tak pernah ia sangka akan masuk kedalam kehidupannya lalu mencuri hatinya.

Namun Sunghoon tak bisa protes.

Karena ia menyukainya, jatuh cinta pada Soeun.

ENHYPEN Sunghoon as Kai WEEEKLY Soeun as Kay

Direkomendasikan sambil dengar lagu Everyday-nya Standing Egg

Kay mengatur napasnya yang sudah terengah-engah. Kelelahan setelah berlari 7 kali memutari taman yang letaknya tak jauh dari rumahnya.

Disampingnya ada Kai yang ikut mengusap keringatnya menggunakan handuk kecil yang sejak tadi berada di tangannya.

“Mau istrahat sekarang?” Tanya Kai menyadari Kay yang sudah kelelahan.

Kay menggeleng. Meminta satu putaran lagi, hanya berjalan kecil, sebelum akhirnya mereka benar-benar beristrahat. Kai mengiyakan, ia juga masih menginginkan satu putaran.

Lima menit pertama hening masih mewarnai keduanya. Masih sibuk mengatur pernapasan masing-masing sambil berjalan menyusuri taman yang cukup ramai disore itu.

“Lu inget ga Kay pas kita pertama kali ketemu?” tanya Kai tiba-tiba.

Kay tertawa sebelum menjawab, “Ingetlah, kan waktu itu kita tengkar soal siapa yang sebenarnya dipanggil sama Aji,”

Kai terkekeh mengiyakan, “Padahal Aji manggilnya gue, lo yang kegeeran,” katanya.

“Ya siapa suruh pengucapan nama lu sama nama gue sama,” gerutu Kay.

“Ya tanya ke Bunda gue, lah!” ujar Kai.

Kay mencibir lalu mempercepat langkahnya meninggalkan Kai yang tertawa keras.

Nama panggilan mereka memang mirip, Kai dan Kay, hanya berbeda satu huruf walaupun pengucapannya persis.

Mereka sempat berada di hubungan yang buruk selama SMA karena hal tersebut, sebelum akhirnya Kai pindah disamping rumah Kay dan mereka jadi dekat karena sama-sama suka olahraga.

Sejak itu mereka menjadi cukup akrab dan jadi menghabiskan setiap sore bersama, dengan taman komplek serta mentari yang hampir terbenam menjadi saksi tawa mereka.

“Kay!” seru Kai sambil ikut mempercepat langkahnya menyusul Kay yang sudah cukup jauh di depan.

“Kesana yuk, gue belum pernah,” ajak Kai sambil menggenggam tangan Kay yang menggantung menuju ke hamparan dandellion yang letaknya agak jauh di timur taman itu.

Kay menurut saja, “Emang lu belum pernah kesana?” tanyanya yang dibalas dengan gelengan oleh Kai.

“Lu udah tinggal disini enam bulan tapi belum pernah kesana?” tanya Kay.

Kai mengangguk.

“Aneh banget deh lo, padahal kita tiap hari kesini,” kata Kay.

“Ya emang gitu,” tanggap Kai pelan sambil mengendikkan bahu.

Mereka kemudian duduk di dekat hamparan dandellion yang tak terlalu luas itu sambil menghadap sang surya yang sebentar lagi sepertinya akan hilang ditelan malam.

“Kay, kalau gue suka sama lo gimana?” ucap Kai tiba-tiba.

“Ya gak gimana-gimana. Emang gue harus gimana?” jawab Kay pelan.

“Yaa, lo gak mau jadi pacar gue gitu?” ujar Kai lagi, kali ini terdengar agak kesal.

“Emang lo ngajak pacaran?” tanya Kay heran sambil menoleh kearah Kai yang menatap kesal kearahnya.

“Ck, iya juga, ya,” kata Kai cemberut. Kay tersenyum lalu kembali memandang langit di depannya.

Keduanya kembali diam selama beberapa saat sebelum akhirnya Kai membuka suara lagi.

“Kay, I wanna love you in my everyday. So, will you be my everyday?” ucap Kai pelan yang entah kenapa membuat Kay sedikit berdesir.

Gadis itu menoleh kekanan menghadap Kai yang ternyata sedang menatapnya lembut. Kay makin deg-degan dibuatnya.

Kay kemudian menatap jahil, “Kan ini udah tiap hari sama-sama. Mau jadi everyday gimana lagi?” tanyanya.

Kai mendesah frustasi, merutuk sebal pada Kay yang merusak momen yang harusnya romantis itu.

“Ish, tau ah terserah lo aja,” ucap Kai lalu menghadap kearah depan. Ceritanya marah pada Kay.

Gadis berponi rata itu malah tertawa keras, menertawai Kai yang terlihat lucu kalau sedang kesal begitu. Sementara Kai malah terpana. Ia selalu lemah pada tawa gadis Azkayla itu. Terlalu indah.

“Kalau gue mau bakal dikasih es krim tiap hari ga?” tanya Kay dengan sisa-sisa tawanya.

Sementara pemuda dengan headband berwarna hitam itu kembali mendengus kesal mendengar pertanyaan gadis itu. Ia sudah mengambil ancang-ancang untuk berdiri namun tangannya malah ditahan.

“Iya ih gue mau, ngambekan banget kenapa deh,” cibir yang lebih tua dua bulan itu.

“Mau jadi pacar gue?” tanya Kai memastikan dengan sebelah alis terangkat.

“Dibeliin es krim tiap hari,” jawab gadis itu dengan sengaja. Begitu menangkap gelagat kalau pemuda itu ingin beranjak lagi ia buru-buru menambahkan, “Ya jadi pacar lo lah, emang lo ngajak gue apaan?” kata Kay.

Kai tersenyum cerah.

Yes gitu dong dari tadi. Ayo beli eskrim terus pulang,” kata Kai riang sambil menarik tangan Kay untuk berdiri. Setelahnya merangkulnya erat.

Ah, kalau tau hatinya akan menjadi seriang dan seringan ini harusnya Kai nyatakan dari dulu saja. Ah, tak apa deh. Yang penting sekarang Kay resmi menjadi everyday Kai. . . . . . . . . . . . . . 08232021

Hoon kamu jadi datang kan?” Sapa suara di seberang.

“Iya kok jadi, ini aku lagi nyetir,” jawab Sunghoon sambil memperhatikan jalan.

OH KAMU UDAH DIJALAN YAUDAH AKU MATIIN DULU YA, ENTAR KALAU UDAH SAMPE BILANG AKU JEMPUT DI DEPAN. DISINI RAME NTAR GA KETEMU” Teriak Soeun.

Sunghoon tertawa pelan, pacarnya ini memang meledak-ledak orangnya. Kalau kata orang mah berisik, tapi menurut Sunghoon Soeun tetap terlucu sedunia.

Untungnya traffic lagi lancar, jadinya dia cepet sampai ke tempat Soeun. Sebenarnya dia kemana sih?

Jadi Soeun tuh kan masuk club dance gitu terus sering ikut lomba sama pentas, ngisi acara gitu. Nah hari ini disuruh ngisi acara kekoreaan gitu di salah satu mall, ngedance cover.

Sunghoon tadinya pengen anterin tapi ternyata dia ada kelas tiba-tiba. Makanya tadi Soeun bareng rekan-rekan setimnya, Sunghoon nyusul aja.

Begitu selesai memarkirkan mobilnya di parkiran mall, ia segera menelepon Soeun, mengabari pacarnya itu.

“Yang aku udah masuk mall. Di pintu masuk yang dibelakang, habis parkir,” ucap Sunghoon begitu Soeun membalas halo-nya.

Kamu coba jalan sampai ke depan miniso deh, tunggu disitu aku jemput,” jawab Soeun.

“Oke, aku jalan kesana ini,”

Sip-sip kapten Soeun segera datang. Gausah dimatiin telponnya,” ujar Soeun diseberang.

Sunghoon dapat mendengar suara langkah kaki samar-samar. Pasti Soeun tengah berlari-lari kecil, pikirnya. Membayangkannya saja Sunghoon jadi tersenyum-senyum sendiri.

Aku udah liat kamuuuu!! Kamu pake jaket jeans navy yang waktu itu hadiah dari Jongseong bukan sih?” Ujar Soeun tiba-tiba diseberang.

“Iya,” kata Sunghoon sambil mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan pacarnya.

Matanya melotot menyadari Soeun yang berlari kecil ke arahnya kini hanya mengenakan black dress yang panjangnya jauh diatas lutut dan bertali spaghetti.

Gimana ya, Soeun jadinya kayak cantikkkk banget mana pake belt hitam sama boots yang hampir selutut. Terus rambutnya juga pake semir biru yang sekali bilas ilang. Beneran, Sunghoon ga mampu berkata-kata.

Soeun selalu cantik, tapi hari ini cantiknya kaya berkali-kali lipat gitu loh. Sunghoon kalau bisa pingsan ditempat sih, ya pingsan.

“Kamu tumben pake dress gitu?” komentar Sunghoon begitu Soeun benar-benar sampai didepannya.

“Iya pake dress soalnya temanya emang gini. Kenapa, ga cocok ya di aku?” Tanya Soeun menyadari tatapan kosong sang adam.

“Engga kok, cocok banget malah. Kamu jadi cantik banget, aku cuma kaget aja soalnya jarang banget kamu pake dress gini,” kata Sunghoon masih nge-bug liat pacarnya yang uwow luar biasa cantik seperti.

“Oh kirain. Aku juga baru sadar, sih ternyata aku kayanya cocok pake dress gini. Aku sering-sering pake ginian aja kali, ya?” Ucap Soeun spontan.

Yang langsung direspon spontan oleh Sunghoon dengan cara membolakan matanya dan mengutarakan “Jangan!” dengan cukup keras.

Membuat Soeun mengernyit, “Katanya tadi cantik kalau aku pake gini, kok jangan?”

Sunghoon yang bingung harus menjawab apa akhirnya mengalihkan pembicaraan, “Emang kamu belum mau tampil? Ayo kita ke temen-temen kamu,” ucapnya.

Soeun menepuk jidatnya, “Iya juga. Untung kamu ingetin, ayo cepet sebelum Kak Soojin ngomel.”

Setelahnya, Soeun menyeret Sunghoon pergi dari tempat tersebut dan menuju backstage dimana Soeun dan dance teamnya akan mengisi acara.

Tak lama kemudian Sunghoon ke depan panggung karena mereka akan tampil. Ia berjanji akan merekam pacarnya selama menari di atas panggung nanti.

Selama di atas panggung itu Sunghoon tak berhenti berdecak kagum, Soeunnya selalu menawan.

Apalagi melihat penonton lain yang kelihatannya banyak terpikat dengan Soeun rasanya ia ingin pamer ke semua orang kalau Soeun adalah miliknya.

Begitu penampilan mereka selesai, Sunghoon segera ke backstage menemui Soeun lagi. Jadi tukang foto sebentar lalu pulang. Gaada acara makan-makan soalnya lagi padat semua jadwalnya. Apalagi ada dua orang yang udah kelas 3 SMA terus habis ini katanya harus les.

Sunghoon tau Soeun pasti lapar makanya dia nanya mau makan dulu apa enggak. Soeun bilang enggak soalnya beneran capek banget. Jadi mereka langsung ke apart Soeun aja, ntar makan gampang tinggal delivery.

Soeun sih bilangnya capek, tapi di mobil tetep banyak ngobrol sama Sunghoon. Intinya sih cerita dia seneng banget soalnya hari ini mereka manggung pake konsep yang beda banget dari biasanya tapi malah dapat pujian katanya cocok.

Sunghoon couldn't agree more soalnya mereka memang keren banget tadi. Mana Soeunnya jadi luar biasa cantik seperti ini. Kapan lagi ia lihat pakai dress hitam pendek begini kan?

Obrolan mereka membuat perjalanan jauh dihari yang masih siang tak berasa. Ya walaupun tetep capek sih, tapi tetep aja kalau perasaan bahagia mendominasi tuh pasti enak aja bawaannya.

Sampai di apartemen Soeun keduanya mengistirahatkan dirinya di sofa. Seperti otomatis, dua orang itu malah saling berpelukan dengan erat di sofa depan televisi. Saling menikmati kehadiran masing-masing. Sama-sama memejamkan matanya.

“Yang,” kata Sunghoon pelan. Soeun hanya berdehem. Malas menjawab.

“Kamu... lain kali boleh gausah pake dress gini ga?” ucap Sunghoon pelan takut menyinggung Soeun.

Mendengar itu perempuan berambut biru itu segera melonggarkan pelukannya lalu menatap Sunghoon kesal, “Tadi katanya aku cantik kaya gini!”

“Iya Eun, cantik banget malah. Makanya gausah pake lagi ya? Kamu yang biasanya cuma kaosan sama celana panjang longgar aja cantik banget. Apalagi kaya gini, tadi waktu pertama kali liat kamu aku rasanya langsung jadi jelly saking cantiknya,” ucap Sunghoon pelan.

Ia menunduk karena berekspektasi Soeun akan marah padanya, sadar kalau alasannya aneh.

Namun bukannya marah, Soeun malah tertawa terbahak-bahak. Ada kali dua menit ketawanya belum berhenti, ia sampai terengah-engah dan memegang perutnya. Sunghoon jadi heran sendiri.

“Duh kamu bilang gitu aku jadi tambah pengen sering pake ginian deh,” ucap Soeun mengerling jahil.

Sunghoon jadi cemberut dibuatnya. Soeun tertawa lagi.

“Udah deh kamu mending pesan pizza, aku jadi laper karena ketawa,” ujar Soeun dengan sisa tawanya.

Sementara Sunghoon kelihatan masih kesal. Soeun akhirnya mengambil kedua pipi pacarnya lalu diarahkan kepadanya.

“Nih kamu puas-puasin deh liatin aku pake ini. Aku kayanya ga bakal pake ini lagi soalnya. Eh kecuali kalau manggung sih, kan gatau temanya disuruh apa nanti,” ucap Soeun.

Sunghoon mendelik, “Kok gitu? Masa kamu beneran gamau pake dress lagi gara-gara aku ngomong kaya tadi,” ucapnya protes dengan kedua pipi masih yang masih ditangkup Soeun.

“Ck, kamu tuh maunya apa sih? Lagipula aku emang lebih nyaman kaosan sama pake celana kaya biasa tau. Kaya gini dingin,” kata Soeun jujur.

Sunghoon yang tidak tahan akan ekspresi gemas pacarnya akhirnya ikut-ikutan menangkup pipi Soeun. Agak menekannya dengan kedua tangannya hingga bibirnya mengerucut lalu mengecupnya cepat.

Soeun reflek mendorong Sunghoon yang sejak tadi masih ditangannya. Membuat Sunghoon mengaduh sakit karena ia sampai jatuh dan kepalanya sedikit terbentur.

“Kamu jelek banget ih responnya, dicium malah gitu,” ringis Sunghoon.

“Lagian kamu tiba-tiba banget, deh. Udah sana cepet pesen pizza. Aku mau ganti baju dulu,” ujar Soeun segera berlalu, agak salting dan malu juga sebenarnya.

Sementara Sunghoon yang ditinggalkan hanya mengeluh dalam diam.

. . . . . . . . . . . . . . —fin

“Mau kemana?” Tanya Jake yang heran melihat Jay yang kelihatan rusuh turun dari tangga penginapan.

“Mau ke boathouse, Sunghoon katanya ada lupa barang disana,” jawab Jay berhenti sebentar menjawab pertanyaan Jake.

“Oh, yaudah. Gue sama Minhee Jisung lagi nyiapin makanan. Cepet balik, lu berdua belum makan semenjak berenang dari pagi kan?” kata Jake lagi.

Jay hanya mengangguk. Segera beranjak sebelum Sunghoon menunggu semakin lama.

Tidak ada konversasi yang tercipta selama perjalanan ke boathouse yang jaraknya sekitar 200 meter dari penginapan mereka. Bukan canggung, hanya saja matahari terlalu terik membuat mereka lebih memilih mempercepat langkah daripada membuang tenaga untuk berbicara.

“Panas banget,” keluh Sunghoon akhirnya. Kulitnya yang putih pucat terlihat sedikit memerah karena panas.

“Iya, terik banget,” baru saja Jay menjawab begitu, terdengar bunyi Guntur yang cukup memekakkan telinga.

Tanpa aba-aba, hujan turun cukup deras. Jay yang terlalu terkejut sepertinya tak akan beranjak jika Sunghoon tak menarik tangannya sambil berteriak “Jay ayo lari!”

Tubuh Jay seakan bergerak dengan kendali autopilot. Kakinya berlari mengikuti langkah sunghoon yang lebih besar. Merasa asing dengan dadanya yang bergemuruh akibat genggaman Sunghoon di tangannya yang terasa hangat.

Sunghoon melepaskan genggamannya begitu mereka sampai di boathouse yang tidak terlalu besar. Mereka memang melanjutkan perjalanan ke boathouse, karena jarak ke penginapan lebih jauh.

“Hujannya tambah deras, kita kayanya harus nunggu deh,” ucap Sunghoon.

“Iya, semoga aja ga lama. Bisa-bisa kita mati kedinginan disini,” kata Jay melihat dirinya dan Sunghoon yang hanya mengenakan kaos dan celana pendek. Itupun sudah setengah basah karena hujan.

Lagipula siapa yang mengira akan turun hujan ditengah liburan musim panas seperti ini?

“Gue ngambil barang gue dulu deh, Jay. Lo tunggu disini aja dulu gapapa kan?” Tanya Sunghoon lagi. Jay mengangguk saja.

Tak lama kemudian Jay merasakan seseorang duduk disampingnya. Jay tau itu Sunghoon, makanya ia tak mengalihkan pandangannya dari air hujan yang tempias di depannya. Samar-samar merasakan bahu Sunghoon yang merapat padanya.

“Dingin banget ga sih?” ucap Jay akhirnya, tak betah dengan suasana yang menurutnya terlalu hening.

“Iya, dingin banget. Mana kita cuma kaosan gini, gws deh kita berdua. Maaf ya Jay gue malah bikin kita kejebak kaya gini,” kata Sunghoon.

Jay mendelik mendengar ucapan maaf Sunghoon yang menurutnya tak perlu.

“Apaan dah Lo, kok minta maaf. Yang mau ikut kan juga gue,” kata Jay menoleh sinis pada adam disampingnya.

Sunghoon terkekeh kecil, “Yaudah sih Jay, gausah marah-marah gitu,” katanya sambil ikut memandang kedua netra Jay yang menatapnya serius.

Jay menundukkan kedua pandangannya, entah kenapa rasanya aneh saling memandang dengan Sunghoon begini. Apalagi hanya ada mereka berdua.

Crap. Pilihan yang buruk. Menunduk membuat Jay melihat bentuk badan Sunghoon yang atletis dari balik kaos berwarna putihnya yang basah.

Ya, sebenarnya Jay sudah beberapa kali melihatnya, sih. Apalagi ketika berenang di pantai selama liburan ini mereka semua hanya mengenakan bokser. Tapi, hanya berdua seperti ini entah kenapa membuat dada Jay terasa tidak nyaman, seperti ingin meledak.

Jay kembali mengarahkan pandangannya ke depan. Ia tak menyangka berdua bersama Sunghoon seperti ini tak baik bagi kesehatan jantungnya.

Tak lama Sunghoon kembali membuka percakapan. Jay dengan senang hati menanggapinya. Mengobrol lebih baik daripada saling diam seperti tadi.

Ya untungnya sih mereka memang aslinya sangat akrab. Sehingga tak perlu susah-susah mencari topik percakapan agar mereka tetap mengobrol.

Sisa sore itu terasa cepat karena keduanya terus berbicara dan tertawa seakan tak ada hari esok. Sedikit-sedikit Jay berharap hujan mendadak ini selesai lebih lama. Ia suka saat ini, hanya ada ia dan Sunghoon.

Makanya, ketika Sunghoon akhirnya menepuk bahunya, menunjuk arah kanan yang ternyata menampilkan langit cerah setelah hujan yang sebenarnya sudah berwarna merah jambu menuju oranye—tanda matahari tak lama lagi akan tenggelam—ia cukup kecewa.

Mereka akhirnya pulang setelah matahari terbenam. Tetap saling melempar candaan meskipun keduanya mulai gemetar kedinginan.

Begitu sampai di penginapan, mereka disambut Jisung yang keliatan panik.

“Lo berdua kok baru balik?” Tanyanya dengan suara yang cukup tinggi. Ia khawatir pada kedua temannya ini. Pergi dari jam 2, jam 6 lewat baru kembali. Mana ga ada yang bawa ponsel.

“Hujan Ji, kita neduh dulu di boathouse,” ucap Jay pelan. Paham kalau temannya ini khawatir.

“Kok baju kalian lembab?” tanya Hyeongjun yang muncul dengan membawa dua buah handuk. Memberikannya pada kedua temannya yg mulai kelihatan pucat.

“Yakan tadi hujannya sebelum sampe boathouse,” ujar Sunghoon nyengir.

“Nyengir Lo setan, sana lu berdua mandi terus makan. Kalau bisa minum Paracetamol. Lo berdua kayanya bakal demam,” ucap Jisung panjang lebar yang diangguki keduanya. Mereka juga sudah kedinginan.

***

Jay membuka matanya dengan perlahan. Cukup terkejut dengan tangan yang melingkari badannya. Ditambah dengan hembusan nafas yang terasa hangat di jidatnya.

Ah ia ingat, tadi malam begitu selesai makan, demamnya dan Sunghoon dengan cepat meninggi. Sehingga teman-temannya menyuruh mereka untuk tidur di kamar yang sama demi memudahkan proses menjaga mereka tentu saja.

Walaupun ia tak ingat sejak kapan kedua tangan Sunghoon merengkuhnya seperti ini.

Jay mendongak, memperhatikan pahatan wajah Sunghoon yang tajam. Sejujurnya, sejak dulu ia sudah mengagumi wajah Sunghoon—tak bilang-bilang ke orangnya tentu saja, Sunghoon narsis—yang tampan.

Ada saat-saat dimana Jay merasa perasaannya membuncah setiap melihat Sunghoon. Namun ia tak pernah mengindahkannya. Menganggap itu hanya karena ia tak pernah bertemu orang yang lebih tampan dari dirinya selain Sunghoon.

Namun melihatnya dari dekat seperti ini—dengan kedua tangan Sunghoon yang merengkuhnya, dan wajah yang jaraknya terlalu dekat—Jay rasa ia bisa memastikan perasaannya pada Sunghoon.

Ia menyukai pemuda di depannya.

Lamunannya terusik saat Sunghoon bergerak mengeratkan pelukannya pada tubuh Jay yang lebih kecil. Jay menahan napasnya karena kini hidung keduanya sudah bersentuhan.

Jay melotot kecil melihat Sunghoon pelan-pelan membuka kedua matanya.

“Kok Lo udah bangun sih, Jay. Tidur lagi yuk, gue masih pusing,” ucap Sunghoon pelan dengan suara serak khas bangun tidur. Lalu membawa kepala Jay agar bersandar di dadanya. Menyamankan pelukannya pada tubuh Jay.

Dada Jay bergemuruh, ini terlalu tiba-tiba. Tapi setidaknya ini lebih baik daripada posisi berhadapan seperti tadi.

Dan demi Tuhan tadi ia bisa merasakan ujung bibir Sunghoon pada bibirnya, dan Jay tidak siap. Ia hanya berharap Sunghoon tak merasakan detak jantungnya yang menjadi terlalu cepat. . . . . . . . . —ann.

AKMU disini band lokal, ya. Anggap aja gitu^^

Naya punya satu band favorit, namanya AKMU. Sebenarnya Naya menemukan band itu secara tidak sengaja. Ia yang sedang menjemput adiknya di suatu sore kebetulan memutar radio di mobil. Dan salah satu lagu milik mereka terputar, ia masih ingat judulnya, Dinosaur.

Setelahnya, Naya mulai mencari segala sesuatu tentang AKMU, memulai kehidupan fangirling-nya yang ternyata, cukup menyenangkan. Beberapa kali mendatangi acara gigs dimana mereka tampil. Dan Naya suka itu. Kehidupannya yang sebelumnya monoton, menjadi lebih berwarna.

Sampai kemudian, November 3 tahun lalu, Naya bertemu Sean.

Mereka bertemu pertama kali disekolah Dani, adik Naya yang masih SD. Naya yang menunggu adiknya secara acak bertemu Sean yang ternyata secara kebetulan juga menunggu keponakannya.

Kala itu, mereka tidak berbicara banyak, Naya hanya tau Sean juga seorang mahasiswa jurusan manajemen yang setingkat dan sekampus dengannya.

Pertemuan kedua mereka terjadi tepat lima hari setelahnya. Di sebuah acara gigs dimana AKMU menjadi penampil. Selera musik yang ternyata sama membuat obrolan mereka semakin akrab. Hari itu, sebelum benar-benar berpisah, mereka akhirnya bertukar kontak.

Mereka yang sekampus memudahkan keduanya untuk menjadi lebih dekat. Dan entah bagaimana mulanya, Sean mulai rutin mengantar jemput Naya.

Hingga puncaknya, pada acara jurusan Sean—dimana band lokal Sean turut tampil membawakan salah satu lagu AKMU, Give Love—Sean menyatakan cintanya pada Naya tepat setelah turun panggung. Yang tentu saja bersambut manis. Naya juga jatuh pada pemuda berkulit susu itu.

Hubungan mereka berjalan dengan sangat mulus jika boleh dibilang. Sean yang pengertian, Naya yang penyabar. Kalau bertengkar pasti salah satunya akan segera meminta maaf. Pacaran ala mereka juga berarti sering ke gigs berdua.

Sean juga sering main ke rumah Naya diakhir pekan pada jadwal pulang Naya, sehingga ia dikenal baik oleh orangtua dan adik Naya. Bahkan Mama Naya sendiri sudah menganggap Sean seperti anaknya sendiri.

Ah, dititik ini, Naya sadar jika ia meminta lebih ia berarti sudah kufur nikmat. Hidupnya bisa dibilang sudah sempurna, pacar yang baik, keluarga yang menyayanginya, apalagi yang ia cari?

Harusnya sih, begitu.

Sampai, dua bulan lalu, Sean tiba-tiba menjadi aneh. Kegiatan mereka masih sama, namun rasanya berbeda. Naya tidak bodoh, ia bisa merasakan afeksi Sean yang berubah, semua yang mereka lakukan menjadi hambar.

Naya mencoba introspeksi diri, siapa tau kesalahan ada padanya. Bahkan mencoba memberi waktu pada Sean untuk sendiri. Mungkin, hubungan mereka menjadi hambar karena mereka terlalu sering bersama. Mungkin itu karena mereka tak punya waktu sendiri. Mungkin.

Ketika mereka bertemu seminggu lalu, yang Naya harapkan adalah hubungan mereka yang membaik. Hanya itu. Tidak egois kan?

Naya, aku minta maaf. Kita putus aja ya? Aku ga bisa kalau harus menyakiti kamu lebih jauh.

Demi Tuhan, bukan itu yang Naya ingin dengar. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri kalau ia salah dengar, namun sayangnya tidak. Sean benar-benar mengucapkan itu.

Dua bulan lalu, alasan kenapa aku tiba-tiba berubah, itu karena aku having sex sama Sasa. We were drunk, and it just.. happened. I'm sorry, gue harusnya ga ngelakuin itu,”

Naya mencoba sekuat mungkin agar tak menangis. Kenyataan ini terlalu..., mengejutkan. Ia tak tahu harus menanggapi seperti apa. Dia hanya mampu terdiam.

Setelah hampir 3 menit diam tanpa konversasi, Naya akhirnya bersuara.

Setelah hari itu..., kalian ga pernah main lagi kan?” Tanya Naya pelan. Ia tak tahu mengharapkan apa dari pertanyaan ini, ia hanya harap ia tak mendengar jawaban terburuk.

Sean menghela napasnya, “Maaf.

Cukup. Naya sudah tak sanggup lagi. Ia segera membereskan tasnya, dengan air mata yang tak bisa dibendung lagi, ia melangkah pergi. Ia bisa mendengar gumam maaf yang Sean ucapkan berulang, namun Naya tak peduli. Ia tak mau mendengarkan apa-apa lagi.

Sebelum benar-benar keluar dari tempat mereka bertemu, Naya sempat berbalik ke meja dimana ia dan Sean duduk tadi.

Sean, I just realized I gotta do this before I go,” lalu menampar kuat pipi Sean. Naya dilihati beberapa pengunjung kafe itu karena tamparan yang cukup keras. Namun Naya tidak peduli.

Ia ingat menyetir pulang dengan kepala yang pusing dan penglihatan yang blur sampai ia menabrak pembatas jalan. Untungnya kosannya sudah dekat. Dan Nindya, teman kosannya yang kebetulan sedang membeli makanan di luar melihat kejadian itu. Sehingga Nindya menggantikannya menyetir sampai di kosan.

***

Satu minggu. Satu minggu setelah kejadian itu, namun rasa sakit dihati Naya belum hilang. Malam-malam Naya setelah itu hanya dihabiskan dengan menangis keras sampai ia sepertinya sudah mati rasa.

Kalau teman sekosan Naya, Nindya, tidak mengingatkannya untuk makan, ia mungkin tak akan makan.

Rasanya sakit sekali, Naya ingin berhenti menangis, namun ia tak bisa. Rasanya terlalu sakit.

Parahnya, ia sampai tak bisa mendengarkan lagu AKMU lagi, karena semua tentang AKMU kini mengingatkannya pada Sean. Pemuda yang menghancurkan hatinya sampai berkeping-keping.

Ia sampai takut hanya dengan mendengar lagu-lagu yang pernah menjadi favoritnya itu

Ah, Naya benci sekali.

Hari kedelapan, Naya harus tetap menjalani hidup, kan? Ia akhirnya keluar dari kamar kosannya untuk pertama kali. Mencoba jalan-jalan di sore hari sambil mencari makan. Mulai merasa tak enak pada Nindya yang sebenarnya tak keberatan karena mengerti rasa sakitnya.

Tting!

Naya mengambil ponselnya memeriksa notifikasi yang tiba-tiba masuk. Ah iya, ia seminggu ini mematikan ponselnya karena takut akan melihat nama Sean. Namun, notifikasi khusus ini dari mama-nya. Mau tak mau ia harus memeriksanya kan?

Mama: Nay, kamu sama Sean kapan ke rumah lagi?

Ah, kenapa Naya lupa kalau mama-nya sudah menganggap Sean seperti anaknya sendiri? Sekarang Naya harus apa? Ia tak mungkin bilang kalau Sean berselingkuh darinya, ia tak akan tega pada mamanya.

Oke, untuk terakhir kalinya. Setelahnya, semoga Naya benar-benar melupakan perasaannya.

. .

. . . . . . . . . . —fin

“Kok kamu beneran datang sih?” Wajah Jay langsung menurun mendengar sapaan yang diucapkan Arin begitu pacarnya itu membukakan pintu.

“Kok bilangnya gitu sih?” Kata Jay, nadanya kesal tapi tetap masuk ke apartemen Arin.

“Kan udah malam, terus hujan gini, ada ada aja kamu ih,” jawab Arin.

“Kan kakak kangen aku katanya,” ucap yang lebih muda lalu duduk di sofa.

“Ya tapi masa langsung datang kaya gini? Bulol banget deh,” kata Arin lalu mendudukkan dirinya disamping Jay.

Jay memutar matanya mendengar jawaban itu, “Terserah,”

“Kak aku bawa mi soto tau,” ucap Jay random.

“Buat apa?” Tanya Arin heran. Jay bukan orang yang suka random ngajakin makan malam malam gini soalnya. Biasanya dia paling lambat jam 7 udah makan malam. Apalagi ini mi instan, dia biasanya ga suka ginian. Suka ngelarang Arin buat makan juga, katanya ga sehat.

“Ya buat dimakan lah, temen-temenku suka cerita katanya makan mi malam-malam apalagi pas hujan tuh enak banget. Aku jadi pengen nyobain,” jawabnya.

“Tumben banget, biasanya aku ajakin makan jam delapan aja udah ga mau. Ini udah mau jam 11 loh, apalagi ini mi instan,” kata Arin lagi, masih ga yakin dia tuh.

“Beneran aku kak, tapi karena coba-coba aja aku cuma beli satu. Takut ga abis. Isi kulkas kamu masih banyak kan? Aku mau campur sayur biar seimbang, bukan mi doang,” kata Jay lagi. Kali ini sudah berdiri, berjalan menuju konter.

Arin memijit pelan keningnya, pacar brondinya ini memang pintar masak. Makanya walau sering dilarang makan sembarangan Arin manut-manut aja karena sebagai gantinya Jay akan memasakkannya masakan masakan yang super duper enak.

Namun ia tak menyangka kalau makan mi instan pun harus dicampur sayuran. Arin yang kalau makan mi instan air rebusannya aja ga diganti can't relate. Her boyfriend is really something.

Arin duduk memperhatikan punggung Jay yang kelihatan sibuk berkutat dengan masakannya yang sebenarnya cuma sebungkus mi soto.

Sumpah, dari banyak alasan Arin jatuh cinta pada Jay, Jay yang lagi masak seperti ini menurutnya versi Jay yang paling seksi. And Arin can't help but falling for Jay even more.

“Nih udah jadi, cakep kan tampilannya?” Arin tersadar dari lamunannya begitu Jay menyodorkan mangkok yang berukuran agak besar di depannya.

“Cakep banget, rasanya cakep ga nih?” Tanya gadis itu menggoda Jay sambil mengambil air untuk mereka berdua.

“Cakep lah, yang masak aja cakep,” jawab yang lebih muda. Arin tertawa.

Setelahnya mereka makan dalam diam. Sesekali Arin memuji masakan Jay—yang sebenarnya cuma mi soto—hingga cowok itu tersipu malu.

Selesai makan, Arin segera membereskan bekas mereka. Sementara Jay kembali ke sofa, menyalakan tv sambil memilih film di netflix.

“Mau netflix-an?” Tanya Arin melihat Jay yang sedang memilih film.

Yang ditanya mengangguk. “Habis makan ngantuk aku ilang,” Arin mengangguk-angguk pelan.

Jay menepuk pahanya, memberi kode pada Arin yang masih berdiri. Arin mengangkat sebelah alisnya bertanya.

“Katanya kangen paha aku, ayo sini baring,” kata Jay.

Arin sumringah, bodo amat baru selesai makan, ia langsung membaringkan kepalanya di paha Jay—yang demi Neptunus—sangat nyaman.

Mereka akhirnya nonton Spongebob the Movie dengan posisi yang masih sama, dengan tangan Jay yang mengusap pelan kepala dan rambut Arin. Sesekali mengecupnya pelan. Mereka berdua larut dalam tawa yang disajikan film di depannya.

Begitu credit film telah ditampilkan, Jay merasakan nafas Arin yang teratur. Rupanya pacarnya itu sudah lelap.

Dengan hati-hati ia membawa perempuan itu ke kamarnya. Menaikkan selimutnya sampai batas leher, lalu mengecup lama puncak kepalanya.

Sleep well Kakak sayang, aku pulang dulu ya,” setelahnya ia mematikan lampu dan tv, memastikan semuanya aman sebelum melangkah keluar apartemen milik kakak cantiknya.

Tak lupa menuliskan post it yang ditaruh di meja samping ranjang pacarnya.

Jay tersenyum senang. Memiliki Arin dikehidupannya benar-benar suatu kesyukuran. Karena itu, semesta, Jay mohon, biarkan kami berdua terus bahagia.

. . . . . . . . . . . . —fin

Dongpyo sakit.

Pas dengar kabar itu, Olivia langsung ngerusuh pergi ke kosan pacarnya. Dia khawatir banget soalnya pacarnya tuh litereli ga pernah sakit sebelumnya.

Makanya pas tadi Minhee, teman sekosan Dongpyo, ngabarin kalau bocah itu sakit, dia langsung beranjak dari tempatnya. Untung hari ini kelasnya emang cuma sore, dia datang pagi buat ngumpulin tugas doang.

“Kok Lo sakit sih?” tanya Olivia begitu ia mendudukkan dirinya di ranjang Dongpyo.

“Ya kan gue manusia, kecuali gue Spiderman, ya gue gabakal sakit,” ucap Dongpyo pelan.

“Ish, maksud gue tuh, Lo ngapain aja kok bisa sakit gini? Lo ikut makrab disuruh guling ke lumpur aja ga sakit, sekarang kok tiba-tiba sakit?” tanya Olivia lagi sambil mengganti kompres di kepala Dongpyo.

“Gatau Lip, gue aja kaget bangun-bangun udah sakit,” jawab Dongpyo lemah.

“Lo udah sarapan sama minum obat kan tapi?” ucap Olivia.

“Udah, tadi dibeliin Minhee,” jawab Dongpyo, Olivia mengangguk, lega.

“Lo kenapa ga langsung ngehubungin gue sih?” kata yang lebih tua, sebenarnya agak terganggu dengan fakta kalau dia mengetahuinya dari orang lain.

“HP gue lowbatt,” jawab yang lebih muda pelan.

“Ck, yaudah, sekarang Lo tidur aja, biar cepat baikan,” ucap yang lebih tua lagi.

“Sambil pijitin gue boleh ga Lip, gila badan gue sakit semua,” kata Dongpyo.

“Iya, yang penting sekarang Lo tidur dulu, ya?” pintanya. Dongpyo mengangguk, menutup matanya.

Olivia akhirnya memijit tangan dan kaki pacarnya itu bergantian, pikirnya mungkin saja ia kelelahan latihan nge-dance, soalnya bulan depan setaunya club' Dongpyo bakal ikut lomba.

***

Dongpyo terbangun tanpa melihat kehadiran Olivia disamping tempat tidurnya. Tak ambil pusing, dia bangun, mau mengambil air karena dia haus sekali.

Badannya sudah enakan, masih pusing sedikit, tapi sudah bisa buat bangkit dari tempat tidur buat ngambil minum.

Dia ngambil HP-nya buat di charge juga, tapi ternyata udah penuh, berarti tadi sempet di-charge sama Olivia, pikirnya.

Begitu ia mau kembali ke kasur, pintu kamarnya terbuka. Menampilkan Olivia yang kelihatan sedang membawa dua kresek, sepertinya makanan.

“Udah bangun Lo? Nih makan dulu, tadi gue abis beli makanan, sama susu beruang juga,” ucapnya.

Dongpyo mengangguk, mengambil kresek ditangan pacarnya itu. Memakan buburnya dalam diam. Sementara Olivia mengecek suhu tubuh Dongpyo kembali. Sedikit lega ketika menyadari suhu tubuh pacarnya itu tak sepanas tadi.

“Jujur deh Pyo, kok Lo bisa sakit sih? Lo bukan orang yang bisa tiba-tiba sakit gini,” tanya Olivia begitu Dongpyo ia menenggak habis susu beruangnya.

“Gatau lip, beneran tiba-tiba aja sakitnya,” jawab Dongpyo pelan.

“Pyo, Lo tau kan kalau Lo tuh gampang kebaca? Ga usah bohong sama gue,” ucap Olivia lagi, menatap tepat ke mata pacarnya yang terlihat sayu.

“Seminggu terakhir gue paksain work out, kemarin dipaksain banget. Jleb, tumbang deh,” kata Dongpyo akhirnya. Menyadari tak ada gunanya berbohong pada Olivia.

Ctak.

“ANJINGGG GUE LAGI SAKIT KENAPA DI SENTIL???!!!”

“Siapa suruh bego? Lo ngapain sih pake workout segala? Udah bagus badan Lo kaya gitu, gausah aneh-aneh,” ceramah Olivia, sementara pacarnya cemberut saja mendengarnya.

“Gue tuh work out buat elu tau, ah sebel banget gue malah diceramahin,” ucap Dongpyo lalu berbaring kembali di kasurnya sambil membelakangi yang lebih tua.

“Dih ngambek Lo?”

“YA MENURUT LO AJA!”

“Tapi gue beneran tau Pyo, Lo ngapain sih work out segala. Udah bagus tau kaya gini, udah gausah aneh aneh,” ucap yang lebih tua lagi.

Dongpyo bangkit, kembali duduk lalu menghadap pacarnya,

“Gue tuh work out buat elu lip, waktu Lo ke ruang siaran gue sama Yeojin, lu ngeliat Yeojin sama Ji-Sung pelukan kaya mupeng banget anjir, mana mantan-mantan Lo sebelum gue bisepnya gede-gede. Aduh anjir Lo emang ga cultural shock pas pacaran sama gue?” kata Dongpyo panjang lebar mengeluarkan gundahnya.

“Udah ngomongnya?” Tanya perempuan itu, pacarnya mengangguk.

Ctak.

“ANJING GUE LAGI SAKIT LO UDAH NYENTIL GUE DUA KALI SADAR GA SIH???!!!”

“Gapapa biar Lo sadar,” setelahnya ia menghela napas dalam.

“Pertama, gue enggak mupeng. Itu gue ngeliat mereka kaget aja kok bisa raksasa kaya Jisung pacaran sama kurcaci kaya Yeojin.

“Kedua, aduh anjing males banget gue bilang ini sebenarnya, tapi Lo itu pacar gue yang terbaik sampe sekarang. Lo pikir kenapa gue bisa tahan dua tahun sama Lo sementara mantan gue yang lain paling lama 6 bulan doang?

“Karena Lo beda. Aduh anjir males banget gue mellow kaya gini. Gue ga butuh Lo punya bisep anjir, ngapain? Emang bisep ngasih gue makan? Lo kaya gini aja udah bagus, enak gue jadiin guling,” ucap Olivia panjang lebar. Dongpyo sampai ternganga dibuatnya.

“SIALANNN TERUS GUE NGAPAIN WORK OUT DONG?!” teriak Dongpyo frustasi, bukannya apa, dia kepikiran uangnya yang digunakan untuk ke gym.

“Udah gue bilang Lo itu goblok,” ujar Olivia memutar matanya malas.

. .

. .

. . . . . .

—fin